Geliat dakwah artis hijrah nyatanya cukup berhasil menggaet banyak audience, khususnya dari golongan anak muda. Umumnya, kalangan pemuda tersebut merupakan golongan yang belum/tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Mereka biasanya tak terlalu suka dengan model pengajian menggunakan kitab kuning yang ditulis oleh ulama klasik. Mereka lebih suka menyimak materi pengajian seperti yang disuguhkan para artis hijrah. Bila diperhatikan, materi dakwah artis hijrah ini biasanya tentang prosesi hijrah yang mereka lalui.
Tak hanya itu, persoalan hukum Islam dalam kehidupan juga kerap mereka ulas, di mana mereka mengaku merujuk langsung dari Al-Qur’an dan Hadis. Ini merupakan salah satu ciri khas dari mazhab pemahaman tekstualis.
Kekhasan lain yang melekat pada artis hijrah adalah perubahan penampilan―terutama laki-laki. Busana yang sering mereka gunakan adalah gamis dan peci bundar.
Tak hanya itu, mereka juga mengubah penampilan dalam segi fisik. Hal ini bisa dilihat dari upaya mereka menumbuhkan jenggot. Nampaknya mereka mencoba untuk meniru Nabi Muhammad Saw. semaksimal mungkin.
Praktik keberagamaan ini jelas sangat berbeda dengan wajah praktik keberagamaan yang telah ada―mungkin bisa dibilang sudah menjadi ciri khas praktik keberagamaan di Indonesia, khususnya di Jawa.
Hal yang kemudian patut dianggap sebagai problem adalah ketika apa yang ditunjukkan oleh para artis hijrah tersebut dijadikan sebagai standar kesalehan.
Memang benar tidak ada kesepakatan akan hal termaktub. Namun, perilaku pemuda pengikut tren hijrah saat ini―dalam hal praktik keberagamaan―terbaca jelas bahwa mereka lebih cenderung pada model dakwah yang ditawarkan para artis hijrah itu.
Bukan hanya pada model dakwahnya, melainkan juga penampilannya yang kemudian mereka anggap lebih ‘islami’. Mereka, secara tidak langsung, menilai bahwa siapa pun yang tidak berpenampilan layaknya para artis hijrah itu maka ia termasuk orang yang keislamannya belum ‘kaffah’.
Seperti telah disinggung di atas, tak berhenti dalam hal busana, jenggot juga tak luput dari perhatian mereka. Memang benar bahwa jenggot itu termasuk sunnah Nabi Muhammad Saw. Namun, jangan sampai setelah memiliki jenggot―baik itu tumbuh alami maupun tidak―kita mengklaim diri sebagai orang yang paling nyunnah.
Apalagi jika sampai menuduh orang yang tak memiliki jenggot sebagai pihak yang tidak mengamalkan sunnah Nabi. Tentu hal tersebut tak bisa dibenarkan.
Ingat! Jenggot itu bukan perkara ibadah mahdhah. Jenggot itu bagian dari sunnah Nabi; dan sunnah Nabi itu sangat banyak, bukan hanya tentang jenggot. Mereka yang tak berjenggot bisa jadi ternyata menjalankan sunnah-sunnah Nabi yang lainnya. Ini merupakan hal yang sangat mungkin terjadi.
Selain busana dan jenggot, bahasa keseharian juga dijadikan standar kesalehan oleh sebagian anak muda. Bahasa keseharian yang dimaksud adalah ‘akhi’ dan ‘ukhti’―jika diubah dalam bentuk jamak, maka menjadi ‘ikhwan’ dan ‘akhwat’.
Atau ketika mengucapkan terima kasih, diganti dengan ‘syukran’. Juga ketika ada orang yang sakit, yang diucapkan adalah ‘syafakallah’ (untuk laki-laki) atau ‘syafakillah’ (untuk perempuan).
Semua itu sebenarnya adalah hal yang baik. Hanya saja, akan menjadi suatu yang salah jika hal tersebut dideklarasikan sebagai perkara yang wajib.
Dalam konteks realitas sosial, bila kasusnya kita merupakan bagian dari masyarakat Jawa, maka tentu saja ucapan terima kasih dengan redaksi ‘matur sembah nuwun’ akan lebih pas (bahkan mungkin lebih sopan) ketimbang redaksi ‘syukron’.
Berangkat dari kasus ini bisa disimpulkan bahwa standar kesalehan anak muda saat ini bukan mengarah pada islamisasi. Akan tetapi, ia lebih condong pada praktik Arabisasi.
Memang benar Islam itu lahir di Jazirah Arab. Namun, bukan berarti umat Islam di luar Jazirah Arab harus meng-Arab-kan semua lini kehidupannya.
Kita boleh saja memanggil orang lain dengan panggilan ‘mas/mbak’, dan ini bukan termasuk perkara yang salah, atau makruh, apalagi haram. Sebaliknya, memanggil orang lain dengan ‘akhi/ukhti’ juga tidak bisa dikategorikan sebagai perkara sunnah, apalagi wajib.
Sebenarnya perlu dicatat bahwa tidak semua lafal Arab itu bisa mendatangkan pahala. Karena kita semua tahu bahwa tak semua lafal tersebut merupakan bagian dari Al-Qur’an atau kalimat thayyibah.
Seperti halnya dalam kasus ucapan terima kasih di atas. Tak menutup kemungkinan redaksi ‘matur sembah nuwun’ mendatangkan pahala yang lebih besar daripada redaksi ‘syukran’.
Mengapa bisa demikian? Perlu dicatat bahwa salah satu tujuan dari mengucap terima kasih adalah melegakan hati lawan bicara.
Bila lawan bicara kita akan lebih paham maksud ucapan dalam bahasa daerah ketimbang bahasa asing, maka tentu saja yang pertama lebih utama diucapkan.
Ini bukan semata didasarkan pada kelegaan hati pendengar, tapi juga salah satu kaidah fiqh yakni al-‘adah muhakkamah (adat bisa menjadi dasar penetapan hukum).
Praktik keberagamaan setiap kelompok masyarakat tentu saja berbeda. Sebab, wajah keberagamaan dipengaruhi oleh dialog antara agama dengan realitas sosial yang dihadapi masyarakat.
Jangan sampai kita menjadi orang yang lebih fokus pada Arabisasi, tapi kehilangan esensi islamisasi itu sendiri.
Kita boleh saja memakai gamis, tapi jangan sampai menganggap orang yang memakai sarung dan peci hitam itu belum/tidak berislam secara kaffah, apalagi sampai mengafirkan mereka.
Oleh sebab itu, standar kesalehan di mata sebagian pemuda pengikut tren hijrah saat ini perlu dilakukan reorientasi. Kesalehan bukan semata didasarkan pada penampilan dan bahasa keseharian.
Lebih jauh dari itu, kesalehan juga menyangkut kemuliaan akhlak, latar belakang pendidikan keagamaan, ketajaman pemahaman terhadap dalil dan konteksnya, juga kedalaman ilmu.