Akhir-akhir ini, pembicaraan tentang perempuan dan sastra mulai tenggelam. Arus teknologi informasi berhasil menyuguhkan isu-isu baru yang tak kalah penting tentang dunia perempuan. Kekerasan Berbasis Gender Online atau yang di kenal dengan KBGO misalnya, pelakor, dan lainnya.
Namun, sebenarnya ada banyak karya sastra yang juga turut mentransformasikan diri ke dalam dunia digital. Ia juga memberikan dampak terhadap perubahan sosial budaya, termasuk pengekalan budaya patriarki.
Manusia sebagai makhluk emosional yang menyukai estetika tentu tidak akan jauh dari dunia sastra. Bahkan, quotes sastra bertebaran di mana-mana dan disukai masyarakat. Tak jarang dijadikan status whatsapp, instagram, facebook dan tweeter. Tanpa disadari kita hidup di tengah-tengah tumpahan sastra.
Sastra secara harfiah bermakna bahasa (kata-kata, gaya bahasa). Sedangkan dalam pandangan Marxis karya sastra merupakan institusi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pertentangan antarkelas di dalam masyarakat. Dapat sebagai kekuatan konservatif yang berusaha mempertahankan struktur sosial yang berlaku ataupun sebagai kekuatan progresif yang berusaha merombak struktur tersebut demi terbangunnya sebuah struktur sosial yang baru di bawah dominasi kelas sosial (Faruk, Sosiologi Sastra, 2015: 53).
Dari pengertian Marxis sastra dapat menjadi alat perjuangan sosial bagi struktur sosial tertentu. Sastra yang dimaknai sebagai ekspresi jiwa akhirnya menjadi alat representatif untuk menggambarkan kondisi sosial yang dipahami sebagai simbol sosial secara kolektif. Akhirnya, sastra menjadi produk rekaman yang diambil dari pengalaman penulis yang disebut Plato sebagai mimesis atau tiruan.
Namun, seperti dua sisi mata uang. Selain sebagai alat untuk menggambarkan situasi sosial, sastra juga dapat menarik pembaca keluar dari situasi sosial. Berdasarkan pada teori-teori mazhab Frankfrurt dan Freudian, karya sastra memiliki kemampuan untuk menarik pembacanya keluar dari situasi sosial historis mereka. Yang secara tidak langsung mengemansipasi pembaca dari tatanan sosial yang sudah dibentuk.
Dari beberapa perspektif di atas dapat dipahami bahwa dari karya satralah dunia sosial dapat dibangun, dipelihara, dan diruntuhkan. Hal ini terjadi karena bahasa sebagai unsur sastra menjadi suatu kekuatan penting dalam reproduksi tatanan sosial.
Adapun proses konstruktif sastra dapat terjadi melalui tiga tahap, terdapat proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Seperti yang dikemukakan oleh Berger dan Luckman dalam teori konstruksinya. Proses eksternalisasi oleh penulis, kemudian diobjektivasi oleh pembaca, yang akhirnya pembaca mencerna dan menangkap makna. Kemudian diinternalisasikan ke dalam dirinya dan memunculkan proses eksternalisasi kembali oleh pembaca.
Sastra menjadi pedang bagi perempuan untuk meruntuhkan budaya patriarki. Sebagai pelaku dan penikmat sastra, perempuan tentu mudah melakukan ini. Seperti yang telah dilakukan oleh tokoh feminis sebelumnya, sebut saja Nawal el Saadawi.
Ia menggunakan sastra untuk mendobrak tatanan sosial dan dengan berani menyampaikan hal-hal yang terjadi pada perempuan melalui sastra. Dari karya yang berjudul Perempuan di Titik Nol, masyarakat dunia menjadi tahu budaya patriarki yang terjadi di Mesir pada waktu itu. Bukunya sebagai representasi budaya yang mengekang perempuan. Apalagi, karya Nawal selalu berangkat dari realitas sosial yang ia peroleh dari hasil penelitiannya.
Selain Nawal, terdapat Simone De Beauvoir dari dunia Barat yang juga menggunakan sastra untuk melawan. Dengan novelnya yang berjudul The Woman Destroyed yang menceritakan perempuan dari berbagai perspektif.
Di nusantara, ada NH. Dini dan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu yang juga menggunakan sastra sebagai alat resistensi dan kritik sosial. Tidak jarang karya-karya NH. Dini yang secara gamblang membela keadilan gender dan ketertindasan perempuan. Seperti novelnya yang berjudul Dari Parangakik ke Kamboja yang mengisahkan perilaku suami kepada istrinya.
Ayu Utami dengan bukunya yang berjudul Saman yang mengisahkan pengalaman seksualitas perempuan, kebebasan reproduksi, sistem patriarki dalam keluarga, dan permasalahan virginitas serta ingin menunjukkan superioritas perempuan yang dicerminkan dalam tokoh-tokoh wanitanya.
Setidaknya, melalui karya sastra perempuan mampu menampakkan taringnya dalam melawan kekerasan dan mengkritik ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan. Melalui karya sastra, perempuan juga dapat menarik pembaca untuk menyerap pesan adil gender. Dari sini perempuan perlahan dapat mengkonstruksi tatanan sosial baru yang peduli terhadap keadilan gender.
Hari ini, sudah ada banyak karya sastra feminis yang ditulis oleh perempuan. Akan tetapi, kekerasan dan objektifikasi terhadap perempuan dalam dunia sastra juga masih terus terjadi. Bahkan, semakin hari sastra menjadi komoditas layaknya perempuan yang dimodifikasi sesuai kebutuhan konsumen. Lagi-lagi, perempuan menjadi korban.
Maka dari itu, perempuan dan sastra harus menjadi satu unit pendorong lahirnya budaya baru. Selain karena pengaruh sastra itu sendiri, juga karena kemampuan perempuan yang baik dalam membaca dan menulis. Seperti hasil penelitian yang dipublikasikan di American Psikologist oleh tim Griffith University bahwa anak perempuan memiliki kemampuan membaca dan menulis lebih baik dibandingkan anak laki-laki.
Kemampuan literasi yang dimiliki perempuan menjadi modal dan anugerah utama yang dapat membuka jalan pencerahan bagi manusia khususnya dibidang gender equality melalui sastra. Sastra menjadi wadah yang tepat bagi perempuan untuk membangun perspektif gender yang adil dan memeliharanya. Wallahu a’alam.