Akhirnya, Nia Ramadhani. Ia disorot publik bukan karena gaya hidup mewah keurbanan atau masalah sepele tidak tahu cara mengupas salak.
Narkoba menjerat dan orang-orang mungkin masih bertanya, apakah Nia bosan?; apakah Nia terlalu sibuk dan ingin melarikan diri?; apakah Nia tidak memiliki teman berbagi keresahan?; apakah tidak ada yang bisa dikerjakan selama di rumah Nia yang begitu fantastis?
Nia mungkin lupa motivasi atau ancaman kecil yang sering tertera di buku tulis: “Prestasi Yes, Narkoba No”. Propaganda bahaya nyata narkoba sering ditemukan di tembok sekolah atau kawasan kepolisian.
Secara profesional, ada tanggung jawab kepada publik karena Nia (masih) berstatus sebagai selebritas. Namun, tanggung jawab moral dan psikologis lebih besar diajukan kepada anak dalam status perempuan sekaligus ibu.
Narkoba jelas berkuasa memilih siapa pun dijadikan tersangka. Contoh berita kecil saja, pesta narkoba terungkap di bekas Kantor Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pemkab Sragen. yang melibatkan empat aparatur negara.
Dua dari empat orang diduga anggota Polri, seorang adalah pegawai Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A Sragen, dan satu lagi yang kabur berstatus PNS Sragen (Solopos, 5 Mei 2017). Aparatus negara yang mestinya membasmi obat haram, ternyata justru mau dijerumuskan.
Berita lain mewartakan cara-cara aneh untuk menyelundupkan narkoba. Pengiriman sabu dari Thailand ke LP Klaten digagalkan oleh Badan Narkotika Nasional Propinsi (BNNP) Jateng. Meski disembunyikan di dalam hak sepatu wanita, sabu senilai 200 juta tidak berhasil menyamarkan kejahatan (Kedaulatan Rakyat, 15 Oktober 2016).
Paket sepatu wanita yang berkesan feminin, anggun, dan manja, tidak memberi akhir penyelundupan yang manis. Sepatu wanita mungkin berkesan terlalu lugu untuk mendefinisikan kejahatan, tapi nyatanya dilibatkan dalam urusan obat terlarang.
Dua belas pengarang perempuan Indonesia menghimpun cerita pendek tentang Narkotika dalam Rumah Tanpa Cinta (1987). Yang terjebak narkoba justu remaja atau orang muda yang hidup berlatar keluarga mapan dan perkotaan. Mereka seringnya perempuan.
Titiek W.S. dalam cerita “Rumah Tanpa Cinta” menampilkan kekecewaan perempuan dari keluarga ningrat bernama Meniek. Kasih sayang berlebih dari ibu justru membawa goncangan batin. Meniek seolah menjadi boneka kesayangan dalam kungkungan. Saat Meniek tidak memilih calon suami setara secara status sosial, Meniek bersalah di hadapan trahnya.
Larangan dan kefrustrasian membawa Meniek yang kalem dan pintar, pada ganja dan obat-obatan mandrax, megadon, valium. Meniek merasa fly dalam pelarian, seolah inilah cara menemukan kebebasan yang tidak pernah dikenal dalam keluarga.
Rara dalam cerita “Selubung Hitam” garapan Titie Said memiliki nasib sama tragis. Rara si remaja SMA yang ceria, pintar, dan membanggakan terjebak narkoba karena kekecewaan dibohongi oleh ibunya tentang masa lalu ayah kandungnya. Apalagi sejak berpisah dari suami, ibu Rara harus mati-matian mengurus bisnis.
Rara ditinggalkan tanpa teman dan bergaul dengan morfonis kelas berat. Berlatar kota dengan kesepian para manusianya yang akut, narkoba pintar menyamar sebagai teman dan pengganti keluarga yang hilang.
Novel Bandar (2014) garapan seorang jurnalis, Zaky Yamani, menyelidik narkoba di liku luka para bandar. Penulis dengan fasih menarasikan kota sebagai adu bandar dan geng berlatar kemiskinan dan kesemrawutan. Gang Somad di Bandung sudah terkenal sebagai pusat penjualan ganja dan obat-obat terlarang, dari anak umur belasan sampai orang tua enampuluhan.
Sejarah bandar gang ini justru diawalo perempuan, ibu, sekaligus nenek bernama Dewi. Lahir di Wanaraja, Dewi hidup di tengah sengketa Republik dan Darul Islam. Saat remaja, Dewi melarikan diri karena dinikahkan paksa.
Di Tasikmalaya, Dewi malah dijerumuskan dalam kehidupan kelam sebagai pelacur. Ia berhasil kabur dan menikah meski kemiskinan ekonomi terus menghimpit. Dewi menjadi bandar ganja demi tersembuhkan dari kemlaratan. Hanya bisnis ganja bisa jadi warisan kepada anak dan cucu.
Bagi anak pertama Dewi, Gopar, narkoba adalah biografi pertarungan ibu menghadapi dunia yang rumit, kejam, dan melelahkan, “Dan lihat, begitu banyak yang dia korbankan dalam pencariannya itu. Dilacurkan. Dihina. Mendapat suami yang membawanya pada petualangan-petualangan yang mengerikan. Diberi anak-anak bengal seperti, aku dan adik-adikku.
Sampai akhirnya dia memutuskan jalan itu, yang dia rintis dengan susah payah, untuk kemudian diberikan kepada anak-anaknya.” Di sini, jelas tidak ada kenikmatan yang ngawur apalagi pesta-pesta iseng.
Narkoba di kalangan artis mungkin tidak lagi terlalu mengagetkan meski selalu ikut diprihatini. Publik mengingat penyanyi perempuan Reza Artamevia terungkap memiliki keterikatan atas narkoba. Kefrustasian paska perceraian membawa pada teman yang berempati palsu.
Masalah terlanjur diberesi dengan menenggak narkotika yang konon tidak sengaja dikenali. Kesunyian masing-masing tidak bisa diselesaikan dengan saling membuka keresahan diri pada orang lain. Narkoba terlanjur jadi teman akrab. Sebagai perempuan dan ibu, ia menanti pemaafan dari anak, kerabat, dan sesama perempuan.
Narkotika meski sering dianggap sebagai obat jahanam atau teman setan, tidak bisa begitu saja diberantas dengan pengajian bercap nasional. Justru bukan karena kemiskinan dan ketidaksejahteraan ekonomi jadi pemacu kepopuleran narkoba.
Narkotika telah lebih dramatis membuka aib kegagalan pola asuh orangtua, ketidakharmonisan keluarga, kehampaan hidup bergelimang harta, dan krisis pergaulan remaja.