Judul : Melati di Taman Keberagaman
Penulis : Mathilda AMW Birowo
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 1, 2019
Tebal : 306 halaman
ISBN : 978-602-052-221-66
Di tengah masih timpangnya kesetaraan dan keadilan di berbagai lini kehidupan, perempuan memiliki karakteristik khusus yang bisa dimaksimalkan untuk menghadirkan model kepeminpinan inklusif dan transformatif guna mengatasi berbagai persoalan tersebut. Gambaran-gambaran tersebut bisa kita temukan dengan menjelajahi buku ini.
Melati di Taman Keberagaman (Grasindo: 2019) berisi catatan Mathilda Amw Birowo selama mengikuti studi banding ke Australia, sebuah negeri multikurtural. Tulisan-tulisan di buku ini merupakan penyusunan kembali atas hal-hal yang ia rasakan, kerabat, dan teman-temannya dalam program Australia Award Indonesia (AAI).
Melalui berbagai kegiatan, dialog, dan pengamatan Mathilda bersama rekan-rekannya di program tersebut, kita diajak memahami pentingnya keberagaman dan inklusi dalam kepemimpinan perempuan.
Selama hampir satu tahun menjalin relasi dengan para pemimpin perempuan lintas agama, para peserta terpilih AAI 2018, terutama di Australia, Mathilda melihat bahwa perempuan memiliki nilai-nilai dalam kriteria kepemimpinan yang melayani (The Servant Leadership), yakni kepemimpinan yang menekankan peningkatan layanan kepada orang lain, pendekatan holistik untuk bekerja, mempromosikan rasa kebersamaan, dan pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan.
Mathilda memandang demikian sebab perempuan mampu melakukan berbagai hal dalam kurun waktu yang sama, berperan di berbagai fungsi, bahkan ketika dalam sekejap diperlukan melakukan hal yang berbeda. Hal ini karena pada dasarnya perempuan memiliki bawaan untuk melayani, dan ini menjadi dasar utama pendidikan inklusi guna memberi kepada orang lain hal-hal yang mereka butuhkan tanpa memandang dari mana mereka berasal (hlm 58).
Model kepemimpinan melayani khas perempuan tersebut terbukti positif. Penulis mengambil contoh pemimpin dari kalangan perempuan di Indonesia yang terbukti memiliki kinerja yang telah diakui, tak hanya secara nasional namun juga internasional. Seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Menteri Perikanan dan Kelautan RI (2014-2019) Susi Pudjiastuti, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Ketiga pemimpin perempuan tersebut, selain mampu melepas isu gender, juga terbukti menunjukkan kepedulian mereka di berbagai bidang, termasuk sosial dan secara praktik mengedepankan inklusifitas dalam memberikan pelayanan kepada publik.
Sri Mulyani, misalnya, menegaskan dengan lantang saat melantik pejabat eselon II dan II di Kantor Kemenkeu 14 Juni 2019 bahwa tak akan memaafkan siapa saja yang melakukan pola kepemimpinan eksklusif.
Karakteristik melayani juga membuat sosok perempuan mampu memahami dan mengakomodir keberagaman. Seperti dituliskan Prof. Dr. Musdah Mulia dalam pengantarnya di buku ini, bahwa perempuan memiliki insting keibuan, yang memungkinkannya lebih mudah menjalani tugas-tugas merawat kebhinekan, menjaga keberlangsungan hidup, mereda konflik, dan memelihara perdamaian.
Dari sana, perempuan mampu menghadirkan model kepemimpinan yang sejuk dan mengutamakan cara-cara damai, empatik, penghargaan pada mereka yang berbeda dan termarjinalkan (hlm 7).
Terkait peran perempuan dalam merawat keberagaman, Mathilda mengisahkan kiprah Wiwin Siti Aminah Rahmawati, peserta AAI dari Institute of Southeast Asian Islam (ISAIS), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam mempromosikan dan mendukung pluralisme agama di Indonesia.
Wiwin bersama 32 perempuan dari berbagai agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), berkumpul dalam workshop dengan tema “Revitalisasi Peran Perempuan dalam Mengelola Keberagaman Agama di Yogyakarta”. Mereka berasal dari berbagai organisasi perempuan keagamaan di DIY seperti Fatayat NU, Nasyiatul Aisyiyyah, Wanita Katolik Republik Indonesia, dan Perempuan Konghucu Indonesia.
Para perempuan dari berbagai organisasi keagamaan tersebut mendeklarasikan Srikandi Lintas Iman (Srili) sebagai komunitas perempuan lintas iman yang aktif melakukan dialog dan peduli pada persoalan sosial, terutama persoalan perempuan dan anak.
Srili melakukan gerakan sipil akar rumput melalui dialog dan kerja sama antariman, dan membuka ruang diskusi untuk berani manafsir ulang ajaran-ajaran agama dalam memandang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selain itu, juga bagaimana umat beragama dapat berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dalam kehidupan sehari-hari (hlm 213).
Selain keberagaman, perempuan juga bisa menjadi penggerak kepedulian terhadap orang-orang yang selama ini terpinggirkan, termasuk kalangan perempuan itu sendiri maupun anak difabel. Mengenai hal ini, Mathilda mengisahkan proyek yang dilakukan seorang peserta AAI, Ariati Dina Puspitasari dari Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah.
Data menunjukkan bahwa para perempuan dan difabel masih kerap mengalami diskriminasi. Misalnya, 80% remaja difabel belum memahami pubertas dengan baik (Jogya Tribun News), baru 0,6% guru di SLB yang dapat menjelaskan kesehatan reproduksi dengan baik (Unisa Yogya), dan sebagian besar perempuan difabel dipaksa saat menentukan alat kontrasepsi (Republika).
Melihat kondisi tersebut, Ariati bersama rekan-rekannya di Nasyiatul Aisyiyah membuat Award Project yang menyelenggarakan beberapa kegiatan, yaitu : (1) FGD (Focus Group Discussion) penilaian kesehatan reproduksi perempuan dan anak difabel, (2) Pembekalan relawan pelayan kesehatan Nasyiatul Aisyiyah untuk melayani klien difabel, (3) melakukan pelayanan kesehatan untuk perempuan dan anak difabel. Tujuan dari project-project tersebut adalah adanya kesadaran dari perempuan dan anak difabel tentang kesehatan reproduksi dan periaku hidup sehat (hlm 256).
Mathilda mempersembahkan buku ini untuk para perempuan yang ingin belajar kepemimpinan perempuan, serta menjaga nilai-nilai kebangsaan dalam profesi atau peran apa pun yang kita miliki di komunitas atau organisasi.
Berbagai contoh gerakan dan sepak terjang perempuan dalam berbagai organisasi yang dikisahkan akan membuka mata kita akan besarnya potensi perempuan untuk berperan, bahkan menjadi penggerak dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan. Mulai soal membangun kesetaraan, menjaga keberagaman, perdamaian, hingga pemberdayaan kelompok yang selama ini terpinggirkan.