Suatu hari nanti aku akan menulis kepadamu
aku akan kembali kepadamu.
Kini, aku persembahkan keheningan ini
Keheningan yang telah engkau berikan kepadaku
dengan riuhnya dulu.
Tapi aku tak akan menyanyikan lagu untukmu
Aku tak bisa. Aku tak sanggup.
Malah, biar pohon-pohon berpadu, berbisik kepadamu
Tentang Auschwitz dalam bisikan hening…
(Stanislaw Wygodzki, dalam The Auschwitz Poems An Anthology 2011)
Menjelang senja 29 Mei 2019, berpulanglah seorang istimewa. Kita semua senantiasa terlarat-larat ditinggal pergi olehnya, seorang yang apa daya tak mampu kita untuk tak meneteskan air mata saat namanya naik ke langit bersama udara yang meruak bagai puak-puak. Allahu yarham Kiai Tholhah Hasan.
Gelembung Doa dan Kerja Sang Kiai
Muhammad Tholhah Hasan, seorang tokoh kharismatik yang memiliki dominasi kiprah dalam bidang tarbiyah wa siyasah. Ketokohannya, tak lepas dari dunia pendidikan, pesantren maupun Nahdlatul Ulama semasa hidupnya. Mungkin ini juga bagian dari jawaban beliau kepada KH. Mahrus Ali (Lirboyo). Menurut cerita saat Kiai Tholhah menikah Kiai Mahrus mendoakan pernikahan beliau, membaca doa panjang sekali dan lamanya minta ampun.
Setelah menyelesiaikan doa Kia Mahrus bilang kepada Kiai Tholhah, “Kamu sudah saya doakan panjang begini, nanti kamu harus berkhidmat di NU, kalau sampai tidak maka doa yang baru saja saya bacakan akan saya tarik ulang”. Kelakar Kiai Mahrus saat itu. Kelakar tapi sepertinya serius. Dan benar kita tahu sendiri bahwa Kiai Tholhah Hasan menjadi seorang yang memberikan hidupnya untuk NU dan umat. Mungkin beliau adalah salah satu dari sedikit nahdliyin yang mampu melaksanakan peran dan fungsi Nahdlatul Ulama secara ‘lengkap’ di masyarakat. Nahdlatul Ulama tak bisa lepas dari peran sosial kemasyarakatan; agama, pendidikan, politik, budaya. Begitu pula Kiai Tholhah, bergerak di wilayah yang sebegitu luasnya pula.
Dalam bidang pendidikan kita semua mengetahui bahwa Kiai Tholhah sangat lekat dengan pengembangan lembaga ma’arif dan lingkup pendidikan ke NU an lainnya. Beliau mengelola Yayasan Al-Ma’arif sejak 1959. Mempelopori pendirian Madrasah Tsanawiyah. Kemudian pada 1960 mendirikan Sekolah Pendidikan Guru Agama Lengkap NU (PGAL NU). Pada 1967 kemudian mendirikan Madrasah Aliyah, pada 1972 juga telah didirikan SD Islam, dan pada 1975 beliau beserta kawan-kawannya membuka Fakultas Tarbiyah Watta’lim (FTT) cabang dari Universitas Sunan Giri Jawa Timur di Singosari Malang.
Kiai Tholhah sekaligus merupakan pejabat Dekannya. Lalu pada 1980 bersama kawan-kawan, alumnus Pesantren Tebuireng Jombang ini mendikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Setahun berikutnya, (1981) didirikan pula Sekolah Menengah Pertama (SMP) Al-Ma’arif. Pada 1987, beliau dan kawan-kawan juga mendirikan Taman Kanak Al-Ma’arif Singosari.
