Editorial Radio Republik Indonesia (RRI), tanggal 21 April 2020 menyoroti pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan yang tidak seperti biasanya. Terkait pandemi covid-19, tata laksana Ramadhan diadakan seminimalis mungkin. Tidak ada penyambutan pawai Ramadhan sebagaimana biasa terjadi menjelang bulan yang penuh berkah ini.
Tersebab oleh coronavirus, setiap kegiatan dilaksanakan tanpa mengumpulkan banyak massa, atau bahkan ditiadakan untuk mencegah tersebarnya virus yang cukup menghebohkan ini. Kondisi ini akan membuat psikis kita jenuh dan penat. Tetapi, kondisi pandemi membuat kita harus sabar untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik.
Dalam fiqih syariat dijelaskan bahwa ibadah puasa merupakan ibadah mahdhah, kewajiban personal yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Terkait dengan masalah ini, pun dihubungkan dengan bencana pandemi corona. Seorang penulis A Man Called Ahok, Rudi Valinka, mengeluarkan pendapat bahwa terkait pandemi covid-19, ia berharap MUI mengeluarkan fatwa untuk meniadakan ibadah puasa dan diganti dengan fidyah.
Opini ini membuat kegaduhan yang luar biasa. Karena pada dasarnya, fidyah puasa mempunyai dasar sayriat sendiri dengan kekhususan fiqih yang tidak ditarik simpul hukum dari sembarang kasus. Maka timbullah kontra-logika dan melahirkan diskursus yang kurang sehat.
Dalam fiqih syariat dijelaskan bahwa fidyah puasa boleh dilakukan oleh seseorang karena adanya uzur. Membayar fidyah puasa Ramadhan harus dalam bentuk makanan pokok, baik mentah ataupun yang sudah dimasak. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184).
Termasuk uzur puasa dan harus membayar fidyah adalah orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya dan orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu melaksanakan ibadah puasa.
Terkait dengan uzur yang mengharuskan fidyah, Direktur Dewan Pakar Studi Alquran, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa yang termasuk seseorang harus membayar fidyah adalah wanita menyusui. Mengutip sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan wanita hamil boleh membayar fidyah. Sebagaimana diriwayatkan oleh pakar hadis Al-Bazzar kaitannya dengan kategori membayar fidyah puasa.
Lebih jauh M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa menurut mazhab Hambali, wanita hamil tidak boleh membayar fidyah tetapi mengganti puasa di lain waktu. Sementara menurut Imam Syafi’i, orang yang menyusui jika hanya khawatir terhadap bayinya, maka ia harus membayar fidyah dan sekaligus mengganti puasa. Sementara jika khawatir terhadap dirinya sendiri, maka ia wajib mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah.
Ulama fiqih berbeda pendapat terkait wanita menyusui membayar fidyah atau mengganti puasa. Tidak terdapat perselisihan ulama, karena tidak ada ulama yang berpendapat bahwa terkait covid–19 umat Islam dilarang berpuasa dan diharuskan membayar fidyah untuk diberikan kepada masyarakat terdampak pandemi corona.
Sedangkan kadar (jumlah) fidyah yang harus dikeluarkan adalah sejumlah hari puasa Ramadhan yang ditinggalkan sebanyak 1 mud (kurang dari 1 kg) menurut syafi’iyah. Sedangkan menurut ulama hambaliyah sebanyak 2 mud. Sebagian pandangan membolehkan jumlah ini diuangkan. Sehingga dapat dikonversikan bahwa setiap harinya orang yang berkewajiban fidyah membayar sebanyak Rp. 25.000 atau Rp. 50.000. Disesuaikan dengan harga bahan pokok di daerah sekitar masing-masing.
Musibah pandemi covid-19 bukan termasuk uzur syar’i untuk tidak puasa dan apalagi hanya diganti dengan fidyah. Bagi orang berharta, membayar fidyah Rp. 25.000 s.d. 50.000 bukan perkara sulit. Dan ini akan menjadi polemik di tengah pandemi. Menjalankan ibadah puasa tidak perlu berjejal dan berkumpul di dalam suatu tempat, akan tetapi dapat dilakukan secara mandiri dari rumah masing-masing.
Maka menjadi kontra-logika ketika ada yang berpendapat bahwa puasa ditiadakan untuk diganti dengan membayar fidyah. Selebihnya pendapat ini hanya akan menimbulkan kegaduhan dan polemik yang semakin rumit di masyarakat.
Pada bulan Ramadhan, saat umat muslim melaksanakan ibadah puasa, pun ada kewajiban membayar zakat fitrah. Tanpa menghilangkan marwah ibadah puasa, kita telah digiring pada dimensi sosial untuk saling berbagi di bulan yang penuh barokah ini. Maka sangat tidak etis dan atau hanya sekadar trik dan intrik untuk menuai kritik, ketika ibadah puasa difatwakan untuk ditiadakan dan diganti dengan membayar fidyah. Tentu kita harus mewas diri terhadap opini-opini yang tidak cerdas dengan asumsi sesat dan menyesatkan.
Covid-19 adalah musibah. Permasalahan kita semua yang harus kita hadapi secara bersama-sama. Tidak etis kalau kita hanya menyalahkan pemerintah atau orang lain terkait pandemi ini. Karena bagaimanapun, bencana yang tidak kasat mata ini akan dapat kita atasi jika terjadi kolaborasi aktif dari semua elemen bangsa.
Sebagai musuh bersama, maka sudah seharusnya kita bekerja sama dan sama-sama bekerja untuk memutus rantai penyebaran virus covid-19. Bagaimana caranya? Di rumah saja, sosial distancing, fisikal distancing, dan bekerja, belajar, silaturrahmi, dari rumah kita masing-masing. Wallahu A’lam!