Jepara telah memiliki figur Kartini sebelum Raden Ageng Kartini itu sendiri. Jauh sebelumnya, seorang perempuan tangguh tinggal dekat salah satu kota pesisir pantai utara Jawa. Beliau merupakan Ratu Kalinyamat, putri kerajaan Demak, pemimpin Jepara yang telah mengenyahkan Portugis dengan sangat berani.
Kebesaran Ratu Kalinyamat pernah dilukiskan oleh penulis Portugis Diego de Couto, sebagai Rainha de Japara, senhora pederosa e rica yang berarti Ratu Jepara, seorang perempuan kaya dan sangat berkuasa. Selain itu, selama 30 tahun kekuasaannya telah berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaan.
M.C. Ricklefs menuliskan dalam Sejarah Indonesia Modern, Ratu Kalinyamat merupakan anak perempuan Sultan Trenggono. Putra Raden Patah ini adalah penguasa Kesultanan Demak ketiga menduduki tahta kerajaan Islam pertama di tanah Jawa dalam dua masa periode pemerintahan yang berbeda. Yaitu pada 1505 hingga 1518 dan 1521 hingga 1546.
Ratu Kalinyamat, tokoh perempuan Indonesia penting di abad 16. Peranannya mulai terlihat saat terjadi perebutan tahta dalam keluarga kesultanan. Beliau menjadi tokoh sentral yang berperan dalam mengambil keputusan. Selain memiliki karakter yang kuat untuk memegang kepemimpinan, beliau telah menduduki posisi strategis selaku putri Sultan Trenggono.
Seperti dijelaskan di atas, selama 30 tahun kekuasaannya beliau telah berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaannya. Dengan armada lautnya yang sangat tangguh, Ratu Kalinyamat pernah tiga kali menyerang Portugis di Malaka. Selain itu, Ratu Kalinyamat juga pernah melakukan hal yang sama bagi Maluku. Yakni mengirimkan pasukan perang untuk membantu Kerajaan Tanah Hitu, salah satu kerajaan Islam di Ambon yang sedang terancam oleh imperialisme Portugis.
Perempuan dengan nama asli Retna Kencana ini dinobatkan sebagai penguasa Jepara setelah kematian Arya Panangsang. Retna Kencana dilantik menjadi penguasa Jepara gelar Ratu Kalinyamat. Penobatan tersebut ditandai dengan sengkalan tahun candra sengkada Trus Karya Tataning Bumi yang diperhitungkan sama dengan 10 April 1549.
Selama masa kekuasaan Ratu Kalinyamat, Jepara semakin pesat perkembangannya. Dalam sumber Portugis yang dituliskan oleh Meilink Roelofs6z menyebutkan Jepara menjadi kota pelabuhan kota terbesar di pantai utara Jawa dengan armada laut yang kuat dan besar.
Dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa, disebutkan bahwa Ratu Kalinyamat (Retna Kencana) menikah dengan Kiyai Wintang atau Pangeran Hadiri. Kehidupan mereka tidak dikarunia seorang anak, namun mereka dipercaya oleh saudara-saudaranya untuk mengasuh keponakannya. Menurut sumber-sumber sejarah tradisional dan cerita-cerita di Jawa, ternyata ia menjadi pusat kerajaan Demak yang telah bercerai berai setelah meninggalnya Sultan Trenggana dan Sultan Prawata.
Kiprah politik yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat berawal saat terjadi kemelut di Istana Demak kala pertengahan abad ke-16 yang disebabkan oleh perebutan tahta kekuasaan telah wafatnya Sultan Trenggana. Perebutan tahta ini memicu peperangan yang berkepanjangan yang berakhir dengan kehancuran kerajaan.
Perebutan kekuasaan ini terjadi antara keturunan Pangeran Sekar dengan Pangeran Trenggana. Mereka berdua memang berhak menduduki tahta Kasultanan Demak. Dari perbandingan usia, Pangeran Sekar lebih tua, sehingga ia berhak atas tahta Kasultanan Demak daripada Pangeran Trenggana.
Sangat disayangkan, ia dilahirkan dari istri ketiga Raden Patah yakni Putri Adipati Jipang, sedangkan Pangeran Trenggana lahir dari istri pertama, putri Sunan Ampel. Oleh karena itu Pangeran Trenggana merasa lebih berhak menduduki tahta Kasultanan Demak.
Karyana Sindunegara dalam karyanya Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara abad XVI dijelaskan bahwa pangeran Prawata yang merupakan putra Pangeran Trenggana membunuh Pangeran Sekar yang dianggap penghalang bagi Pangeran Trenggana sebagai pewaris tahta Kasultanan Demak. Pembunuhan terjadi di sebuah jembatan sungai saat Pangeran Sekar dalam perjalanan pulang sholat Jumat.