Hingga sekarang, sekolah-sekolah yang telah didirikan di lingkungan Yayasan Al-Ma’arif Singosari meliputi TK, SDI, MTs, MA, SMP dan SMA. Sedangkan Fakultas Tarbiyah Watta’lim Unsuri telah digabung dengan fakultas-fakultas baru di bawah naungan Universitas Islam Malang (UNISMA). Sedangkan PGAL-NU telah dihapuskan oleh peraturan pemerintah, namun Kiai Tholhah pada awal tahun 2000-an juga telah mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Singosari. Kiai Tholhah sampai sekarang berperan sebagai panutan, konsultan sekaligus sebagai sumber acuan dalam pengambilan keputusan dan pengembangan sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Al-Ma’arif Singosari Malang.
Peran dan kiprah Kiai Tholhah semakin memuncak ketika para tokoh masyarakat, ulama dan cendekiawan NU di Malang menunjuknya sebagai Ketua Panitia 9 untuk mendirikan Universitas Islam Malang (UNISMA). Para tokoh berjumlah 27 orang yang berkumpul pada 27 Maret 1981 tersebut menunjuk panitia 9 yang diberi kepercayaan dan tanggung jawab merumuskan secara detail dan konkrit persiapan-persiapan teknis pendirian UNISMA. KH. M. Tholhah Hasan bersama Panitia 9, yakni H. Fathullah (Sekretaris), M. Wiyono, H. Abd Ghofir, HM. Syahroel, H. Hasan Bisri, dan H. Jihaduddin, H. Abdul Mudjib, dan KH. Maksum Umar. Panitia 9 ini didampingi oleh KH. Oesman Mansoer sebagai penasehat.
Pendirian Unisma Mula-mula dirintis dari Fakultas Tarbiyah Watta’lim dan Fakultas Pertanian Universitas Sunan Giri (Unsuri) Malang. Kedua fakultas ini merupakan embrio dari UNISMA. Waktu itu, Kiai Tholhah telah menjabat sebagai kuasa Dekan Fakultas Tarbiyah Watta’lim Unsuri di Singosari Malang, yang ikut disatukan di UNISMA. Setelah UNISMA berdiri, Kiai Tholhah ditunjuk sebagai Pembantu Rektor I UNISMA. Sedangkan Al-Maghfurlah KH. Oesman Mansoer didaulat panitia 9 sebagai rektor.
Dalam waktu relatif cepat, UNISMA menambah beberapa Fakultas, meliputi Tarbiyah, Pertanian, Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Ekonomi, Peternakan, Teknik, Ilmu Administrasi, serta Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Sepeninggal Kiai Oesman, Kiai Tholhah menggantikannya sebagai Pejabat Sementara Rektor. Kemudian pada 11 September 1989, beliau diangkat sebagai Rektor oleh Senat Universitas dan Yayasan UNISMA. Pada 11 Desember 1993 beliau terpilih kembali sebagai Rektor UNISMA pada periode 1994-1998 oleh Senat Universitas dan dikukuhkan oleh Yayasan UNISMA. Selepas beliau menjabat seba Rektor, beliau diangkat menjadi Ketua Umum Yayasan UNISMA.
Perjalanan dan pengalaman Kiai Tholhah dalam mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan mungkin sulit disaingi oleh tokoh NU lainnya, atau mungkin bisa dihitung jari saja tokoh yang sekaliber beliau. Karena kalaupun ada tokoh NU yang terjun dalam dunia pendidikan, biasanya hanya mendalami urusan-urusan agama, namun Kiai Tholhah berbeda dengan tokoh NU yang lain, bahkan semenjak mahasiwa.
Saat muda beliau tidak kuliah di kampus yang notabene berlabel agama, malahan beliau kuliah di universitas yang tidak berlatar belakang keagamaan, terlebih NU. Dengan menempuh kuliah di universitas umum (Universitas Merdeka dan Universitas Brawijaya) menjadikan beliau memiliki wawasan ilmu lain yang memang tidak didapatkan di kampus yang berlabel keagamaan pada waktu itu. Mungkin jalan akademik yang beliau tempuh memang diperjalankan oleh Allah untuk melengkapi dan menabalkan peran dan fungsi seorang santri yang meniti dunia akademik untuk pengembangan dunia pendidikan Islam di kemudian hari.
