Jakarta, IQRA.ID – Guru Besar bidang Filsafat dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Prof. Fransisco Budi Hardiman, mengatakan bahwa teknologi yang semakin canggih dapat menjadi prasyarat adanya lonjakan spiritual keagamaan bagi kehidupan manusia di tengah masyarakat.
Karena itu, ia menilai, agama masih memiliki peran-peran yang sangat strategis di dalam kehidupan seluruh umat manusia, meskipun ilmu dan teknologi mengalami perkembangan yang pesat.
“Agama di masa depan berfungsi memberikan jangkar metafisis manusia, agama akan tetap memberikan jangkar metafisis dalam arti penghayatan, merawat kehidupan. Agama tetap memberikan makna, menjadi horison solidaritas,” ujarnya pada Sesi Panel 1 Muktamar Pemikiran NU bertema Imagining The Future Society di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada Sabtu (2/12/2023) pagi.
Dalam konteks tertentu, bagi Budi, kemajuan ilmu dan teknologi di masa yang akan datang memang bisa memberikan jawaban kepada manusia atas sejumlah pertanyaan yang ada. Meskipun begitu, dia menyebut pertanyaan yang bersifat eksistensial manusia diyakini akan tetap tidak tersentuh.
“Ini seperti halnya tradisi yang tidak hanya dijaga supaya lestari tetapi juga bisa diupayakan agar bisa teraktualisasi dan bertransformasi,” jelas penulis karya Filsafat Fragmentaris itu.
Pada kegiatan yang dihelat Lakpesdam PBNU ini, Prof Budi menyoroti perkembangan ilmu dan teknologi saat ini diiringi oleh kenyataan yang cenderung ironis dan menyedihkan.
Ia memandang tidak lagi sedikit manusia di era kekinian yang diklaim mirip dengan mesin. Sebaliknya, terdapat juga anggapan yang menyebut bahwa mesin lebih mirip dengan manusia.
“Memang ada sebuah ironi besar yang sekarang sedang kita lalui, manusia dikendalikan oleh platform digital. Jadi, ini ironi. Kalau kita membicarakan ironi seperti ini bagaimana membayangkan masa depan,” ungkap akademisi yang pernah belajar filsafat di Jerman itu.
Ia mencontohkan, smartphone sebagai salah satu mesin yang ada telah berhasil mengendalikan tindakan dan perilaku manusia.
Menurutnya, sikap manusia yang demikian bisa saja mengakibatkan kehidupan masyarakat yang kacau, terlebih ketika manusia sudah menganggap berita hoaks sebagai informasi yang wajar.
“Manusia dewasa ini setiap individu membawa masa, realitas sosial tentu kacau balau jika hoaks menjadi semakin adaptif. Lalu kebenaran hilang di tengah lautan semiotik kebebasan,” pungkasnya di hadapan ratusan hadirin yang berasal dari kalangan akademisi, mahasiswa, aktivis, santri, dan masyarakat umum lainnya. (M. Anas Mahfudhi/M. Zidni Nafi’)