Virus Corona (Covid-19) yang mewabah tidak hanya menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat, perekonomian dan ketahanan pangan Indonesia. Melainkan juga berdampak buruk bagi kehidupan perempuan. Perempuan pemegang peran ganda terutama, seperti perempuan pekerja sekaligus pengelola rumah tangga lebih rentan terkena dampak seperti menurunnya kesehatan mental dan krisis keuangan.
Perempuan dan kelompok rentan memiliki beban cukup berat dalam menghadapi wabah covid-19 ini. Hal ini semakin diperparah jika suatu negara atau daerah memberlakukan isolasi ketat namun pemerintah belum mampu memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer secara menyeluruh.
Meski bagian dari cara memutus mata rantai persebaran virus, anjuran untuk tetap “di rumah saja” juga menimbulkan persoalan tersendiri bagi perempuan dan anak. Timbulnya kekhawatiran terhadap masa depan sebagian besar masyarakat Indonesia semakin tinggi khususnya bagi kalangan yang mengalami tekanan ekonomi dan psikis dalam rumah tangga.
Dalam pandangan penulis, anjuran untuk bekerja dan belajar di rumah setidaknya memberi pekerjaan tambahan kepada perempuan untuk mengambil peran sebagai guru. Selain itu, perempuan juga ditugasi peran untuk mengasuh anak dan anggota keluarga lainnya serta masih tetap harus melakukan pekerjaan produksi dan domestik.
Dengan bertambahnya beban kerja yang dilakukan, perempuan juga berpotensi lebih besar terjangkit virus covid-19. Misalnya seperti aktivitas belanja di luar rumah yang mengharuskan perempuan melakukan kontak fisik dengan beberapa pedagang dan pembeli lainnya. Hal demikian ini juga harus menjadi perhatian pemerintah untuk menyuarakan agar masyarakat tetap mengutamakan peran gender equality antara perempuan dan laki-laki terutama dalam mengasuh anak dan menyelesaikan pekerjaan domestik juga produksi.
Upaya untuk mematuhi aturan pemerintah agar mengurangi aktivitas di luar dan tetap “di rumah saja” justru bukan hal mudah bagi sebagian besar perempuan kelas bawah. Beberapa perempuan single parent yang harus tetap keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan finansial terpaksa harus mengajak serta anaknya. Hal ini tentu bukan keinginan perempuan itu sendiri dan jelas mereka sadar betul risiko atas tindakan yang diambil.
Situasi bencana wabah ini juga melipatgandakan kerentanan terhadap perempuan korban ketidakadilan yang sudah ada sebelumnya. Sebab, pada situasi seperti ini layanan-layanan professional yang biasanya membantu mereka untuk sementara waktu menutup layanannya. Bahkan, jika pun pelayanan tersebut tetap buka tidak mampu memberikan pelayanan dengan maksimal seperti hari biasanya.
Dalam catatan UN Women Indonesia dijelaskan bahwa ada satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan baik fisik maupun seksual. Sementara itu, WHO mengungkapkan bahwa ada satu dari lima perempuan di dunia yang mengalami pemerkosaan serta percobaan pemerkosaan. Sepanjang tahun 2019, dalam catatan Komnas Perempuan juga ditemukan sedikitnya terjadi 11.105 kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di Indonesia. Angka-angka yang demikian itu tentu dapat berubah berkali-kali lipat ketika perempuan menghabiskan lebih banyak waktunya untuk tetap di rumah bersama pelaku kekerasan.
Menurut anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Tuani Sondang Rejeki Marpaung, sejak tanggal 16 Maret sampai pada 12 April tercatat setidaknya ada 75 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka-angka tersebut meliputi kasus perkosaan, KDRT, pelecehan seksual, dan pornografi online di masa social distancing ini.
Kasus KDRT setidaknya tergolong dalam empat kategori yakni, kekerasan psikis, kekerasan fisik, kekerasan finansial, dan kekerasan seksual. Salah satu faktor mengapa KDRT di tengah pandemi covid-19 meningkat adalah karena menurunnya pendapatan secara ekonomi yang kemudian juga berpengaruh terhadap psikis dan meningkat menuju kekerasan secara fisik.
Wabah covid-19 menimbulkan dampak besar terhadap penelantaran ekonomi rumah tangga kelas menengah ke bawah. Selain karena pendapatan ekonomi menurun bahkan hampir tidak berpendapatan sama sekali yang kemudian memicu kekerasan finansial, wabah covid-19 juga memperburuk kondisi kekerasan dalam rumah tangga.
Meningkatnya perempuan sebagai korban dalam KDRT selama wabah covid-19 ini secara tidak langsung memosisikan perempuan dalam kondisi dan kejadian penuh tekanan dan traumatis berat. Oleh sebab itulah, selain fokus menangani korban terjangkit covid-19, pemerintah juga harus memberikan akses dan pelayanan kesehatan mental yang mudah diakses. Sebab, dampak dari wabah covid-19 yang menciptakan depresi dan cemas terutama di kalangan perempuan tidak boleh diabaikan.
Selain perempuan kelas ekonomi bawah, keterlibatan perempuan dalam dunia kesehatan juga sangat besar. Setidaknya ada 70 persen perempuan yang berisiko terjangkit wabah covid-19 karena bertugas sebagai tenaga kesehatan yang melayani masyarakat korban covid-19. Meski demikian, perempuan tenaga kesehatan tersebut tidak cukup terlibat dalam pembuatan keputusan seperti pengawasan keamanan, perencanaan intervensi, proses deteksi dan membuat mekanisme pencegahan.
Bahaya lebih besar lagi bisa menyerang perempuan tenaga kesehatan di daerah konflik, daerah tinggal yang buruk, dan sumber daya yang terbatas. Hal ini akan semakin memperkeruh kondisi fisik dan psikis perempuan tersebut. Bahkan, di beberapa wilayah di kota Jakarta terjadi ada pengusiran oleh warga terhadap para perawat dari wilayah tempat tinggal mereka karena ketakutan warga terhadap wabah yang berlebihan.
Dengan demikian, selain harus tetap saling mendukung untuk memutus mata rantai persebaran wabah covid-19. Kita juga harus memberi dukungan satu sama lainnya untuk menyelesaikan tugas bersama-sama tanpa harus mengorbankan satu sama lainnya.