Sebagai pendidik dan seorang intelektual Kiai Tholhah menulis beberapa buku tebal, di antaranya: Ahlussunnah wal Jamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU (2003), Dinamika Kehidupan Religius (2004), Diskursus Islam Kontemporer (2004), Agama Moderat, Pesantren dan Terorisme (2004), Apabila Iman Tetap Bertahan (2004), Pendidikan Islam Sebagai Upaya Sadar Penyelamatan dan Pengembangan Fitrah Manusia (2005), Islam Perspektif Sosio Kultural (2005), Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman (2005), Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (2005), Wawasan Umum Ahlussunnah wal Jamaah (2006), Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (2006), Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga (2009), Kado untuk Tamu-Tamu Allah (2015).
Dari sekian buku yang sudah ditulis oleh Kiai Tholhah, yang paling populer adalah buku berjudul “Ahlussunnah wal Jamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU”. Dalam buku setebal 407 (xxi + 386) halaman tersebut Kiai Tholhah mencoba mengurai dan memberi pemahaman tentang Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Mengulik dari aspek teologi (akidah) sampai masalah tradisi (budaya). Buku ini sangat penting dalam isu-isu keislaman saat istilah Aswaja menjadi rebutan, karena terminologi Aswaja sudah dipakai sedemikian rupa oleh kelompok yang juga mengaku bagian dari Aswaja, istilah Aswaja kemudian menjadi sangat bias dan liar tak karuan. Tidak jarang istilah Aswaja kemudian menjadi kendaraan terselubung dalam politik identitas.
Klaim-klaim yang dibawa oleh kelompok-kelompok yang juga mengaku Aswaja menimbulkan gesekan-gesekan yang lahir dan dikelola oleh pihak tertentu. Mungkin benar bahwa kehidupan dan denyut sosial adalah bagian dari peristiwa-peristiwa bahasa, dan dari bahasa juga luapannya sering memunculkan peristiwa yang menganak ranjau sehingga masalah selalu berkembang dan tak berujung pangkal. Seperti kredo terkenal dari Gadamer “Being that can be understood is language” _ ” ‘Sang Ada’ yang dapat dipahami adalah bahasa”.
Namun perebutan makna dan kefahaman dari antar pihak yang saling mengaku Aswaja tak terelakkan. Syukurlah Kiai Tholhah turut andil dalam mengawal Aswaja dalam bentuk karya yang abadi. Kini semenjak NU mengusung idiom Islam Nusantara pada Muktamar 33 di Jombang tahun 2015, perebutan makna dan peristiwa bahasa bergeser, dari istilah Aswaja ke Islam Nusantara atau Nusantara (saja). Bunyi-bunyian polemik dan perebutan Aswaja sudah tak terdengar nyaring lagi, alih-alih saling mengaku Aswaja hari ini kelompok yang tidak sepakat dengan Islam Nusantara juga memakai Islam Nusantara atau Nusantara (saja) dalam gerak gempurnya.
Bahkan dengan resistensi yang sangat halus dan laten. Mereka sekarang bergerak dalam wilayah visual art. Dan hari ini apa jawaban kita atas peristiwa tersebut. Jika Kiai Tholhah menjawab dengan buku, maka apa jawaban kita? Mari kita pikirkan bersama.
Nihayatus Siyasah
Dalam dunia politik dan pemerintahan Kiai Tholhah tercatat sempat menjadi pejabat daerah Malang, yakni sebagai Badan Pemerintah Harian (BPH) Kabupaten Malang (1967-1973). Juga pernah ditunjuk sebagai Menteri Agama Republik Indonesia (1999-2001). Sebagai Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) dua kali masa jabatan (2007-2010 dan 2011-2014). Jabatan-jabatan yang diembannya bukanlah sebuah upaya oyog-oyog an yang hari ini lumrah terjadi di panggung politik. Kiai Tholhah tak pernah mengejar jabatan dan berupaya merengkuhnya dengan usaha-usaha kotor. Kiai Tholhah memiliki sikap politik yang berbeda dari tokoh-tokoh lain.
