Tahun lalu adalah penentuan nasib emansipasi bagi para perempuan di tanah Arab Saudi. Jawa Pos, 24 Juni 2018, mengabarkan bahwa setelah 61 tahun, akhirnya perempuan Arab boleh mengemudi. Pemerintah telah mencabut larangan perempuan mengemudi dan menjadikan hari pembebasan sebagai hari bersejarah bagi perempuan secara global.
Di saat bersamaan, UU anti pelecehan diketok demi memberi proteksi. Sebelum hari bersejarah ini, pada 6 November 2018, 47 perempuan (aktivis) di Arab sudah melakukan perlawanan dengan mengemudi di Jalan Riyadh. Efeknya, mereka ditahan sehari, paspor disita, dan sebagian aktivis kehilangan pekerjaan. Kampanye bertajuk Women2Drive yang semula melahirkan hukuman-hukuman di balik jeruji penjara, melenggangkan perempuan bergaya merdeka di balik setir.
Di tengah kabar gembira mengemudi di Arab, ketentuan patriarkis memang masih berlangsung, perempuan bisa berkendara atas izin para (wali) lelaki: ayah, paman, atau saudara lelaki. Dalam kelembagaan keluarga, izin kerabat telah melampaui otoritas negara sebagai pengatur dan pembuat kebijakan. Mereka bisa saja melonggarkan etika moral yang mengungkung perempuan atau memilih bertindak lebih kolot dari negara dengan sekian pelarangan beratasnamakan keselamatan atau agama. Apalagi, ada para lelaki menyebar tagar perintang #kamutidakakanmengemudi di media sosial. Laki-laki dengan arogan berlaku seolah Tuhan penentu nasib.
Kemerdekaan mengemudi pantas dirayakan mengingat biografi perempuan Timur Tengah mengalami masa-masa sulit untuk tampil sebagai bagian dari publik.
Di Indonesia, pergulatan perempuan mengemudi sepertinya tidak heboh seolah di Arab. Dalam beberapa dekade saja, kita menyaksikan di jalan-jalan perempuan secara independen melenggang di balik kemudi. Mereka perempuan karir, ibu rumah tangga, cah kuliahan, atau sekadar istri yang terfasilitasi suami. Identitas perempuan bisa dilihat dari cara berbusana.
Seperti di Solo, terkhusus di beberapa jalur penjemputan sekolah, kita bisa menyaksikan betapa trendinya ibu-ibu muda menjemput anak. Penampilan menjemput anak sudah sangat setara dengan kondangan, reuni, atau kumpul ala sosialita. Sekalipun hanya menjemput anak, ibu-ibu memiliki kesadaran menyetarakan penampilan dengan mobil. Tidak mungkin menjemput anak hanya dasteran atau berbaju tidur polkadot ditutup jaket dan bersandal ala kadar. Tindakan ini sangat tidak pas untuk mobilan.
Di kehidupan rumah tangga, mobil menentukan kemapanan. Laki-laki yang bisa membeli mobil, terkhusus mobil bagi istri, berarti berhasil bertanggung jawab pada kebutuhan pergaulan ataupun finansial.
Maria Antonia Rahartati di cerita Pot Kayu Beringin Putih (Jeruk Kristal, 2018) merekam tata sosial dari mobil berseliweran di Jakarta masa 80-an. Inilah masa-masa terhormat saat bapak bisa menyekolahkan anak ke peguruan tinggi sekaligus memiliki mobil keluaran terbaru. Gairah hidup bermobil sebagai gengsi sosial lebih mengena bagi seorang laki-laki yang kebetulan bapak dan kepala rumah tangga. Istri yang kemungkinan hanya di rumah sebagai ibu tentu tidak memiliki ikatan tendensius atas mobil karena merasa tidak berkepentingan secara karir atau pergaulan.
Kita cerap saat bapak begitu sentimentil menghadapi mobil di jalan, Tak jarang dia mengelus dada bila tiba-tiba mobil tua miliknya disalip Mercedez Benz tahun terbaru. Terutama bila penumpang berdasi yang duduk di kiri belakang sopir mengangguk ramah ke arahnya. Semua kenalannya pasti mengenali Toyota Corolla miliknya yang telah berumur lebih dari lima belas tahun. Mereka tetap baik kepadanya, bahkan tak jarang menelepon untuk menawarkan kesempatan meningkatkan kehidupan.
Pekerjaan menentukan arah karir dan tujuan hidup yang membuat calon pemilik mobil mengamini konsesus bersama bahwa sukses itu bermobil. Sampai sekarang, kita dibuat maklum mobil menjadi kebutuhan primer atas pamrih bekerja. Mobil memasuki daftar tetap kemapanan keluarga mutakhir selain rumah, gaji, atau liburan.
Terpelajar dan Modern
Namun, sampai sekarang kita sekaligus masih meyakini bahwa tugas mengemudi itu tugas laki-laki. Perempuan tinggal duduk manis menikmati laju kemudi suami seraya menikmati posisi di samping kemudi selama itu ada di mobil pribadi. Dalam arti lain, mengemudi beranalogi ke menguasai, menentukan, atau menjaga.
Posisi kemudi secara metaforis menentukan nasib atau otoritas. Apalagi, pengukuhan suami/bapak sebagai kepala rumah tangga adalah kepakeman konstruksi budaya meski tata sosial banyak berubah oleh tindak emansipatif.
Kita bisa mengingat cerita perempuan pengemudi dari Jepang meski yang dikemudikan sepeda. Saat itu di awal abad ke-20, perempuan jelas tidak lumrah mengemudi yang bisa berarti melakukan banyak hal sendiri atau tidak perlu dituntun lelaki. Guru perempuan bernama Hisako Oishi di Dua Belas Pasang Mata (Sakae Tsuboi, 2013) melakukan hal menggemparkan di desa nelayan terpencil di Jepang. Tahun 1928, dia melenggang mengemudikan sepeda ke sekolah. Warga desa kaget sekaligus sinis. Anak-anak terpukau pada benda berkecepatan dan justru dinaiki seorang perempuan.
Warga desa pemilik toko mengatakan, Dunia benar-benar sudah berubah. Guru perempuan naik sepeda! Bisa-bisa dia dianggap kelewat modern. Secara tidak langsung, kemudi Hisako Oishi menunjukkan kemandirian, modernitas, dan terpelajar. Tiga kata yang tidak terlalu baik bagi citra perempuan di masyarakat konservatif.
Secara ideologis, seruan mengemudi memang tidak hanya tentang bisa mengemudi dan punya mobil. Ada luapan membelokkan konstruksi budaya.
Seperti yang diserukan oleh salah seorang perempuan Arab Ghadir al-Mezeni, Saya ingin mandiri, saya ingin mengemudi. Saya tidak mau hidup di bawah belas kasihan pria. Sesekali kita bisa mungkir, mobil dan perempuan tidak melulu soal gaya hidup mewah di kehidupan mutakhir.