Refleksi Politik Hari Perempuan Sedunia
Perempuan dari seluruh penjuru memperingati Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day (IWD) ke-46 pada 8 Maret 2021. Tema yang diangkat adalah “ChooseToChallenge”. Tema ini dipilih dengan alasan bahwa perempuan dapat memilih untuk melakukan penentangan dan menyuarakan bias dan ketidaksetaraan gender.
IWD ini berawal dari tahun 1900-an ketika masa ekspansi besar-besaran dalam dunia industri, terjadi kerusuhan dan perdebatan yang terjadi di antara wanita. Perjalanan panjang IWD membuahkan hasil, hingga pada 1975, untuk pertama kalinya IWD dirayakan oleh PBB.
Perempuan memiliki eksistensi dan nilai strategis dalam kehidupan. Agama memberikan keistimewaan kepadanya untuk dihargai. Negara juga menyandarkan tiangnya kepada perempuan. Perjuangan terhadap perempuan khususnya di Indonesia tergantung pada kebijakan. Kuncinya dengan demikian adalah implementasi politik afirmasi.
Kaum perempuan merupakan jumlah yang terbesar dalam proses produksi. Perempuan perdesaan mayoritas bekerja sebagai buruh tani dan buruh kebun (69,32%). Mayoritas buruh pada industri perkotaan juga kaum perempuan. Ironisnya, laki-laki memperoleh upah sekitar 40% lebih tinggi dibanding perempuan.
Potret buram memang masih menghantui kehidupan perempuan di negeri ini. Perempuan menjadi kelompok rentan terhadap kekerasan. Setiap tahun kecenderungan kekerasan terhadap perempuan terus konsisten meningkat. Hal tersebut menunjukkan tak adanya perlindungan terhadap perempuan.
Data Komnas Perempuan mencatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019. Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus. Dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen atau hampir 8 kali lipat.
Ironisnya, hukum kerap tidak berpihak kepada korban, dimana korban justru semakin termarjinalkan. Kondisi ini menunjukkan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi fenomena gunung es.
Komnas Perempuan juga mencatat tiga hal yang kerap menjadi ranah kekerasan terhadap perempuan. Ketiga ranah itu adalah ranah personal, publik, dan negara.
Ranah personal, artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, maupun relasi intim dengan korban. Ranah publik, pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah, atau perkawinan. Pelakunya bisa majikan, tetangga, guru, teman sepekerjaan, tokoh masyarakat, atau orang yang tak dikenal.
Adapun ranah negara, pelaku kekerasan merupakan aparatur negara, termasuk akibat aparat membiarkan tindak kekerasan tersebut.
Potret di atas menuntut kebijakan politik yang pro-perempuan dalam semua sektor. Afirmasi politik perempuan menjadi keniscayaan. Pitkin (1967) menegaskan bahwa perempuan memiliki posisi strategis sehingga penting dilakukan tindakan afirmatif. Perempuan mewakili setengah dari populasi dan punya hak untuk setengah dari kursi (justice argument).
Perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dari laki-laki (biologis maupun sosial) yang diwakili (experience argument). Perempuan dan laki-laki mempunyai pertentangan kepentingan sehingga laki-laki tidak dapat mewakili perempuan (interest group argument).
Kepemimpinan perempuan mewakili model peran penting mendorong perempuan lain untuk mengikuti. Inti ide di belakang kuota gender pemilihan adalah merekrut perempuan ke dalam institusi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik.
Politik afirmasi telah dianut melalui syarat 30 persen kepengurusan partai politik dan calon legislatif. Hanya pelaksanaannya masih setengah hati dan formalitas belaka. Strategi keseriusan mendorong perempuan tampil di depan masih minim.
Di bidang ekonomi, perempuan juga layak menempati pos-pos pucuk manajerial. Contohnya manajemen Air Asia yang pernah berani mengangkat aktris Raline Shah sebagai komisaris independen. Raline dianggap sebagai figur tepat dan mewakili perempuan milenial.
Pendidikan perempuan penting menjadi prioritas perhatian. Perempuan memiliki hak berpendidikan setara laki-laki. Sekolah khusus perempuan bahkan diperlukan karena kekhasan kondisi dan peran tuntutan perempuan.
Stakeholders pendidikan di Indonesia penting mengoptimalkan perannya mewujudkan kondisi nirkekerasan. Furlong (dalam Baedowi, 2013) memaparkan setidaknya empat program yang dapat dikembangkan.
Pertama, membuat serial pelatihan tentang bagaimana cara mengelola rasa marah ke dalam bentuk yang lebih positif. Kedua, memasukkan pengertian dan pengetahuan tentang jenis-jenis kekerasan ke dalam desain ajar yang relevan dengan situasi psikologis siswa, terutama untuk dan dalam rangka memperkenalkan makna empati, problem solving dan mengelola amarah.
Ketiga, berani mengambil keputusan untuk membuat pelatihan tentang pengelolaan rasa marah dengan menggunakan teknik role playing, modelling dan rewards terhadap anak, orang tua, dan bahkan guru secara berkala, minimal dua kali dalam setahun. Keempat, sekolah memiliki dokumen tertulis semacam statuta sekolah.
Pemerintah penting meletakkan program pendidikan anak dan perempuan dalam skala prioritas. Pendidikan yang optimal dan terjangkau menjadi solusi menekan angka tersebut. Kondisi ini menuntut konsekuensi terhadap dukungan politik penganggaran dan regulasi yang memadai.
Misi ini mesti berkolaborasi mendapatkan dukungan legislatif dan dunia swasta. Keberhasilan capaian pendidikan menjadi kunci penting meneguhkan praktik nirkekerasan.
Faktor internal perempuan juga mesti dibangkitkan motivasinya untuk maju berkarya dan berkontribusi. Panggung telah dibuka dan saatnya perempuan berani tampil dan berekspresi. Even-even positif penting diperbanyak guna memberi banyak ruang bagi perempuan bersosialisasi dan berdinamisasi.
Peran perempuan mesti berada pada jalur proporsional dan profesional. Keseimbangan peran penting dilakukan dengan kemampuan manajerial yang andal. Arus globalisasi menuntut perempuan tidak ketinggalan perkembangan dan ikut menyongsong kemajuan.
Di sisi lain, tuntunan budaya dan agama terkait fungsi kodrati perempuan yang suci mesti tetap dijaga. Perempuan merupakan ibu dan manajer rumah tangga. Tidak berlebihan jika ia menjadi tiang utama penopang eksistensi negara. Bangsa ini menaruh asa besar bagi perempuan Indonesia untuk maju dan berkontribusi bagi pembangunan bangsa.