1873 M, Belanda menyerang Kesultanan Aceh Darussalam. Perkampungan, sawah, dan ladang porak-poranda, lebih dari itu kemerdekaan di tanah sendiri juga terancam, maka pilihannya adalah berjuang mempertahankan kedaulatan meski nyawa jadi taruhan.
Penjajah tidak hanya menghanguskan rumah-rumah warga, tempat-tempat ibadah juga ikut tersapu meriam Belanda. Membuat rakyat Aceh, yang terkenal teguh memegang Islam, semakin panas hatinya dan berbondong-bondong terjun ke medan pertempuran. Sejarah mencatat bahwa Perang Aceh juga disebut sebagai perang sabil (suci) melawan kapeh (kafir).
Rakyat Aceh amat gigih membela tanah airnya. Upaya penjajahan Belanda tidak berjalan dengan mulus. Butuh waktu 40 tahun untuk Belanda menaklukkan Aceh–Perang Aceh berlangsung sejak 1873 hingga 1912. Meski berhasil memukul Aceh, namun harga yang harus dibayar Belanda tidaklah murah.
Kala itu, yang gigih berperang tidak hanya kaum laki-laki. Perempuan Aceh, yang teguh memegang agama dan menjaga martabat diri, juga ikut dalam pertempuran. Mereka tidak sudi jika kemerdekaannya diinjak-injak Belanda. Lebih baik mati berjuang daripada kehormatan bangsa, agama, dan diri dijajah.
Militansi perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam Perang Aceh.
Ketika panglima Aceh banyak yang sudah gugur, pertanda Belanda mulai memimpin jalannya pertempuran. 15 Januari 1903, Sultan Muhamad Daud Syah terpaksa menyerah atas trik licik Belanda yang menawan anak dan istrinya. Panglima Polim, Tuanku Raja Keumala, dan hulubalang-hulubalang lainnya mengikuti keputusan sultan.
Namun, seorang perempuan pemimpin wilayah VI Mukim Aceh, Cut Nyak Din, memilih jalan berbeda. Dia tidak mau tunduk pada penjajah dan terus melanjutkan perlawanan. Perempuan pejuang ini tidak kenal kata menyerah.
Pikiran Belanda jika sultan menyerah perlawanan akan padam ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Nyatanya, masih banyak yang terus melawan. Di antara yang gigih membakar semangat juang rakyat adalah Cut Nyak Din.
Sebagaimana dijelaskan Muchtaruddin Ibrahim dalam bukunya Cut Nyak Din: “Semangat perlawanan Cut Nyak Din tidak pernah padam. Ia terus mengobarkan semangat pengikut-pengikutnya dan menyampaikan seruan kepada seluruh rakyat Aceh untuk meneruskan perlawanan terhadap Belanda….
Rakyat Aceh sangat merindukannya. Cut Nyak Din adalah ratu penyelamat yang bertakhta di hutan rimba. Pada suatu saat ia akan datang dengan kekuatannya untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Aceh. Inilah harapan rakyat pengagum Cut Nyak Din.”
Belanda sangat menyadari betapa besar potensi ancaman dari Cut Nyak Din, sehingga mereka terus memburunya. Tapi, mereka kesulitan menemukan keberadaannya, sebab posisi markasnya di pedalaman hutan selalu berpindah-pindah.
Muchtaruddin Ibrahim menjelaskan kalau: “Cut Nyak Din berpendirian bahwa lebih mulia hidup di hutan untuk menderita bersama pengikut-pengikutnya daripada hidup senang dengan kaum penjajah di kota, tetapi terbelenggu dalam kekuasaannya. Karena itu ia tidak akan hidup untuk menghambakan diri di bawah kekuasaan musuh. Alangkah hina dan lemahnya suatu bangsa yang suka melakukan perbuatan demikian.”
Meski tubuhnya sudah sangat sepuh, tapi tekad perjuangannya malah makin muda. Diceritakan bahwa dalam perjuangan gerilya di hutan Cut Nyak Din sudah sering sakit-sakitan bahkan penglihatannya mulai kabur, namun demikian dia tetap tidak mau menyerah.
Pang Laut, salah seorang pengikutnya, terpaksa melaporkan kepada Belanda posisi markas mereka di hutan, dengan syarat Letnan van Vuuren harus menjamin keselamatan Cut Nyak Din. Rupanya, Pang Laut sudah tidak tega melihat kondisi sang srikandi yang dijunjungnya sedang sakit sangat parah namun masih terus bergerilya dalam rimba. Sehingga, Belanda akhirnya bisa menemukan tempat persembunyian Cut Nyak Din.
Saat van Vuuren mendekati Cut Nyak Din yang telah terkepung, tiba-tiba dia mencabut rencongnya dan langsung menyerang si Belanda itu. Kalau tidak cepat menghindar, pasti perut letanan itu robek.
Si letnan Belanda sangat terkejut bercampur kagum, menyaksikan Cut Nyak Din yang yang meski telah sepuh, tapi sedikit pun tidak ada ketakutan pada dirinya, padahal sedang dalam kepungan musuh. Lebih terkejut lagi sewaktu mereka mengamankannya, perempuan Aceh ini dengan lantang berkata, “Jangan sentuh badan saya kapeh.” Teriakan yang menggetarkan hati van Vuuren berserta tentaranya.
Cut Nyak Din kemudian dibawa ke Kutaraja. Rakyat Aceh berbondong-bondong menemuinya, menumpahkan kerinduan kepada srikandi yang mereka kagumi. Melihat begitu banyak masyarakat yang mengunjunginya, Belanda jadi waswas, takut, jangan sampai Cut Nyak Din menghimpun kekuatan baru di Kutaraja.
Sehingga, Belanda memutuskan untuk mengasingkannya ke Sumedang, Jawa Barat. Sang perempuan pejuang pun dijauhkan dengan tanah kelahirannya. Hingga akhirnya dia mangkat pada 6 November 1908.