Perempuan dan Hukum Islam; Adakah Diskriminasi Gender?
Salah satu perbincangan hangat yang nampaknya menyudutkan hukum Islam berkaitan dengan kesetaraan gender. Hukum Islam dianggap tidak adil dalam memposisikan perempuan. Lebih jauh lagi, sebagai sumber hukum Islam, Alquran dianggap tidak melihat perempuan sebagai makhluk yang kuat dan sepadan dengan pria.
Secara sepintas, pernyataan diatas mungkin saja dianggap benar oleh orang yang baru berkenalan dengan hukum Islam. Padahal secara prinsip, Islam menyetarakan kedudukan antara pria dan perempuan. Yang menjadi pembeda adalah ketakwaannya, sebagaimana firman Allah Swt. :
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal“ (Q.S al-Hujurat:13)
Perempuan dan Pernikahan
Dalam ritual pernikahan, perempuan dianggap sebagai orang yang lemah dan tidak memiliki ‘kemerdekaan’ sehingga membutuhkan wali yang menikahkannya. Lebih jauh lagi perempuan dianggap hanya sebagai ‘objek transaksi’ antara wali dan calon mempelai pria.
Jumhur ulama memang menganggap wali sebagai rukun dalam pernikahan. Secara normatif, hal ini diambil dari sabda Rasul saw.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali”
Dengan adanya wali yang menikahkan calon mempelai perempuan sebenarnya tidak serta merta menjadikan perempuan lemah atau tidak memiliki kemerdekaan. Dengan adanya wali justru sebagai bentuk penghormatan dan penjagaan bagi perempuan itu sendiri.
Pada umumnya seorang wali telah lebih dahulu mengarungi kehidupan termasuk dalam persoalan pernikahan. Hal ini tentu saja memberikannya kecakapan untuk mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan seperti kriteria calon dan sebagainya.
Disamping itu, perempuan juga mempunya hak untuk bebas memilih calon pasangan hidupnya. Dalam hal ini Rasul saw. pernah bersabda
“Perawan tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin, dan janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya…” (HR. Bukhari)
Selain itu di dalam hukum Islam, sebenarnya juga ada sebagian ulama menyatakan pendapat yang sama. Muhammad bin Ahmad al-Andalusi, Bidâyah al-Mujtahid Wa Nihâyah al-Muqtasid menegaskan bahwa Abu Hanifah memaknai hadis tentang wajib wali di atas dengan makna لا كمال (tidak sempurna).
Sehingga perempuan boleh saja menikah tanpa wali asalkan dengan laki-laki yang sekufu. Meskipun dalam pelaksanaannya dalam pandangan ini kehadiran wali masih dianjurkan (namun bukan merupakan kewajiban).
Perempuan dan Hak Waris
Dalam hal waris, hukum Islam dinilai tidak adil dalam memposisikan perempuan. Proporsi 2:1 antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai cerminan ketidakadilah hukum Islam terhadap kaum perempuan.
Alquran memang menunjukan isyarat proporsi 2:1 antara laki-laki dan perempuan. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt.:
Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…” (Q.S al-Nisa: 11)
Ayat di atas memang menjadi dasar pembagian 2:1 antara laki-laki dan perempuan dalam hal apabila ahli waris terdiri anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi di dalam hukum Islam tidak seluruhnya berlaku porporsi 2:1 antara laki-laki dan perempuan.
Adakalanya laki-laki dan perempuan mendapat jumlah yang sama 1:1. Hal ini dapat terjadi apabila ahli waris terdiri dari Ibu dan Ayah dan anak kandung pewaris. Dalam kasus ini Ibu dan Ayah sama-sama mendapatkan 1/6, hal ini ditunjukan dalam Surah an-Nisa: 11 yang sebagian ayatnya telah penulis sebut diatas:
Artinya: “Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak”.
Begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu sama-sama mendapat 1/6 dalam kasus pewaris tidak memiliki ahli waris langsung. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta” (Q.S al-Nisa: 12).
Amir Syarifuddin dalam Hukum Kewarisan Islam memaparkan bahwa dalam hal ahli waris terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, jika ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan.
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.
Menurut Rasyid Ridha sebagaimana dikutip Huzaemah Tahido Yanggo hikmah yang melandasi ketentuan bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan adalah bahwa kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan. Yaitu kewajiban membayar mahar, memberi nafkah istri dan anak apabila kelak mempunyai anak.
Sedangkan anak perempuan apabila ia nikah, maka ia berhak atas mahar dan nafkah dari suaminya. Dengan demikian, hartanya bisa jadi berlipat, yaitu berasal dari mahar, nafkah, dan warisan dari orang tuanya. Seluruh harta itu merupakan hak pribadinya secara penuh.
Menurut Huzaemah bagian laki-laki yang besarnya dua kali bagian perempuan, dalam praktiknya pun harus dilihat kondisinya. Apabila dalam sebuah keluarga misalnya semua anak laki-laki disekolahkan sampai jenjang pendidikan tinggi, bahkan sampai sukses, sementara anak perempuannya tidak.
Dalam hal ini agar orang tua berlaku adil terhadap anak-anaknya sebagaimana perintah Nabi saw.:
“Hendaklah kamu berbuat adil di antara anak-anakmu dalam pemberian” (HR. Abu Daud)
Orang tua dapat menghibahkan sebagian hartanya kepada putrinya yang tidak lanjut studinya. Kemudian setelah orang tuanya meninggal, maka harta peninggalannya akan dibagi oleh putra-putrinya sesuai dengan ketentuan Alquran.