“Pujian dari pemuja dan kritik dari pembenci selalu kurang menarik dibanding kebalikannya”. Demikian satu di antara sekian banyak quote fenomenal dari salah satu budayawan nasional yang baru saja panggil Yang Maha Kuasa. Dialah Supriyanto GS atau yang lebih dikenal dengan Prie GS. Budayawan multitalenta kelahiran Kendal tersebut mengembuskan nafas terakhirnya pada Jumat (12/02/2021) akibat serangan jantung.
Prie GS sendiri mengawali kariernya menjadi wartawan. Alumnus IKIP Semarang ini juga dikenal sebagai kartunis, penyair, penulis, dan public speaker. Banyak karya-karya yang telah diterbitkan baik puisi, cerpen, kolom, kartun, maupun buku-buku humor. Testimoni banyak pihak adalah karakter Prie GS yang kuat dibuktikan dengan tulisan dan ucapannya yang ringan dan renyah namun memiliki marwah. Termasuk di dalamnya ketika melontarkan kritik.
Semua tahu bahwa kritik sejatinya merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat. Implementasinya telah diakui konstitusi dan regulasi. Kritik tersebut tentu dalam konotasi yang konstruktif. Meskipun diakui muncul dilema dalam kebebasan tersebut dengan ancaman pelaporan berupa pencemaran nama baik, UU ITE, dan lainnya. Semua ini mestinya tetap dalam kerangka keadilan dan kedewasaan dari semua pihak.
Indonesia telah mengalami perkembangan yang progresif dalam mengatur kebebasan berekspresi. Konstitusi khususnya Pasal 28E menjamin hak setiap orang dalam berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berekspresi juga dijamin oleh UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Media.
Kebebasan merupakan bagian konsep filosofi politik yang menggambarkan kondisi di mana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Kekebasan berpendapat dan berekspresi cukup positif bagi upaya check and balance serta penegakan keadilan di semua sektor. Salah satu bentuk berpendapat adalah kritik. Kritik bagi pemimpin adalah keniscayaan. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas segala kebijakannya maupun perangai pribadi dan keluarganya.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah prinsip universal atau hak asasi di dalam negara demokratis. Prinsip ini antara lain diatur dalam Konvensi Internasional Hak Sipil Politik. Bauhofer (1975) menyatakan bahwa hak-hak asasi tidak diberikan dan tidak hilang. Negara hanya merupakan organisasi yang menjamin hak-hak asasi manusia bersangkutan. Pemikiran demikian sesuai dengan filosofi demokrasi, yang menetapkan batas-batas atas kebebasan. Batas kebebasan antara lain sensor, kebenaran, dan peraturan perundangan.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam pelaksanaannya juga kerap dibatasi oleh tuntutan etika. Martin (1993) mendefinisikan etika sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”. Etika menjadi refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”.
Aristoteles (384-322 SM) menyatakan bahwa manusia bertindak etis melalui segala tindakan dalam rangka kesosialannya, terutama berpartisipasi dalam pemajuan negara kota (polis). Jika melihat tujuan pengkritik untuk perbaikan kondisi ke depan, maka semua yang dilakukan dibenarkan secara etika.
Ujaran kebencian yang tidak beretika dan miskin data memang menganggu hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya mengujarkan sesuatu merupakan bentuk HAM juga. Hal ini patut ditimbang dengan seksama terkait benturan kepentingan HAM ini.
Langkah penanganan mestinya adalah tindakan preventif dan penegakan hukum mengacu UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Langkah ini terlalu simpel. Polri selain mencegah mestinya juga melakukan peringatan dan pembinaan sebelum menempuh jalur hukum.
Pempimpin semestinya dapat menerima kritik dalam bentuk apa pun karena hal itu sebagai bentuk konsekuensi dari jabatannya. Apresiasi patut diberikan kepada Presiden Jokowi saat Hari Pers beberapa waktu lalu yang menyatakan butuh adanya kritik dari pers dan publik. Implementasi yang berkeadilan dan tidak menimbulkan kekhawatiran pelaporan ditunggu selanjutnya. Edukasi penting diberikan kepada semua pendukungnya agar tidak mudah melaporkan terhadap setiap kritikan.
Jika merasa pernyataan sejumlah pihak tidak benar, maka cukup melakukan klarifikasi dan tidak perlu menggunakan mekanisme hukum. Pemimpin penting melawan kritik dengan kerja nyata. Prestasi yang secara baik dikomunikasikan ke publik dengan sendirinya akan meredakan serangan kritik.
Komunikasi melalui berbagai media hendaklah dimaknai dan dijalankan secara produktif. Diskusi, kritik tajam, hingga debat panjang menjadi fenomena positif asalkan dilakukan secara konstruktif. Pemerintah dan pendukungnya penting untuk tidak alergi kritik. Setiap kritik mestinya tidak dimaknai sebagai kebencian atau penolakan, tetapi sebagai bahan evaluasi penyempurnaan.
Publik juga penting mengedepankan etika dan norma dalam menyampaikan saran dan kritik. Kontroversi kebijakan dapat dilawan dengan kritik yang argumentatif. Ekspresi kemarahan adalah wajar, namun tidak selayaknya disampaikan secara membabi buta atau dengan bahasa kasar. Jika kritik virtual tidak mempan, maka media virtual dapat dijadikan penggalangan dukungan guna menempuh jalur formal. Misalnya penolakan kebijakan atau regulasi dengan menggalang dukungan untuk judicial review, class action, atau lainnya.
Belajar dari Prie GS, maka kritik bisa ditempuh secara menggelitik dan tidak perlu secara emosional. Bahasa ringan, santun, kadang menghibur juga bisa menjadi pilihan agar kritik didengar dan mendapatkan solusinya.