Dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini, ada banyak cara yang diupayakan secara bersamaan oleh para pejuang kemerdekaan dari berbagai golongan. Awalnya berupa pemberontakan kedaerahan, kemudian terintegrasi menjadi satu yang dimulai oleh berdirinya Budi Oetomo, dan selanjutnya banyak organisasi-organisasi bermunculan dengan corak berbeda namun memiliki orientasi yang sama.
Masing-masing organisasi ini juga memiliki corong atau media untuk mengemukakan gagasannya. Meski tidak sedikit juga media yang didirikan harus bangkrut karena terbatas biaya operasionalnya. Atau memang dihentikan secara paksa oleh pemerintah kolonial karena membahayakan posisinya di Hindia-Belanda.
Perhimpunan Arab Indonesia (PAI) misalnya. Organisasi yang diprakarsai oleh Abdul Rahman Baswedan ini merupakan salah satu organisasi nasionalis. Kendati diisi oleh orang-orang Arab (mayoritas Hadhrami), organisasi ini ingin menjembatani sekaligus mengintegrasikan relasi sosial antara Arab Hadhrami dengan masyarakat Indonesia.
Organisasi ini juga memiliki media, salah satunya Majalah Aliran Baroe yang berfungsi untuk menyuarakan gagasan-gagasan yang progresif dan berperadaban. Melalui majalah ini, mereka tidak segan-segan mengecam dan mengkritik pendudukan kolonial di Hindia-Belanda. Mereka juga menyerukan persatuan, khususnya terhadap sesama komunitas Arab, baik totok maupun peranakan melalui majalah ini.
Majalah ini memulai edisi pertamanya pada Juni 1938 di Surabaya. Pemimpin redaksinya Bafagih, sementara itu direkturnya dipegang oleh S. Makati. Pada Januari 1939, majalah yang terbit bulanan ini mencapai oplah sekitar 1500 eksemplar. Tiap edisi biasanya berisi 22 halaman, meskipun pada hari-hari besar Islam jumlah halamannya lebih tebal. Edisi terakhir majalah ini, nomor 40 terbit pada November 1941.
Mengutip pernyataan Huub de Jonge dalam bukunya Mencari Identitas: Orang Arab Hadhrami di Indonesia 1900-1950, “tidak ada organisasi selain PAI dan tidak ada jurnal selain Aliran Baroe yang lebih banyak mengkampanyekan emansipasi perempuan Hadhrami di Indonesia sebelum Perang Dunia II. Hampir setiap edisi membahas posisi ketinggalan zaman yang ditempati gadis dan perempuan Hadhrami” (hlm. 125).
Pernyataan tersebut tidak berlebihan, mengingat kondisi yang dialami oleh masyarakat Indonesia pada saat itu, terutama perempuan Hadhrami cukup memprihatinkan.
Beberapa kasus perempuan yang diangkat dalam Majalah Aliran Baroe ini, antara lain tentang pernikahan. Pada masa itu banyak ditemukan kasus perempuan Hadhrami yang sudah siap menikah tapi tidak disegerakan.
Kasus ini ditengarai dengan adanya alasan kuat bahwa perempuan Hadhrami harus menikah dengan pria yang setara status sosial dan keturunannya. Akhirnya banyak perempuan yang terpaksa menikah dengan pria tua yang dihormati dan memiliki banyak uang. Mereka menyebutnya dengan istilah bandot tua.
Selain itu perempuan Hadhrami selalu diposisikan di belakang, mengerjakan pekerjaan domestik, dan tidak diperbolehkan ke luar rumah secara sembarangan. Mereka dipingit dan tindakannya dibatasi. Bahkan banyak dari mereka yang tidak mengenal baca tulis.
Kondisi ini persis seperti yang dialami oleh perempuan Indonesia pada masa itu. Di Jawa pada masa lalu, ada istilah akrab yang digunakan untuk mendefinisikan perempuan yakni macak, manak, masak.
Kemudian ditemukan juga kasus-kasus kekerasan, baik verbal maupun fisik dari suaminya sendiri. Mereka hanya menuruti segala sesuatu yang diucapkan oleh suaminya, tanpa ada penyangkalan dan pertimbangan dari pendapatnya sendiri. Tidak jarang juga, justru suaminya berlaku sebagai sipir. Jika istrinya salah, boleh untuk memukulnya, tapi hal itu tidak berlaku sebaliknya.
Kasus-kasus seperti di atas diberitakan dan diberi ruang khusus dalam Majalah Aliran Baroe di rubrik perempuan yang bernama Taman Poeteri. Majalah ini mengajak dan menyerukan tentang pentingnya pendidikan anak perempuan dan perempuan dewasa.
Selain itu juga menegaskan bahwa kedudukan antara suami dan istri di kalangan keluarga Hadhrami itu egaliter. Tidak ada yang dominan dan menguasai, perempuan dan pria sama-sama memiliki kewajiban untuk berperan di ranah domestik dan publik.
Rubrik Taman Poeteri di majalah ini di kemudian hari menjadi inisiasi lahirnya unit lokal PAI-Istri. Sebuah wadah yang menampung gagasan kesetaraan perempuan Hadhrami. Kemudian pada April 1940, dalam konferensi pertamanya, dewan pengurus pusat berhasil membentuk organisasi perempuan nasional.
Kendati majalah ini mencapai kemajuan sampai bisa memunculkan organisasi perempuan di kalangan Hadhrami, namun majalah ini tidak sepi dari kritikan dan kecaman. Terutama dari keluarga yang masih memiliki pemikiran kolot.
Beberapa bahkan ada yang mengatakan secara gamblang bahwa kasus-kasus perempuan seperti di atas tidak sepatutnya dimuat di majalah tersebut. Ada juga pembaca yang mengecamnya dengan mengatakan jangan bangunkan anjing tidur.
Begitu kondisi gambaran perempuan Hadhrami dalam Majalah Aliran Baroe sebelum perang dunia II meletus. Perempuan yang pada awalnya, gerak dan pemikirannya dibatasi oleh budaya patriarki dan dilegitimasi agama bisa mengalami kemajuan berkat seruan terus-menerus melalui sebuah majalah.