Perempuan dalam hal ini ketika bertransformasi menjadi seorang Ibu pasti memiliki posisi sentral dalam keluarga. Dalam posisi ini biasanya mereka berperan dalam urusan domestik keluarga.
Perempuan domestik (dalam hal ini seorang Ibu) adalah sosok dengan beragam talenta dan peranan yang cukup kompleks baik dalam keluarga maupun ruang publik. Jikalau pun ada sosok laki-laki yang mampu menandingi perannya, bisa dipastikan bilangannya cukup terbatas.
Sejak disuarakannya pemahaman kesetaraan gender, maka perlahan dunia ini semakin ramah terhadap perempuan. Perempuan kemudian diupayakan memiliki ruang dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Peranannya-pun tidak melulu urusan domestik seperti “masak, manak, lan macak” (memasak, melahirkan, dan berhias), namun juga memiliki peran yang aktif di ruang publik.
Di era saat ini, cukup marak panggilan jihad yang disuarakan oleh golongan ekstrim kanan yang membikin gaduh realiatas masyarakat kita. Narasi tersebut tidak hanya menyasar kalangan orang tua, bahkan menurut penelitian BIN (Badan Intelijen Negara) pada tahun 2017 individu yang paling banyak terpapar ideologi radikalisme adalah kaum milenial termasuk juga para perempuan.
Maka dari itu, sejatinya perempuan berperan dalam mereduksi narasi jihad berbasis radikalisme agama dengan menyebarluaskan pemahaman moderat.
Dalam konteks keluarga, perempuan merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ia juga teman berdiskusi bagi suaminya, maka letak perempuan akan lebih strategis dalam merawat pemahaman beragama yang moderat.
Sedangkan jika ia mengambil peran publik, maka seorang perempuan bisa menjadi teman yang ideal bagi rekan kerjanya. Perempuan juga bisa menjadi public figure bagi komunitas dan organisasinya. Bahkan ia bisa menjadi contoh pemimpin yang ideal bagi masyarakat dan rakyatnya.
Luas atau terbatasnya ruang yang diambil oleh perempuan seyogyanya tidak membatasi mereka dalam merawat pemahaman beragama yang moderat bagi individu-individu di sekelilingnya.
Dalam pendekatan teori, seorang ahli psikologi perempuan menyebutkan bahwa perempuan adalah sumber moralitas bagi anak, perempuan juga memiliki peran yang lebih efektif dalam menanamkan dan mengembangkan prinsip moral dari pada bapak (Kaplan & Surrey, 1984).
Bergeser untuk melengkapi peranannya, masih dengan teori psikologi perempuan. Ahli yang lain juga menyebutkan bahwa harga diri seorang perempuan akan terlihat lebih meningkat apabila ia mampu berpartisipasi dalam hubungan relasional.
Hal yang lebih unik lagi bahwa moralitas perempuan cenderung berperilaku tidak ingin merugikan orang lain melalui pemeliharaan hubungan kerjasama serta cenderung melakukan pengorbanan dalam setiap usahanya (Miller, 1976; Gilligan, 1982).
Teori-teori di atas memberikan kita kesadaran bahwa posisi perempuan di ruang domestik adalah sebagai ujung tombak keluarga. Mengutip pernyataan perempuan Fatmawati Assegaf (Istri K.H Quraish Shihab), jika bapak diistilahkan sebagai kepala, maka perempuan adalah lehernya. Ke arah mana sebuah keluarga hendak menatap, maka perempuan adalah pelopornya.
Sedangkan di ruang publik, melalui relasi kerja yang dibangun bersama rekan-rekannya, komunitas dan organisasi yang dikelola, atau mungkin rakyat yang dipimpinnya. Perempuan juga memiliki peran yang strategis untuk menyebarluaskan pemahaman beragama yang damai, yang menjungjung tinggi nilai kasih sayang dan tidak mudah mencela rekannya karena sebuah perbedaan.
Di sinilah letak strategis perempuan sebagai perempuan publik. Keluwesan perempuan dalam berkomunikasi dan bergaul idealnya bisa memberikan kesempatan yang luas baginya untuk merawat pemahaman beragama yang moderat. Sebab sikap psikologis seperti ini secara interpersonal justru sulit untuk ditemukan pada laki-laki.
Merawat Narasi Moderat
Lalu modal apa yang perlu dimiliki perempuan dalam merawat pemahaman beragama yang moderat bagi lingkungannya?
Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat tiga hal utama yang harus dimiliki oleh seorang perempuan sebagai modal untuk merawat pemahaman beragama yang moderat. Pertama, memiliki prinsip dasar sebagai pondasi berfikir dan berperilaku. Kedua, memiliki pilar-pilar sebagai langkah strategis yang harus dilakukan. Ketiga, menentukan atap sebagai tujuan atau muara yang ingin dicapai.
Pada bagian prinsip dasar, seorang perempuan harus memiliki pemahaman yang cukup mengenai prinsip manhajul fikri. Yaitu tawassuth (mengambil jalan tengah atau moderat), tawazun (seimbang), ta’addul (proporsional dalam hak dan kewajiban), dan tasamuh (menghormati perbedaan).
Ke-empat prinsip tersebut harus dimiliki seorang perempuan baik di saat ia menjalankan perannya di ruang domestik maupun publik. Sebab melalui prinsip tersebut akan terbangun nafas moderat yang melandasi setiap perilakunya.
Sedangkan pada bagian pilar, seyogyanya seorang perempuan mampu membangun jaringan yang ideal dan luas, karena ini menjadi modal penting dalam berdakwah. Selain itu, ia juga harus memiliki semangat yang kuat, berupaya untuk terus bergerak, berintegritas, memiliki kemauan belajar yang tinggi, menghargai proses, berkompetensi, serta memiliki karakter dan etika.
Pilar-pilar tersebut penting untuk digali. Karena pilar bagaikan bahan bakar yang akan dijadikan sebagai modal dalam melakukan perjalanan berkeluarga dan bermasyarakat.
Poin terakhir pada bagian atap, muara yang idealnya dicapai dari merawat perilaku beragama yang moderat adalah terciptanya sebuah perubahan. Baik dimulai dari perubahan yang amat kecil hingga perubahan yang besar. Perubahan yang dimaksud di sini adalah mampu memberikan dampak yang maslahah bagi keluarga dan juga masyarakat.