Di kalangan masyarakat masih banyak orang yang sering mengatakan: “NU ki politiiiik thooook ae….“. Malahan menurut saya, orang yang bilang begitu sebaiknya ditanya balik apakah Anda tidak memiliki sikap politik? Adalah penting bahwa setiap orang harus menyadari kondisi diri sendiri dan kondisi masyarakat sekitarnya, dan kondisi tersebut sangat erat kaitannya dengan sikap politik yang dipilih. Atau mungkin orang masih belum bisa membedakan antara mana berpolitik dan mana berpartai, karena bagi saya setiap orang harus memiliki ‘sikap politik’, namun tak harus berpartai.
Kiai Tholhah menurut saya memainkan peran politik yang sangat bagus, bukan berpolitik seperti politisi-politisi yang menyebalkan itu. Kiai Tholhah memiliki prinsip, menjalankan peran dan fungsi-fungsi politik di jalan yang memang menjadi wasilah untuk pembelaan masyarakat dan memajukan umat. Selama mengabdi dan melayani umat, bangsa, dan negara beliau dikenal sebagai seorang ulama yang mampu meredam konflik (conflict solution maker).
Begitulah seharusnya seorang santri jika memang berada di jalur politik praktis haruslah memiliki himmah seperti Kiai Tholhah yang memang layak untuk dijadikan uswah. Saya agak yakin bahwa prinsip pembelaan Kiai Tholhah kepada masyarakat adalah termasuk percikan semangat dari salah satu fragmen kehidupan kesantrian beliau di Tebuireng, yang menurut penuturan beliau sendiri bahwa beliau pernah menjadi tukang cuci dan tukang masak di pondok dan memiliki ‘komunitas kaum sengsara’ bersama beberapa teman-teman beliau lainnya yang beliau namai “al-dhuafa’ al-khams” (lima orang yang sengsara). Beliau berangkat dari pesantren, berilmu dari pesantren, dan mengamalkan ilmu-ilmu pesantren untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Sanggurdi dari beku endapan hujan
Kuda-kuda liar berwarna pualam
Melesat lewat cahaya yang kuyup
Angin mengaum lewat celah gaharu
Mengabarkan kekekalan
Kabar dari puak yang bersembunyi
di mikropon mimbar kampanye
Keberpihakan adalah gemertak es di udara
Puisi adalah enigma yang berkumpul dalam ruang suaka
Roda kuda, tak terlihat. Namun terus bekerja.
(fhp, 2019)
Sikap-sikap yang selalu diambil dan dijalankan oleh Kiai Tholhah adalah sebuah pergulatan dengan penuh rambahan dan pertimbangan yang berujung pada sebuah teladan yang umat bisa mengambilnya sebagai sebuah jalan hidup atau laku kesalehan sosial. Karya-karyanya intens menggali kemurnian agama dan pesan-pesan keliahian, seakan-akan ada lambaian tangan Sang Nabi yang turut serta memanggil para pembaca untuk menyelami karya-karyanya. Ceramah-ceramahnya luluh dalam suasana impresif, sehingga selalu tersedia sebuah ruang di mana pendengar bisa termenung dan segera cancut tali wondo untuk melaksanakan pesan-pesan kebaikan dan perjuangan keumatan.
Ada sebuah adagium, “Pahamilah zamanmu, maka niscaya engkau akan mampu mengubah zaman”. Dan begitulah, Kiai Tholhah telah menjadi anak dari sebuah zaman, beliau membawa Zeitgeist (semangat zaman) sehingga namanya abadi dan sekelilingnya terberkahi.