Sabtu malam, pada 22 Desember 1928, sekitar seribu orang dari 30 organisasi perempuan di berbagai wilayah Nusantara, dan ada beberapa yang bukan organisasi perempuan, untuk pertama kali mengadakan kongres di Yogyakarta. Momen ini disebut dengan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Dan, sekarang kita mengenang hari pelaksanaan kongres tersebut sebagai Hari Ibu.
Sebagai ketua pelaksana kongres, Ny. Sukonto merupakan salah satu pemain sentral dalam terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Kiprahnya dalam upaya memperbaiki nasib kaum perempuan Nusantara menjadikannya sosok yang patut untuk terus dikenang.
Nama aslinya Siti Aminah. Lahir di Klegen, Temanggung, Jawa Tengah, pada 5 Agustus 1989. Dia menikah dengan Dokter Sukonto pada 7 September 1907, dan mulai saat itu menjadi Ny. Sukonto.
Mereka membangun rumah tangga yang baik, hidup bersama hingga tua. Dia senantiasa mendampingi suaminya. Suaminya mangkat pada 19 Juni 1968, dan setahun kemudian, tepatnya pada 5 November 1969, Ny. Sukonto menyusulnya.
Sepanjang hidupnya, Ny. Sukonto telah banyak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam upaya memajukan nasib kaum perempuan.
Ny. Sukonto tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah. Namun demikian, dia mendapatkan pendidikan informal dan nonformal yang baik. Sejak kecil dia telah belajar mengaji (agama) dan baca-tulis huruf Jawa.
Setelah menikah dengan Dokter Sukonto, oleh suaminya, Ny. Sukonto diajari baca-tulis huruf latin. Dia adalah pelajar yang tekun. Semangat belajar membacanya sangat terbantukan dengan suaminya yang sering membeli surat kabar dan majalah.
Ny. Sukonto pun menguasai baca-tulis huruf latin. Hal ini membuat akses pengetahuannya semakin luas.
Status sebagai seorang berpendidikan tidak bisa hanya dilihat dari telah mendapatkan pendidikan formal di sekolah. Melainkan, juga dari bagaimana semangat dan ketekunan seseorang dalam menggali pengetahuan.
Dalam kasus Ny. Sukonto, meski dirinya tidak pernah sekolah formal, namun berkat ketekunan belajar yang tinggi, dia berhasil menjadi sosok perempuan yang berpendidikan.
Semangat Ny. Sukonto tidak hanya dalam belajar saja, namun juga dalam upaya memajukan nasib kaumnya. Karena itu, dia menerjunkan diri dalam dunia pergerakan.
Dalam buku Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama, disusun Suratmin dkk, dijelaskan: “Waktu pertama kali keluarga Sukonto menetap di Yogyakarta, Ny. Sukonto baru dapat menggabungkan diri pada salah satu organisasi yang ada di Yogyakarta waktu itu. Organisasi yang pertama dimasuki ialah Wanito Utomo….”
Dia mengawali karir dalam dunia pergerakan sebagai anggota Wanita Utomo. Sebuah organisasi perempuan yang diprakarsai oleh istri-istri Pengurus Besar Budi Utomo pada 24 April 1921 di Yogyakarta.
Siwi Tyas Fhemy Cahyani dkk, dalam artikel Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia Menuntut Hak Pendidikan pada Masa Kolonial Belanda Tahun 1912-1928, menjelaskan tujuan dari Wanita Utomo adalah:
“…menjalin tali persaudaraan yang kukuh, saling tolong menolong, memajukan keterampilan kaum perempuan yang sesuai dengan tuntutan zaman (sebagai istri dan sebagai ibu). Selain itu, organisasi atau perkumpulan Wanita Utomo ini bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan dan kepandaian putri yang khusus.”
Wanita Utomo menjadi jalan Ny. Sukonto dalam upaya memajukan nasib kaum perempuan Nusantara, khususnya Jawa. Karena semangat dan keuletannya dalam bergerak, kiprahnya kian besar. Hingga Ny. Sukonto menjabat sebagai ketua muda Wanita Utomo sepanjang 1927-1929, dan pada 1929-1930 dia menjadi ketua.
Pasca Sumpah Pemuda 1928, beberapa aktivis perempuan menyadari pentingnya persatuan dalam pergerakan kaum perempuan. Ny. Sujatin Kartowijono kemudian mengunjungi Ny. Sukonto dan Nyi Hajar Dewantara serta beberapa tokoh lainnya untuk mendiskusikan masalah ini.
