Tak terasa bulan Ramadhan akan segera berakhir. Bulan yang diyakini oleh umat Muslim sebagai bulan dilipatgandakannya seluruh amal kebaikan dan diampuninya segala dosa. Di bulan ini, umat Muslim berlomba-lomba mencurahkan segala upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Di siang hari mereka berpuasa, menahan lapar dan dahaga. Di malam hari sibuk menundukkan kepala, bersujud dan bersimpuh seraya menengadahkan tangan. Mengakui segala khilaf dan alpa. Semua hal ini dilakukan tak lain sebab petunjuk Allah dan risalah Nabi Muhammad yang tersebar di dalam Al Qur’an dan Al Hadis.
Di antaranya sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim: “Apabila ramadhan tiba, maka pintu-pintu surga terbuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.” Hingga sebuah hadis qudsi yang sangat populer mengatakan bahwa “Puasa di bulan Ramadhan adalah untuk Allah dan Allah sendiri yang akan membalasnya”.
Dari semua dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis mengenai bulan Ramadhan dan puasa beserta segala keutamaannya, mayoritas umat menerjemahkannya dalam bentuk ritual yang fokus mensucikan diri dan mendekatkan sedekat dekatnya kepada Allah SWT. Sedikit sekali di antara ulama dan umat Muslim yang memahami bahwa esensi Ramadhan adalah ladang melatih dan membangkitkan kembali fitrah kemanusiaan kita.
Sebab pada hakikatnya -sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Ashur, seorang ulama besar asal Tunisia dalam magnum opusnya maqashid syariah– bahwa tujuan dari diberlakukannya seluruh norma-norma hukum Islam (syariat) adalah untuk kebaikan umat manusia (limashalih al-‘ibad). Kebaikan untuk individu (shalah al-fard), kebaikan masyarakat/komunitas (shalah al-mujtama’) ataupun kebaikan peradaban (shalah al-‘umran). Sehingga, terciptalah sebuah tatanan kehidupan di dunia yang damai dan tentram.
Belakangan, para ulama, cendekiawan dan pemikir Islam mulai mereinterpretasikan ajaran-ajaran agama yang berparadigma segalanya dikembalikan ke Tuhan dan untuk kebaikan Tuhan (teosentris), menuju paradigma segalanya untuk kemaslahatan manusia (antroposentris). Atau paling tidak, berpandangan bahwa ada dua dimensi yang terikat erat laksana dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dalam setiap tuntunan syariat, yakni dimensi ketuhanan dan kemanusiaan (teoantroposentris).
Keduanya bersatu dalam satu tarikan nafas. Hasan Hanafi misalnya, salah seorang pemikir prolifik asal Mesir dalam karyanya min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah dan Dirasat Islamiyah Mu’ashirah, mencoba untuk menafsirkan ulang teologi Islam agar lebih fungsional. Ia berusaha mentransformasikan konsep teologi tradisional Islam (islamic traditioal theology) menuju konsep teologi yang revolusioner (revolutionary theology).
Di Indonesia sendiri, ada tokoh-tokoh seperti Buya Hamka dengan gagasan tasawuf modern atau tasawuf sosial ala Amin Syakur. Ada Gus Dur dengan pribumisasi Islam, Sahal Mahfudz dengan fikih sosial, Quraish Shihab dengan membumikan al-Quran dan masih banyak lainnya. Intinya, para pemikir dan cendekiawan Islam ini berupaya merumuskan pesan-pesan ketuhanan agar mampu menjawab kebutuhan zaman dan kemanusiaan.
Dalam Ramadhan, selain bertujuan untuk mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, mestinya kita juga mampu merenungi dimensi kemanusiaan di balik beberapa perintah ilahi di dalamnya. Puasa misalnya, tidakkah kita bisa merenungi dan merasakan betapa sulitnya menahan lapar dan dahaga selama beberapa jam saja?
Sementara selama ini kita lupa ada tetangga yang setiap harinya menahan lapar dan dahaga, lalu makan seadanya, sebab kesulitan ekonomi yang dialaminya. Ada saudara kita di sebuah wilayah terpencil di sana yang mengais makanan sisa untuk mencukupi makan keluarganya.
Demikian pula tafsir agama, dalil hadis yang mengatakan bahwa “10 Ramdhan pertama adalah kasih sayang (rahmat), 10 kedua pengampunan (maghfirah) dan 10 ketiga pembebasan dari neraka (‘itq min al-nar)” juga bisa ditafsirkan ulang.
Bahwa yang dimaksud rahmat adalah hendaknya kita mengasihi terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan dan selalu memandang manusia lain dengan penuh cinta. Sedangkan maksud dari pengampunan, tidak hanya ampunan Allah yang diharapkan. Sebagai manusia, semestinya kita bisa saling memaafkan, karena tak ada manusia yang luput dari dosa dan kesalahan.
Yang terakhir, pembebasan dari neraka, bisa dimaknai dengan pengentasan kemiskinan atau permasalahan berat kehidupan. Di mana kemiskinan dan permasalahan yang berat bisa membuat orang frustasi dan benar benar sulit laksana di neraka.
Contoh terakhir adalah i’tikaf. I’tikaf yang selama ini dipahami berdiam diri di masjid dengan banyak berdzikir mengingat Tuhan, bisa dimaknai lebih humanis. Para dokter yang menyepi, memikirkan resep obat untuk pasien atau berkonsentrasi penuh mengoperasi demi keselamatan jiwa manusia juga disebut i’tikaf.
Akademisi yang menyendiri, mengolah data penelitian, membuka ratusan lembar buku referensi, juga disebut i’tikaf. Seorang pengacara yang menyendiri, mempelajari berkas perkara hukum atas ketidakadilan yang dihadapi kliennya, juga disebut i’tikaf dan seterusnya. Sehingga, lailatul qadar tidak hanya akan menghampiri orang-orang yang berdiam diri dengan memutar tasbih di masjid saja, tetapi juga menghampiri mereka yang menyepi dengan ibadah-ibadah social lainnya.
Tradisi seperti meja kasih sayang (maidah al-rahman) di Mesir, meja-meja berbuka (mawaid al-futur) di Tunis atau takjil gratis di Indonesia, serta santunan kepada orang yang tidak mampu dan anak yatim hendaknya menjadi tradisi yang tidak berhenti di bulan Ramadhan saja, melainkan juga di bulan-bulan lainnya. Karena memang demikianlah semestinya agama, dari ketuhanan lalu melahirkan kemanusiaan.
Akhirnya, dengan menghadirkan dimensi kemanusiaan atau berparadigma teoantroposentris dalam setiap tuntunan syariat, diharapkan Islam mampu menjadi solusi kehidupan, bukan sumber permasalahan, apalagi perpecahan. Mencintai manusia berarti mencintai Tuhan.
Dalam istilah Gus Dur, Tuhan tidak perlu dibela, karena Ia sudah maha sempurna. Yang perlu dibela adalah manusianya. Jangan lupa, meski kepala menengadah ke langit, tetapi kaki akan selalu menginjak ke bumi. Semoga Ramadhan kali ini mengantarkan kita menjadi insan yang saleh tidak hanya secara ritual, namun juga saleh secara sosial. (MS)