Kartini, salah satu tokoh modernis awal di Jawa pada awal abad ke-20, meriwayatkan peristiwa berbuku sebagai keningratan perempuan. Kita bayangkan dalam pingitan yang sunyi dan dingin, hanya huruf-huruf yang memberi haribaan. Kartini mungkin memang bisa dikatakan salah satu perempuan yang beruntung menikmati berkah dari teknologi cetak Gutenberg.
Buku dan majalah menaiki kapal-kapal dari negeri penjajah menuju negeri jajahan. Kata-kata yang berbicara dengan sangar tidak mungkin membuat Kartini berpasrah lagi dengan sekadar menjadi perempuan yang menunggu pinangan atas nama kepatuhan. Buku menjadi semacam keajaiban untuk bersuara bagi Indonesia.
Perempuan dan buku, memang sejak mula sulit dikodratkan menubuh satu sama lain. Kerja-kerja intelektual dalam biografi pancaragam kebangsaan sering menempatkan perempuan jauh dari halaman-halaman buku. Meski, kita yakin buku tidak diskriminatif menentukan pembacanya.
Namun, ada manusia-manusia yang digdaya mengonstruksi budaya, membiarkan para perempuan berada di pinggiran sebagai penonton murung atas buku. Bahkan, perempuan memang tidak dirancang untuk sekadar memasukkan kosakata buku dalam pembendaharaan hidup sehari-hari.
Di Jawa, buku-buku memang sebentuk modernitas di tengah kuasa tradisi bersastra lisan. Nancy K. Florida (2003) dengan apik mengisahkan bagaimana orang-orang di Jawa sudah beraksara dimulai dalam suara. Seperti pembacaan naskah secara publik di keraton-keraton masih mentradisi sampai tahun 1960-an. Pembacaan oleh korps militer penjaga atau penjaga suara menjadi hiburan bagi pelbagai kelompok-laki-laki dan perempuan-setiap malam, kecuali malam Kamis dan Minggu ada pentas wayang kulit.
Meski pembacaan secara birokratis menempatkan para anggota kerajaan dan abdi terdekat sebagai pendengar, sebagian besar pendengar utama justru adalah para pekerja rendah di keraton, Konsumsi sastra keraton, dengan demikian, sama sekali tidaklah terbatas pada para bangsawan dan priyayi tinggi.
Audiens bagi teks-teks ini terdiri atas golongan yang cukup heterogen dan lintas kelas, yaitu partisipan sebenarnya dalam budaya keraton tradisional, yang termasuk di dalamnya penjahit, juru masak, tukang kebun, penjaga malam, tukang perahu, emban, tukang cuci, dan yang lainnya yang dipekerjakan oleh kraton.
Suara dari naskah dibacakan inilah yang dibawa pulang ke desa-desa. Di abad ke-19, mendengarkan (membaca) telah menjadi peristiwa menyenangkan. Rengeng-rengeng, nembang, melagu sembari dolanan, menonton-mendengar wayang menjadi keakraban nan biasa. Orang-orang Jawa adalah orang yang menggandrungi cerita.
Pembaca Novel
Kasus di Timur Tengah, kita bisa menelisik posisi perempuan di hadapan buku dalam Saudagar Buku dari Kabul (2005) garapan jurnalis Asne Seiserstad. Asne tiba di Kabul pada 2001 dan mendengarkan kisah Sultan Khan, sang saudagar buku.
Sultan adalah laki-laki Afganistan yang paling nekat melindungi buku dari rezim ke rezim. Mula-mula komunis membakar buku-bukuku, lalu Mujahidin menjarah dan merampasnya, dan akhirnya Taliban membakar lagi semuanya. Sultan menjadi penyelamat sejarah, kebudayaan, dan kesusastraan Afganistan dari diktator-diktator penghancur buku.
Namun, Sultan sebenarnya adalah kepala keluarga nan diktator buku yang menjadikan istri hanya sebagai penunggu buku. Tampak ironis sekaligus lumrah nilai perempuan ada di kecantikan fisik sekaligus kecakapan mengurus rumah tangga. Tradisi tidak memasukkan intelektualitas sebagai salah satu nilai martabat perempuan.
Kita cerap saat istri pertama Sultan, Sharifa, menunggui buku tanpa pernah terpesona memasuki halamannya. Sultan memutuskan bahwa Sharifa harus tinggal di Pakistan untuk menyimpan buku-bukunya yang paling berharga.
Di sinilah dia menyimpan komputer, telepon. Dari alamat inilah dia bisa mengirimkan buku kepada para pelanggannya, menerima e-mail segala sesuatu yang tak mungkin ada di Kabul Di masa-masa penantian genting penuh kerinduan, Sharifa cukup menyibukkan diri dengan memasak, mencuci tirai, merapikan surat-surat, menyapu, duduk, dan menangis. Sharifa ternyata tidak menjerumuskan diri pada panggilan buku yang magis.
Di Indonesia, peningkatan taraf ekonomi, minat pendidikan, dan kesempatan kerja, membuka kemelekan pada buku-buku. Indonesia pernah memiliki masa saat para perempuan membuat novel laku keras. Para peminjam, pembaca, atau pembeli novel di Indonesia adalah perempuan.
Kita ingat novel pop romantis garapan Marga T. atau Mira W. menjadi bacaan bagi perempuan di era 80-an. Sebagian para perempuan pembaca novel yang telah menjadi ibu, bahkan mewariskan novel itu kepada anak perempuan. Ibu, anak, dan cucu perempuan menjadi pembaca turun-temurun novel.
Perempuan memang sering tidak membingkai buku dalam kepentingan serius yang akademis, tapi sebagai bacaan di waktu luang, bacaan penyegaran, dan huruf-huruf penyembuhan.
Kita pastikan bahwa pembaca novel Tere Liye yang penuh luka dan perjuangan adalah perempuan. Begitu pula para pelanggan kutipan-kutipan Tere Liye yang penuh kegalauan di media sosial tentu saja perempuan. Apakah kita menganggap hal ini sebagai bentuk senjakala perempuan atas nasib berbuku atau taraf bacaan perempuan memang seringkali selalu mentok di novel yang sering dianggap labil dan cengeng?
Sekarang ini, jika bertemu pemandangan antik seperti seorang perempuan duduk di ruang publik sambil membaca buku atau mendapati ternyata ada novel setebal bantal yang akur bersama lipstik, bedak, atau pembersih muka di dalam tas, kita bisa menganggap hal ini bukan sekadar gaya hidup cantik literer. Masih ada harapan-harapan menggeser anggapan bahwa aksara selalu menjadi milik laki-laki.
Perempuan barangkali memang dilahirkan untuk menjadi istri, melahirkan, mengurus anak, menyapu, atau memasak. Hanya saja, mereka juga bisa memberesi semua masalah kedomestikan sekaligus membaca dan belanja buku.