Rekonseptualisasi Zakat, Infak, dan Shadaqah (ZIS)
Menghadapi pandemi Covid-19 di tanah air, Menteri Agama mengeluarkan Surat Edaran (SE) No.6 Tahun 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1441 H di tengah Pandemi Wabah Covid-19. SE itu berisi antara lain: pelaksanaan tarawih agar dilakukan di rumah dan tidak menyelenggarakan shalat Idul Fitri. Sebelumnya, MUI juga mengeluarkan Fatwa No. 14 Tahun 2020.
Fatwa itu cukup progresif, antara lain memuat seruan untuk tidak wajib shalat Jumat bagi daerah zona merah, tidak menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak seperti shalat rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya. Fatwa juga dikeluarkan oleh ormas keagamaan lain seperti NU dan Muhammadiyah.
Fatwa-fatwa keagamaan tersebut, sangat relevan dalam konteks pencegahan penyebaran virus Covid-19, dan paralel dengan kebijakan pemerintah, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Fatwa-fatwa tersebut, secara substansi mengandung paradigma, bahwa ketuhanan dan kemaslahatan manusia tidak terpisahkan.
Sejak lama para sarjana Islam memandang ibadah harus paralel dengan kemaslahatan (keselamatan dan kesejahteraan) manusia. As-Syatibi memiliki teori Maqasidhus Syariah (tujuan-tujuan syariat), dimana salah satunya adalah menjaga jiwa (khifzhu an-nafs), artinya keselamatan jiwa menjadi prioritas pertimbangan penetapan suatu hukum. Sementara Izzuddin bin Abdissalam dikenal dengan pernyataannya, bahwa semua aturan dan perintah Allah, acuannya adalah kemaslahatan umat manusia. Ibnu Hajar al-Asqalani, memiliki tulisan khusus membahas tentang pandemi Tho’un, pandangannya sangat kontekstual dan sejalan dengan ahli kesehatan dalam menghadapi wabah.
Dalam tradisi Islam, upaya membantu kelompok kurang mampu, dikenal dengan istilah zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS). Para ulama Islam umumnya membedakan zakat, infaq, dan shadaqah, hanya dari sisi bobot perintahnya. Zakat sebagai hal yang diwajibkan, sementara infaq dan shadaqah sebagai hal yang disunnahkan. Potensi ZIS umat Islam sangat besar, sehingga perlu dipikirkan, bagaimana ZIS kontributif bagi penanganan dampak Covid-19, utamanya dalam pemenuhan ekonomi masyarakat kecil sebagai dampak kebijakan PSBB. Hal ini penting, karena juga menyangkut kemaslahatan.
Ajaran Islam memiliki mekanisme support sosial untuk mengatasi kemiskinan, yakni dengan mendorong setiap muslim agar menolong sesamanya yang membutuhkan bantuan dan menghapus kesenjangan sosial melalui zakat. Untuk itu, zakat tidak boleh dipahami sebagai ritual saja, tapi harus dimaknai sebagai redistribusi kekayaan dan pendapatan untuk keadilan sosial. Dalam definisi lain, zakat merupakan tindakan pemindahan sebagian kekayaan dari golongan kaya kepada golongan miskin demi terwujudnya keadilan sosial.
Masdar F. Masudi (1993) telah lama mengkritisi zakat secara substansial-universal. Baginya, konsep zakat yang saat berkembang di masyarakat saat ini, tidak bisa banyak diharapkan. Konteks kehidupan perekonomian saat ini sudah sangat jauh berubah, karena lebih banyak bertumpu pada sektor industri dan jasa. Berbeda dengan di jaman Nabi Muhammad yang masih dikategorikan dalam pola kehidupan tradisional (pertanian dan peternakan). Apa solusinya?
Masdar menawarkan beberapa gagasan pembaharuan pemikiran tentang zakat yaitu, pertama, fungsi zakat sebagai sarana vital bagi terciptanya keadilan sosial. Kedua, objek yang dikenakan pajak. Ketiga, besar kecilnya kadar zakat. Keempat, kadar relatif dari tarif zakat. Kelima, waktu pembayaran zakat. Keenam, lembaga pemungut zakat. Bagi Masdar, kesemauanya perlu kontektualisasi dengan dasar keadilan sosial.
Dalam kaitan dengan penanggulangan wabah Corona saat ini, dibutuhkan konsep zakat yang progresif dan kontekstual. Menteri Agama memang telah mengeluarkan SE yang di dalamnya juga berisi panduan soal pengumpulan zakat fitrah dan/atau ZIS, namun itu masih sebatas panduan bagaimana menunaikan zakat dengan menerapkan physical distancing dan PSBB, bahkan SE itupun belum menyentuh anjuran pembayaran melalui sistem online.
Dengan paradigma ortodoksi tentang konsep zakat selama ini, kita tidak banyak berharap bahwa zakat kontributif bagi penanggulangan Covid-19. Item-item yang diwajibkan untuk zakat selama ini pun sangat terbatas, yaitu sektor pertanian, peternakan, perdagangan, dan kepemilikan emas/perak. Kadar tarif zakat juga relatif kecil, antara 2.5% untuk niaga dan emas, serta 5%-10% untuk pertanian. Konsep zakat tersebut, mengacu pada masyarakat masa Nabi Muhammad di Makkah-Madinah sehingga masih dalam batas-batas yang demikian konservatif.
Saat ini, masyarakat hidup di era industri dan jasa yang sudah jauh berubah, untuk itu hukum zakat mesti dinamis dan kontekstual, sehingga rekonseptualisasi zakat menjadi mendesak untuk dilakukan, misalnya dengan memperluas ketentuan objek zakat sesuai konteks kekinian dan menambah kadar tarif zakat sesuai kebutuhan pembangunan masyarakat saat ini, atau memasukkan program penanggulangan Covid-19 sebagai bagian dari ashnaf (penerima zakat).
Pendekatan yang ditawarkan bukan untuk mengingkari segi formalitas hukum syariah. Ketentuan legal dan formal harus menjadi acuan, namun pada saat yang sama patokan formal/legal itu harus tunduk pada cita kemaslahatan (keselamatan dan kesejahteraan) masyarakat. Kita berharap zakat atau ZIS secara umum, dapat kontributif dalam menanggulangi wabah Covid-19, mengatasi kemiskinan, menghapus kesenjangan social, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu, sebagaimana adanya fatwa tentang pencegahan mengenai larangan shalat Jumat, Tarawih berjamah, dan shalat Idul Fitri, kini kita menunggu fatwa-fatwa dan regulasi baru tentang zakat yang progresif dari ulama maupun lembaga yang otoritatif dan kredibel. Mari kita tunggu.