Oleh sebab itu, ia dikenal dengan nama Pangeran Sekar Seda Lepen. Menurut tradisi lisan di daerah Demak, pembunuhan ini terjadi di tepi ssugai Tuntang, ssedangkan menurut tradisi Blora Pangeran Sekar dibunuh di dekat Sungai Gelis. Pembunuhan ini menjadi awal persengketaan di Kerajaan Demak.
Raden Arya Panangsang, putra Pangeran Sekar berusaha balas dendam atas kematian ayahnya. Ia berusaha untuk membunuh keturunan Sultan Trenggana dengan dukungan penuh dari Sunan Kudus. Raden Arya Panangsang akhirnya naik tahta kekuassaan.
Pembunuhan terhadap keturunan Sultan Trenggana banyak dilakukan dilakukan. Raden Arya Panangsang menyuruh Rangkat dan Gopta untuk membunuh Sultan Prawata. Ia telah menyuruh Rangkut dan Gopta untuk membunuh Sultan Prawata. Sultan Prawata dan permaisuri terbunuh pada tahun 1549.
Dalam Babad Demak II:28 disebutkan bahwa Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat juga dibunuh oleh Arya Panangsang dalam perjalanan pulang dari Kudus, mengantarkan isstrinya meminta keadilan dari Sunan Kudus atas kematian Sultan Prawata. Namun Sunan Kudus tidak dapat menerima tuntutan Ratu Kalinyamat karena ia memihak Arya Panangsang.
Dalam Babad Tanah Jawi dijelaskan bahwa kematian Sultan Prawalata dan Pangeran Hadiri membuat langkah Arya Panangsang semakin dekat dengan tahta kekuasaan. Untuk menghalangi itu Ratu Kalinyamat memainkan peran penting dalam menghadapi Arya Panangsang. Ratu Kalinyamat meminta Hadiwijaya untuk membunuh Arya Panangsang.
Didorong oleh naluri keperempuanannya yang sakit hati karena kematian suami dan saudaranya, beliau menggunakan wewenang politiknya selaku pewaris dari Kalinyamat dan penerus keturunan Sultan Trenggana. Ratu Kalinyamat memiliki sifat yang keras hati dan tidak mudah menyerah pada nasib.
Akhirnya Ratu Kalinyamat bertapa di gunung Danaraja untuk memohon kepada Tuhan minta keadilan dengan cara menyepi. Beliau memiliki sesanti baru akan mengakhiri pertapaannya apabila Arya Panangsang telah terbunuh. Akhirnya pada tahun 1554 Arya Panangsang terbunuh dalam peperangan Pajang dan Jipang. Setelah kematian tersebut, Ratu Kalinyamat dilantik menjadi penguasa Jepara.
Di bawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat, Jepara mengalami perkembangan tersendiri. Kekalahan dalam perang di laut melawan Malaka pada tahun 1512-1513 ketika pemerintahan Pati Unus, menyebabkan Jepara nyaris hancur.
H.J de Graaf dalam buku Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, perdagangan laut kala itu tidak musnah sama sekali. Kegiatan ekonomi semakin terbengkalai pada saat wilayah Kesultanan Demak menjadi ajang pertempuran antara Arya Panangsang dan keturunan Sultan Trenggana.
Setelah berakhirnya peperangan melawan Arya Panangsang, Jepara mengalami perkembangan tersendiri. Setelah beberapa tahun berkuasa Ratu Kalinyamat berhasil memulihkan kembali perdagangan Jepara. Konsolidasi ekonomi menjadi prioritasnya.
Di bawah kepemimpinannya, pada pertengahan abad 16 perdagangan Jepara dengan daerah seberang semakin ramai. Menurut berita Portugis, Ratu Jepara itu merupakan tokoh penting dalam perdagangan. Beliau terlihat mengarahkan penguatan sektor perdagangan dan angkatan laut.
Mengarahkan penguatan sektor perdagangan dan angkatan laut merupakan stratategi untuk menuju relasi yang lebih luas. Kedua hal berkembang baik dengan dilaksanakannya hubungan baik yang dijalin oleh Ratu Kalinyamat dengan beberapa kerajaan maritim seperti Johor, Aceh, Maluku, Banten dan Cirebon.
Kelanjutannya adalah Ratu Kalinyamat menjalin hubungan diplomatik dan kerja sama dengan mancanegara agar kedudukan Jepara sebagai pusat kekuasaan politik dan pusat perdagangan bisa tetap kokoh.