“Membaca maka akan berdaya”
Di era masyarakat informasi, kegiatan membaca menjadi modal penting untuk bersaing secara global. Pasalnya, informasi sudah menjadi aset penting. Siapa yang menguasai informasi, maka dunia ada dalam genggamannya. Sementara mereka yang tidak menguasai informasi akan semakin jauh tertinggal dalam belenggu keterpurukan. (hlm. 9)
Maka, informasi menjadi sebuah kekuatan besar bagi siapa yang menguasainya. Sebaliknya, siapa yang tidak menguasai informasi akan semakin tertinggal jauh dari perkembangan. Inilah salah satu indikasi bahwa kita telah memasuki era masyarakat informasi. Martin dalam Suwarno (210: 48) menjelaskan istilah masyarakat informasi sebagai suatu masyarakat ketika kualitas hidup dan prospek untuk perubahan sosial dan pembangunan ekonomi tergantung pada peningkatan informasi dan perubahannya. Dalam pengertian lain, masyarakat informasi adalah suatu keadaan masyarakat ketika produksi, distribusi, dan manipulasi suatu informasi menjadi kegiatan utama.
Dari sini dapat dipahami bahwa masyarakat informasi adalah era di mana informasi memegang posisi penting dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Sehingga informasi menjadi komoditi utama. Siapa yang menguasai informasi, dialah yang siap menangkap berbagai peluang untuk maju. Dan sebaliknya, bagi yang tidak menguasai informasi akan semakin tertinggal oleh laju perkembangan teknologi yang begitu cepatnya.
Untuk itu, agar masyarakat menjadi lebih maju dan berkembang, ia harus menguasai informasi yang sebanyak-banyaknya yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal tersebut dapat diperoleh dengan cara selalu membaca berbagai hal. Dengan membaca, ia akan selalu mengalami update pengetahuan dan wawasan sehingga jauh dari ketertinggalan. (hlm. 18).
Perpustakaan Desa dan Harapan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia nomor 6 Tahun 2017 Tentang Standar Nasional Perpustakaan desa/Kelurahan disebutkan bahwa perpustakaan desa/kelurahan adalah perpustakaan yang diselenggarakan oleh pemerintah desa/kelurahan yang mempunyai tugas pokok melaksanakan pengembangan perpustakaan di wilayah desa/kelurahan serta melaksanakan layanan perpustakaan kepada masyarakat umum yang tidak membedakan usia, ras, agama, status sosial ekonomi dan gender.
Oleh karena itu, lebih lanjutnya perpustakaan desa masuk dalam kategori perpustakaan umum. Hal ini didasarkan pada UU No. 43 tahun 2007 tentang perpustakaan pasal 22 ayat 1 yang menjabarkan bahwa perpustakaan umum diselenggarakan oleh pemerintah, baik dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, desa, serta dapat diselenggarakan oleh masyarakat.
Jika merujuk pada peraturan tersebut, dapat diketahui bahwa perpustakaan desa merupakan perpustakaan yang menempati posisi strategis yang paling dekat dengan lapisan masyarakat dibandingkan dengan perpustakaan umum lainnya. Itu artinya, perpustakaan desa menjadi garda depan dalam rangka proses pemberdayaan masyarakat.
Kehadiran perpustakaan desa harus mampu tampil sebagai solusi atas berbagai macam permasalahan di masyarakat, mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial, dan lainnya. Solusi ini dapat dipecahkan dengan tersedianya bahan bacaan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang ditunjang dengan adanya berbagai kegiatan pendukung seperti pelatihan dan lainnya. Melalui perpustakaan ini juga, kita bisa berharap adanya sebuah perubahn di masyarakat melalui program pemberdayaan. (hlm. 27).
Pemberdayaan Berbasis Literasi
Secara sederhana, pemberdayaan merupakan sebuah ikhtiar menuju proses berdaya. Dari kurang mampu menjadi lebih mampu, lebih mandiri sehingga memiliki daya saing dan kualitas yang lebih baik. Oleh karena itu, pemberdayaan berbasis literasi merupakan pemberdayaan yang menekankan pada aspek literasi.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, kata literasi dimaknai sebagai: 1) Kemampuan menulis dan membaca; 2) Pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu-komputer; 3) kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Dari sini, secara sederhana dapat dipahami bahwa literasi tidak terbatas pada kemampuan membaca dan menulis saja, melainkan juga kemampuan dalam mengolah informasi dan pengetahuan guna meningkatkan kecakapan hidup seseorang.
Dengan demikian, pemberbadayaan masyarakat berbasis literasi merupakan bentuk pemberdayaan yang menekankan pada aspek literasi yang di dalamnya mencakup kemamuan baca tulis, di mana buku atau sumber bacaan sebagai amunisinya, serta perpustakaan sebagai penggerak utamanya. (hlm. 43).
Sebagai rekomendasi, buku ini sangat tepat sebagai buku pegangan untuk para pegiat literasi, maupun pengelola perpustakaan dalam melakukan program pemberdayaan masyarakat melalui literasi. Ada sebuah adagium, “Buku adalah energi” demikian penulis ungkapkan.
Sejatinya buku bukanlah sekadar kumpulan lembaran kertas yang berisi rangkaian kata menjadi sebuah kalimat. Buku merupakan representasi hasil gagasan atau pemikiran penulisnya yang ditrasfer kepada para pembaca. Di balik buku tersimpan sebuah energi besar di mana dapat menggerakkan para pembacanya untuk memahami dan berbuat sesuatu yang mengubah dari kondisi sebelumnya. Tentu saja hal ini dapat dirasakan jika buku tidak hanya dibaca, tetapi juga dipraktikkan secara langsung. Artinya, apa yang dibaca tidak sekadar mengendap dalam pemikiran saja, tetapi diikuti dengan aksi nyata.
Identitas Buku
Judul : Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Literasi
Penulis : Moh. Mursyid
Penerbit : Azyan Mitra Media
Cetakan : Pertama, Maret 2019
Tebal : 90 hlm; 13 x 19 cm