Perempuan dalam Pandangan Tasawuf
“Perempuan adalah cahaya Tuhan, bukan kekasih duniawi. Perempuan mencipta, bisa kau katakan ia tidak diciptakan.” Jalal al-Din al-Rumi
Aforisme Rumi di atas, sebagai seorang penyair sufi kondang abad ke-13 M, menggambarkan bagaimana ia sebagai sufi memandang seorang perempuan. Dalam dunia tasawuf, perempuan yang menapaki jalan spiritual, berkedudukan sejajar sebagaimana laki-laki.
Tak syak bahwa sejarah telah mencatat bagaimana Arab pra-Islam memberikan stereotip gender yang seksis terhadap perempuan. Bayi-bayi perempuan dianggap sebagai malapetaka dan aib keluarga. Hal ini tergurat dalam Alquran, “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.” (QS. Al-Nahl [16]: 58).
Pemahaman stereotipikal gender semacam itu akhirnya dibongkar oleh kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Islam menyampaikan risalahnya untuk seluruh umat manusia, yaitu perempuan dan laki-laki. Sebagaimana firman Allah, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Nahl [16]: 97).
Ayat di atas merombak sistem sosial yang ada pada saat itu. Dengan ayat tersebut, Islam menunjukkan bahwa perempuan itu sederajat dalam keimanannya terhadap Allah. Keberadaan perempuan benar-benar diperhatikan dan diperhitungkan, bukan sekadar sebagai objek penghibur, pemuas, atau pendamping laki-laki saja. Di sinilah legitimasi terhadap perempuan untuk menjadi “subjek spiritual”.
Subjek spiritual yang dimaksudkan di sini adalah bahwa perempuan dalam praktik peribadatan dan ihwal spiritual benar-benar bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tentu saja hal ini merupakan salah satu isu feminisme yang begitu maju karena telah diajukan sejak 14 abad yang lalu.
Dalam hal spiritualitas, terhadap dirinya sendiri, perempuan memegang kendali sepenuhnya. Sehingga, setiap hal yang dilakukan oleh perempuan, telah dijanjikan Allah akan mendapatkan balasannya. Apabila perempuan mengerjakan amal buruk, maka ia mendapatkan balasan buruknya. Begitu pula jika ia mengerjakan amal saleh, hanya ia juga yang mendapatkan balasan baiknya.
Di sini jelas terlihat bahwa laki-laki tidak bisa mengintervensi laku spiritual perempuan, yang di dalam masyarakat Arab Islam tradisional, perempuan masih merupakan tanggung jawab laki-laki. Di hadapan Allah, perempuan adalah individu merdeka. Sehingga, ketika berjalan di jalan spiritual, perempuan sepenuhnya sama belaka dengan laki-laki. Dalam dunia tasawuf, sebagai jalan spiritual, pejalannya (salikun) tidak hanya laki-laki saja. Melainkan juga banyak perempuan sufi di dalamnya.
Rabi‘ah al-Adawiyah, sebagai ikon sufi perempuan di abad ke-8 M yang mempromosikan cinta Ilahi (al-hubb al-ilahi), bukanlah satu-satunya sufi yang ada di sejarah kebudayaan Islam. Masih banyak Rabi‘ah yang lain. Salah satu contoh dari beberapa Rabi‘ah yang lain tersebut berkaitan dengan kehidupan Ibn ‘Arabi—yang bergelar al-syaikh al-akbar (doctor maximus) dalam dunia tasawuf. Dalam kehidupan spiritual Ibn ‘Arabi, setidaknya ada tiga perempuan yang berpengaruh penting terhadap pengembaraan spiritualnya.
Dua nama yang pertama yaitu Yasmin dan Fathimah. Keduanya merupakan syaikha atau guru dalam jalan spiritual. Yasmin merupakan teman Ibn ‘Arabi. Sedangkan Fathimah adalah “ibu spiritual” baginya. Fathimah memiliki banyak murid dan salah satunya ialah Ibn ‘Arabi yang selama dua tahun berada di bawah bimbingannya (Henry Corbin, Alone with Alone, 40).
Sementara, perempuan yang ketiga ialah Nizham. Ibn ‘Arabi bertemu dengannya ketika melaksanakan haji di Makkah. Perjumpaan dengan Nizham mengilhami Ibn ‘Arabi untuk menuliskan kumpulan syairnya yang berjudul Tarjuman al-Asywaq (Penafsir Kerinduan). Dalam hal ini, bagi Ibn ‘Arabi, menyaksikan Allah dalam diri perempuan adalah penyaksian yang sempurna. Sebab manifestasi (tajalli) Allah dalam diri perempuan itu bersifat aktif (fa‘il) sekaligus reseptif (munfa‘il). Sedangkan dalam diri laki-laki, manifestasi Allah hanyalah aktif belaka.
Dari ungkapan Ibn ‘Arabi di atas, dapat dilihat bagaimana seorang sufi laki-laki memandang kedudukan spiritual perempuan yang tinggi bagi perjalanan spiritual laki-laki. Selain itu, perempuan juga ternyata menjadi “subjek spiritual” atas dirinya sendiri dalam pengembaraan spiritual, sebagaimana ditunjukkan oleh Ibn ‘Arabi yang berstatus murid atas gurunya, Fathimah.
Hanya saja, peran perempuan dalam tasawuf masih kurang terekspos sehingga khalayak umum masih kerap kali menganggap bahwa perempuan bukanlah “subjek spiritual”. Entah itu sebagai salik maupun syaikha. Pada abad pertengahan, sebagaimana sistem patriarki masih kuat dan kental di dalamnya, tentu saja “perempuan” masih diberi stigma buruk oleh masyarakat sekitarnya. Artinya, perempuan secara intrinsik pun masih dianggap separuh dari laki-laki.
Oleh karena itu, seorang sufi dari Nishapur, Farid al-Din ‘Aththar, ketika menuliskan hagiografi Rabi‘ah al-Adawiyah, mengangkat “status perempuan” dengan mengatakan, “Di jalan Tuhan, perempuan adalah laki-laki dan tak seorang pun bisa menyebutnya sebagai perempuan.” (Farid al-Din ‘Aththar, Muslim Saints and Mystics, 29).
Kini, bagaimana pun secara sosial perempuan benar-benar sejajar dengan laki-laki. Begitu pula dalam dunia spiritual. Tak bisa dielak, perempuan dalam pandangan tasawuf memiliki peran otonomnya sebagai “subjek spiritual”.