Pasca reformasi, Indonesia pernah dianggap sebagai salah satu negara paling toleran; tempat agama dan demokrasi dapat hidup secara berdampingan. Namun, citra tersebut kini mulai diragukan dan dipertanyakan dalam satu dasawarsa terakhir.
Munculnya beragam persoalan seperti aksi penyerangan terhadap masjid Ahmadiyah di Sintang; pelarangan pembangunan rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Aceh Singkil; dan umat Kristen di Desa Ngastemi, Kabupaten Mojokerto, menggambarkan tren intoleransi yang semakin meluas di masyarakat Indonesia.
Memang persoalan intoleransi masih menjadi problem akut yang dihadapi bangsa Indonesia. Sikap ini juga berimplikasi pada lahirnya konflik, saling menyalahkan, permusuhan, kekerasan yang bernuansa perbedaan primordial, dan kebencian hingga peperangan dahsyat di antara sesama manusia. Juga menjadi bibit lahirnya gerakan radikal-ektremis-terorisme.
Ini artinya, tantangan kebangsaan ke depannya semakin berat. Bukan hanya radikalisme-terorisme, melainkan juga maraknya sikap intoleran yang kian merajalela. Apabila tidak segera diselesaikan dengan cepat, tegas, dan masif, bukan mustahil bangsa Indonesia yang di dalamnya syarat akan pluralisme-multikulturalisme mengalami kehancuran. Juga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Ideologi Pancasila-nya.
Dengan demikian, di tengah kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan ini, kita perlu membaca ulang gagasan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ihwal konsep toleransinya. Lantas bagaimanakah konsep toleransi ala Gus Dur?
Sudah jamak diketahui dalam perjalanan hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai publik figur (tokoh) kemanusiaan dan ikon toleransi di Indonesia. Gus Dur bukan sekadar seorang ulama dari kalangan NU saja, tapi ia merupakan pahlawan bagi seluruh bangsa Indonesia. Tidak mengherankan jika laku hidupnya banyak dijadikan panutan/teladan bukan hanya umat Islam saja, melainkan seluruh umat beragama di Indonesia.
Pemikiran Gus Dur memberikan warna tersendiri dalam dinamika intelektual Muslim di Indonesia. Alih-alih ia diposisikan sebagai intelektual Muslim progresif dan kritis, kecaman dan caci maki yang diperolehnya bahkan dicap kafir karena pemikirannya dianggap kontroversial. Walau begitu, Gus Dur menjadi inspirator bagi banyak intelektual muda, terutama NU.
Salah satu ciri pemikiran Gus Dur yang sudah akrab diketahui adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi jembatan (titik temu) bagi berbagai perbedaan, seperti wacana pluralisme dan toleransi yang kerap digelorakan dalam setiap kesempatan. Sehingga menurutnya, merawat dan menjaga toleransi merupakan keniscayaan untuk terciptanya keharmonisan hubungan antarumat beragama. Sebab, jika sampai rusak keharmonisan itu akan sangat sulit untuk dipulihkan kembali.
Bagi Gus Dur, toleransi bukan persoalan epistemologi yang kerap membutuhkan definisi, tetapi ia adalah aksiologi dari konsep-konsep yang bersifat normatif dalam Islam. Karena kehadirannya pun bersamaan dengan topik pluralisme. Jika pluralisme membicarakan soal bagaimana realitas kemajemukan agama dapat diterima, maka toleransi lebih menekankan bagaimana berperilaku dalam kemajemukan tersebut.
Dalam menandaskan gagasannya tentang konsep toleransi, Gus Dur tetap berpegang teguh pada ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. Misalnya, QS. Al-Anbiya’ ayat 107, yaitu:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya: 107)
Menurut Gus Dur, lafaz Rahmatan Lil ‘Alamin dalam ayat di atas tidak sekadar mengandung arti sebagai umat manusia semesta. Tetapi sebagai makhluk yang ada di dunia ini. Artinya, Islam adalah sebagai agama yang menjadi pelindung semua makhluk di muka bumi ini.
Pun, perlindungan yang dimaksud bukan dalam kerangka kualitas antara mayoritas-minoritas maupun kuat-lemah, melainkan sebuah tanggung jawab yang mengarah pada terbentuknya suatu ikatan persaudaraan. Dalam hal ini, Gus Dur juga mengutip Hadits, yaitu:
“Sayangilah siapa pun orang yang ada di bumi maka akan menyayangi pula Dzat yang ada di langit”. (HR. Tirmidzi)
Oleh karena itu, sikap toleransi tidak bergantung pada kualitas pendidikan seseorang, melainkan adalah mencakup hati dan perilaku. Orang yang bersikap toleran tidak mesti memiliki kekayaan, jabatan dan lain-lain. Bahkan, menurut Gus Dur semangat toleransi acapkali lahir dari seseorang yang tidak pintar, tidak kaya, dan kehidupannya biasa-biasa saja (berkecukupan).
Dengan demikian, jelaslah bahwa konsep toleransi ala Gus Dur bukan sekadar menghormati atau tenggang rasa, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan dilanjutkan dengan saling memiliki dalam kehidupan menjadi “ukhuwa basyariyah”.
Dengan kata lain, toleransi tidak sekadar mengarah pada penghormatan dan pengakuan. Tetapi lebih dari itu yakni menerima atas segala perbedaan baik agama maupun status sosial. Atau, toleransi ala Gus Dur lebih mengaksentuasikan praktik (aksi) daripada teori (penghormatan dan pengakuan).
Dari sini tampak bahwa Gus Dur memberikan artikulasi dari sebuah relasi yang bersifat aktif dalam kerangka lebih besar, yakni terciptanya kehidupan damai, setara, dan berkeadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, Indonesia sebagai negara plural dan multikultural yang terdiri dari beragam suku, etnis, agama, bahasa, dan budaya, terutama dikenal mayoritas penduduknya adalah muslim terbesar di dunia merupakan keniscayaan untuk mengaktualisasikan konsep toleransi ala Gus Dur dalam laku hidup sehari-hari.
Selamat memperingati Haul ke-12 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Wallahu A’lam.