Berdasarkan kajian yang telah dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan selama pandemi COVID-19 meningkat pesat.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan selama pandemi berupa kekerasan psikologis, ekonomi, fisik dan seksual. Survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan ditujukan untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, hasilnya tetap perempuanlah yang lebih banyak mengalami semua jenis kekerasan dibandingkan laki-laki.
Definisi KDRT sendiri menurut Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Pada survei yang dilakukan Komnas Perempuan menyatakan bahwa selama masa pandemi COVID-19 terjadi perubahan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Kita tidak bisa mengelak bahwa pekerjaan domestik seperti mengasuh anak, memasak, mencuci, dan sebagainya kecuali menyusui, masih menjadi budaya yang dibebankan pada perempuan.
Meski keduanya sama-sama bekerja di publik tetapi ketika sampai di rumah maka sebagian besar pekerjaan akan kembali dilimpahkan pada perempuan. Dan tanpa sadar kita perempuan akan berterima kasih atas ‘bantuan’ yang dilakukan oleh suami, tetapi setelah dipikir kembali mengasuh anak dan semua pekerjaan rumah adalah pekerjaan bersama dan mutlak bukan pekerjaan perempuan saja.
Maka tak heran ketika banyak responden perempuan yang melaporkan bahwa beban pekerjaan selama pandemi semakin banyak. Dan pekerjaan domestik yang seolah menjadi kewajiban perempuan inilah yang sebenarnya melanggengkan budaya patriarki, maka akan menjadi ibu rumah tangga atau berkarir mulailah mendiskusikan hal tersebut meskipun tidak harus pembagian pekerjaan domestik 50:50.
Selain perubaham pekerjaan rumah tangga, ketidakpastian atas pekerjaan secara penghasilan di masa pandemi COVID-19 juga menjadi faktor kekerasan, khususnya untuk para pekerja informal. Akhirnya terjadi kekerasan ekonomi, kemudian kekerasan ekonomi memberi dampak secara pararel terhadap terjadinya kekerasan fisik, psikologis dan seksual.
Lagi lagi perempuan yang paling dirugikan jika semua kekerasan tersebut terjadi, entah sudah berapa kali kita mendengar kasus kekerasan selama pandemi ini dan anehnya kerap kali kasus kekerasan masih dilakukan oleh orang-orang terdekat korban bahkan salah anggota keluarganya sendiri.
Selain menghadapi pandemi perempuan juga harus menghadapi kekerasan salah satunya yakni kekerasan fisik, dan sering kali masyarakat khususnya orang mukmin mempertanyakan tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan di dalam Al-Qur’an sebagai rujukan. Tetapi sebenarnya bukan teks ayat Al-Qur’an yang mereka pertanyakan melainkan penafsiran dari para mufassir terhadap ayat-ayat tersebut.
Salah satunya yakni surat An-Nisa’ yang menerangkan cara penyelesaian masalah yang terjadi di dalam rumah tangga. Lebih tepatnya pada ayat 34 yang menjelaskan bagaimana seharusnya suami bersikap terhadap istri yang nusyuz. Dalam arti, istri mulai melakukan sikap-sikap yang menunjukkan tidak senang lagi kepada suaminya (membangkang).
Allah SWT berfirman:
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa’:34)
Dalam ayat tersebut terlihat Allah mengizinkan suami untuk melakukan tiga tahapan tindakan untuk mengadapi istri yang nuszyuz, yakni dengan cara menasehati, pisah ranjang dan memukul.
Berkaitan dengan kasus perempuan dan KDRT, menurut Asghar Ali Engineer dalam buku Perempuan dalam pasungan, bahwa bias laki-laki dalam penafsiran menjelaskan tentang surat An-Nisa’ ayat 34 tidak boleh langsung dipahami lepas dari konteks sosial yang terjadi sewaktu ayat tersebut diturunkan.
Menurut Asghar, struktur sosial pada zaman Nabi benar-benar tidak mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Maka masyarakat tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis saja melainkan harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, Al-Qur’an sendiri terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif sehingga tidak akan ada kitab suci yang bisa efektif jika mengabaikan konteksnya sama sekali.
Kemudian Asghar juga menggunakan penafsiran kontekstual untuk memahami izin pemukulan pada surat An-Nisa’ ayat 34 tersebut. Penafsiran ini sebagai langkah ketiga menghadapi istri yang nusyuz. Menurut Asghar, setelah Rasulallah menganjurkan Habibah untuk membalas pemukulan yang dilakukan suaminya. Hal ini sebagaimana yang diadukan oleh ayah Habibah, para lelaki mengajukan protes kepada Nabi.
Sehingga turunnlah surat An-Nisa ayat 34 yang mengizinkan pemukulan terhadap istri. Menurut Asghar jika dilihat sekarang ayat tersebut akan tampak sangat tidak berpihak kepada perempuan. Namun, pada konteks Madinah waktu itu memang tidak dapat diabaikan.
Jadi, sebenarnya ayat ini adalah sarana untuk mencegah tindakan kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan. Selain juga menghendaki agar orang mukmin tidak mencari-cari alasan untuk melakukan kekerasan fisik seperti memukul perempuan. Sebab jika mereka benar-benar taat kepada Allah dan mau mengamalkan ayat tersebut maka tidak akan pernah sampai memukul seorang perempuan. Wallahu a’lam bisshawab.