Kemampuan berbicara merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah Swt. kepada manusia. Dengan kemampuan berbicara, manusia dapat membangun hubugan sosialnya. Dalam hal ini, kemampuan berbicara berarti kemampuan untuk berkomunikasi.
Lebih dari itu, kemampuan komunikasi secara baik yang dimiliki oleh seseorang dapat menjadi panutan bagi masyarakat. Akan tetapi, akan berakibat fatal apabila salah dalam berkomunikasi misal, berbicara tentang suatu hal yang tidak sesuai dengan faktanya. Bahkan, hal ini dapat menumbuh suburkan perpecahan, merintangi kemajuan dan menghambat pemikiran.
Oleh sebab itu, melalui Al-Qur’an Allah memberikan sugesti dan perhatian yang sangat besar mengenai etika berkomunikasi. Bahkan, Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat ke-263 yang berisi ucapan yang baik dipandang lebih baik dari pada sedekah yang dapat menyakiti hati penerima.
Untuk itu, dalam hal ini penulis akan menjelaskan prinsip-prinsip etika berkomunikasi dalam Al-Qur’an. Kendati memang Al-Qur’an tidak membahasnya secara spesifik, namun jika diteliti, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan prinsip-prinsip etika komunikasi dalam Islam, di antaranya ialah sebagai berikut.
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا
“Mereka adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Kerena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa” (Q.S. al-Nisa’ [5]: 63)
Menurut Ibnu Asyur, lafal “Balighun” mengikuti wazan Failun (فعيل). Wazan ini memiliki makna orang yang menyampaikan dengan penyampaian yang kuat yakni ucapan yang disampaikan dapat masuk dan membekas pada jiwa dan lubuk hati.
Sementara itu Imam al-Jazairi dalam tafsirnya Aysiru al-Tafasir memberikan penyebab kenapa ucapan tadi masuk ke dalam lubuk hati, yaitu karena balaghah dan fasihnya ucapan tersebut (al-Jazairi, 2003 [1]: 499).
Jadi, salah satu perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. dalam ayat di atas ialah agar beliau menghindar dari orang-orang munafik serta memberikan nasihat yang mengena dan merasuk ke dalam jiwa mereka.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Q.S. al-Isra’ [15]: 23)
Pada ayat ini, Allah memberikan didikan pada hambanya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Menurut Syekh Wahbah Zuhaili (2001, [15]: 52) dalam kitab Tafsir al-Munir, ayat ini mengandung beberapa hal tentang adab seorang anak kepada orang tua.
Antara lain ialah Allah melarang mengucapkan kata “ah” pada kedua orangtua. Ini berarti, jangan sampai keduanya mendengar kata-kata risau, gelisah atau ucapan yang dapat menyakiti hati keduanya, dalam kondisi apapun. Kemudian, larangan membentak keduanya, yakni larangan memperlakukan ayah dan ibu dengan perlakuan yang keji seperti berselisih dalam ucapan, bohong dan lain sebagainya.
Selanjutnya Allah memberikan perintah agar mengucapkan kepada keduanya dengan ucapan yang mulia. Dalam hal ini Syekh Wahbah Zuhaili menafsiri “Qaulan Karima” dengan ucapan yang lemah-lembut dan baik. Di samping juga disertai dengan rasa rendah diri, hormat, malu dan adab yang luhur kepada kedua orang tua.
وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلًا مَيْسُورًا
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah-lembut” (Q.S. al-Isra’ [15]: 28)
Dalam hal ini Ibnu Asyur juga berpendapat bahwa “Qaulan Maysuran” adalah ucapan yang baik dan lembut. Selain itu juga mengandung makna menyenangkan dan dapat dipahami oleh orang yang berbicara.
Selain itu, ada juga ulama yang menafsiri “Qaulan Maysuran” dengan doa. Misalnya perkataan, “Semoga Allah saw memberimu kecukupan” dan “Semoga Allah melipahkan rezeki pada kami dan kalian semua.” (al-Baidhawi, 1997 [3]: 253).
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Q.S. al-Nisa’ [4]: 5)
Al-Maraghi menyebutkan, khitab (pembicaraan) pada ayat 5 surat al-Nisa’ di atas ialah untuk seluruh umat. Isinya yakni perintah agar memberikan harta kepada anak yatim yang sudah balig atau dewasa dan memberikan mahar kepada istri, kecuali salah satu dari keduanya (anak yatim dan istri) termasuk orang safih (dungu) yang tidak dapat menggunakan harta benda dengan baik.
Oleh karena itu, cegahlah agar harta-harta mereka tidak sia-sia dan jagalah hartanya hingga, mereka mendapat petunjuk (tidak safih lagi). Lalu, hendaklah setiap wali memberikan nasihat terhadap yang diasuhnya.
Dalam hal ini al-Maraghi menafsirinya dengan nasihat atau wejangan yang bijak. Seperti halnya memberi tahu akibat uang yang digunakan dengan sia-sia akan membuatnya fakir. Bisa juga berupa ucapan selainnya yang dapat memberi petunjuk pada mereka. Sehingga, dengan nasihat, petunjuk dan didikan tidak menjadikannya safih lagi dan justru menjadi orang yang memberi petunjuk pada orang lain. Demikian gambaran “Qaulan Ma’rufan” pada ayat di atas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar” (Q.S. al-Ahzab [22]: 70)
Dalam ayat tersebut, selain Allah memberikan perintah kepada setiap hamba agar senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu juga memberikan perintah agar mengucapkan perkataan lurus yang diridhoi oleh Allah (tidak melanggar syari’at).
Dalam hal ini Syekh Ali al-Sabuni dalam tafsir Sofwah al-Tafasir juga mengutip pendapat Imam al-Tabari bahwa maksud “Qaulan Sadidan” ialah ucapan yang sesuai dengan kenyataan, benar dan tidak batil.
Demikian penjelasan-penjelasan mengenai prinsip etika berkomunikasi sebagaimana keterangan Al-Qur’an. Kesimpulannya, bahwa etika komunikasi dalam Islam yakni harus selektif, menghindari kata-kata yang jelek dan menggunakan kata-kata yang baik serta menjauhi kata-kata yang melanggar syariat. Kata-kata baik dalam ini ialah kata-kata yang dapat diterima dan tidak menyinggung orang lain.
Selain itu, dari beberapa penjelasan etika komunikasi dalam Islam inilah menuntut kita sebagai orang muslim agar memperhatikan tatakrama dalam berbicara. Yang tak kalah penting yakni menyesuaikannya dengan lingkungan, kondisi dan situasi dimana kita bertempat.