Dalam buku Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama dijelaskan pandangan Ny. Sukonto kala itu: “Menurut penilaian Ny. Sukonto walaupun perkumpulan perempuan di Indonesia sudah banyak, tetapi perkumpulan-perkumpulan itu tidak dapat membicarakan nasibnya yang amat sengsara.”
Hal itu dikarenakan belum adanya persatuan di antara organisasi-organisasi perempuan. Sehingga, ikhtiar untuk melaksanakan kongres perempuan menjadi penting.
Berangkat dari kerisauan itu, Ny. Sukonto, Nyi Hajar Dewantara, Ny. Sujatin, dibantu Sunaryati sebagai juru tulis undangan, dan peran tokoh-tokoh lainnya, maka terselenggaralah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama pada 22-25 Desember 1945 di Dalem Joyodipuran Yogyakarta.
Kongres tersebut menghasilkan keputusan: membentuk badan permufakatan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Juga mendirikan studie funds (dana/simpanan pendidikan) untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu membayar biaya sekolah dan untuk usaha memajukan kepanduan putri, dan mencegah perkawinan di bawah umur.
Selain itu, sebagaimana dijelaskan Budi Sujati dan Ilfa Harfiatul Haq dalam jurnal mereka Gerakan Perempuan di Jawa (1912-1941) bahwa:
“Karakteristik gerakan wanita di Jawa pada masa awal pada umumnya bergerak untuk perbaikan taraf kedudukan perempuan dalam hidup rumah tangga, memperluas kecakapan sebagai ibu dan memperbaiki kualitas pendidikan perempuan yang pada waktu itu dianggap termarjinalkan. Gerak maju perempuan ini dilakukan dengan tidak merongrong kedudukan kaum lelaki, tetapi untuk melawan penjajah yang melakukan motif politis balas budi (politics ethics).”
Dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama, selain menghasilkan kesepakatan persatuan organisasi perempuan dan upaya memajukan pendidikan perempuan, juga diwarnai dengan upaya perbaikan kedudukan perempuan dalam rumah tangga. Hal ini tergambar dari judul pidato Ny. Sukonto dalam kongres tersebut.
Susan Blackburn dalam tulisannya Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang–menuliskan nama-nama 15 pembicara dalam Kongres Perempuan Indonesia yang pertama beserta judul pidato mereka. Salah satu di antaranya adalah R.A. Sukonto dengan pidato berjudul “Kewajiban Perempuan di dalam Rumah Tangga.”
Perlu dipahami juga, bahwa Kongres Perempuan Indonesia yang pertama bukan untuk tandingan Kongres Pemuda II–menghasilkan Sumpah Pemuda–yang dilakukan dua bulan sebelumnya, 27-28 Oktober 1928. Gerakan perempuan bukan upaya untuk menandingi kedudukan laki-laki.
Oposisi biner (perbandingan peran laki-laki dan perempuan) bukan maksud dari gerakan perempuan. Tujuan perempuan Indonesia bergerak adalah jelas sebagai upaya untuk memajukan nasib perempuan di Nusantara.
Tujuan tersebut sangat dipahami oleh tokoh-tokoh sentral Indonesia saat itu. Sehingga penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia mendapat sambutan baik dan bantuan dari beberapa tokoh laki-laki. Mereka sadar bahwa usaha memajukan nasib kaum perempuan adalah tugas bersama. Satu dari tokoh laki-laki yang aktif membantu adalah Ki Hajar Dewantara.
Namun tidak bisa dipungkiri kalau terdapat haters terhadap gerakan yang dilakukan oleh Ny. Sukonto dan rekan-rekannya. Dalam buku Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama diceritakan kalau ada sebagian pihak yang “…menganggap rendah kaumnya sendiri, dan merasa tidak perlu mengadakan gerakan-gerakan sebagaimana dimaksud oleh Ny. Sukonto dan kawan-kawannya…. (Mereka) mengatakan bahwa kaum istri (perempuan) tidak perlu berkongres-kongresan. Kaum istri hanyalah di dapur tempatnya.”
Meski mendapat cibiran dari sebagian pihak, namun semangat Ny. Sukonto dan rekan-rekannya tidak undur. Sebab, dalam keyakinan mereka bahwa apa yang dilakukan adalah upaya untuk memajukan nasib kaum perempuan Indonesia.
Pada akhirnya, berkat usaha keras Ny. Sukonto dan rekan-rekannya, Kongres Perempuan Indonesia berhasil dilaksanakan. Dan, menjadi satu bagian penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.