Banyak pekerjaan menunjukkan pemartabatan raga dan tidak menganggurkan setiap waktu demi mencipta. Bekerja, sesuai dengan yang dikatakan Romo Mangun dalam Ragawidya (1995), adalah “percikan dan cermin daya cipta yang agung dari kemahakuasaan Tuhan Allah sendiri, sebentuk cinta yang asasnya serba membuat baru dan serba lebih sempurna”. Mau bekerja berarti manusia mau bergulat, merasakan lelah, mengucurkan peluh, dan menjemput rezeki. Jalan raga manusia adalah bekerja memartabatkan nikmat raga: tangan, kaki, jari-jari, mata, telinga, mulut, hidung.
Sejarah panjang kolonialisme di Indonesia sangat sempat mengubah telak resepsi orang-orang, termasuk di Jawa, atas imajinasi pekerjaan, misteri rezeki, tekad berpeluh, dan kenikmatan bekerja. Istilah tanam paksa atau kerja paksa menjadi kepedihan pada raga yang seharusnya bekerja tanpa tuntutan, target, hasil, atau selalu uang. Pribumi dipaksa menjadi pekerja-pekerja kasar tanpa sempat mencipta kelangenan atas apa yang dikerjakan.
S.H. Alatas (Mitos Pribumi Malas, 1988) mengatakan bahwa sejak awal abad ke-19 di Jawa, mitos pribumi malas disebarkan untuk mengabsahkan sistem jual paksa dan kerja paksa. Di abad ke-20, kuasa kolonial lebih ingin mempertahankan kebijakan upah rendah. Laporan-laporan berpatron kolonial cenderung melihat petani yang memiliki laku bebas, para ibu rumah tangga yang bekerja memberesi urusan rumah, atau penjual buah-buahan pinggiran tanpa penghasilan tetap dianggap pemalas dan tidak bekerja. Mereka beresiko mendapatkan cap pemalas karena tidak mematuhi keharusan “bekerja pada tingkat yang tidak manusiawi dalam lingkungan kapitalis kolonial.”
Becak
Kita bisa kembali dan mengingat imajinasi pekerjaan yang kocak dan tanpa paksaan, salah satunya tukang becak, lewat Balada Becak atau Sebuah Riwayat Melodi Yus-Riri (2016) garapan Y.B. Mangunwijaya atau Romo Mangun. Berlatar di sekitaran kampung pinggiran Yogyakarta, riwayat pekerjaan bertempur dengan bahasa, kapasitas raga, keparlentean penampilan, atau simbolisasi ruang. Meski Balada Becak diterbitkan ulang untuk dibaca manusia di abad ke-21 sejak kemunculannya pada 1985 oleh Balai Pustaka, narasi tentang pekerjaan dan impian kaum pinggiran masih representatif era kekinian.
Kampung menyimpan cerita manusia dan pekerjaan-pekerjaan. Barangkali, hanya Romo Mangun yang nekat menyebut tukang, abang, atau sopir becak sebagai “pilot becak”. Lumrahnya, pilot berada di atas awan dengan burung mesin bernama pesawat yang membuat manusia tampak digdaya mengalahkan mitos dan dewa. Namun, becak di darat tidak menampik heroisme yang sama dalam soal berkendara. Menjadi tukang becak butuh kegesitan raga; mengayuh, mengerem, menahan, berbelok, mendorong, mengangkat. Tangan dan kaki berarak sebagai pengabdian penuh pada pekerjaan. Tukang becak adalah “pilot daratan” yang tangguh meski diserang panas dan hujan, berteman caping yang jadi penanda khas.
Iman Budi Santoso dalam Profesi Wong Cilik, Spiritualisme Pekerjaan Tradisional di Jawa (1999) menandai tukang becak sebagai salah satu pekerjaan legendaris dan filosofis di Jawa. Pelbagai aturan pemerintah, geliat kemodernan tata kota, dan pertumbuhan ragam transportasi mesin tidak sepenuhnya mampu memberangus kehadiran becak. Konstruksi becak dengan muatan di depan memang menambah beban, tapi ada pernyataan sikap kultur orang Jawa. Dengan diletakkan di depan, penumpang sebagai tamu diberi penghormatan, penghargaan, dan penjagaan penuh. Di tradisi Jawa, penghormatan atas tamu dikatakan dengan “dipangku”.
Becak dan tukang becak yang sering mengabarkan sepaket kenestapaan, menyimpan etos dan spiritualitas kerja bagi orang lain. Apalagi, ada istilah yang menunjukkan ketidakserakahan pada uang: Ndherek. Sumangga kersa (Silakan, terserah Anda) dalam konteks pembayaran. Tukang becak biasanya tidak menyebut nominal uang, percaya bahwa rezeki sudah pasti diantarkan Tuhan lewat para penumpang. Dalam kemisterian rezeki dan nasib, para tukang becak masih sempat berkelakar sebagai cara berdamai dengan hidup.
Hal ini bersesuaian dengan gagasan Jawa yang jarang mengartikan pendapatan atau gaji. Orang-orang lawas lebih akrab dengan istilah nafkah atau rezeki. Bekerja untuk “mengepulkan dapur” pun jadi pengungkapan bersahaja, seolah memang tidak ada kebutuhan bombastis lain selain kebutuhan sesepele dapur. Cara pengungkapan pergi bekerja seperti glidik, ngantor, atau dines juga memberikan pembedaan gagasan pekerjaan. Glidik sering tidak memiliki kepasian pekerjaan dan tidak memerlukan keparlentean berbusana layaknya ngantor atau dines. Orang-orang kampung biasanya lebih sering menggunakan kata glidik sebagai ekspresi tekad bekerja.
Yus dalam Balada Becak digambarkan Romo Mangun masih sempat berbalada dan berkhayal di atas becak meski ada perasaan inferior sebagai anak muda tidak kuliah. Bagi Yus, becak bukan sekadar alat transportasi atau sarana mengantarkan Bu Dul dan gori-gorinya ke restoran gudeg. Becak itu mengantarkan doa menuju singgasana Tuhan. Di atas becak, Tuhan sekalipun tidak bisa melarang Yus melamunkan diri sebagai mahasiswa (kuliah Goriologistik), membayangkan Bu Dul sebagai Menteri Gori dan Gudeg, Gatutkaca si Polantas malah dianggapnya pelayan minuman, dan penjual amben (tempat tidur) bisa setara dengan pejabat.
Selain tukang becak, tukang las di bengkel las milik Rahmat, kakak Yus, mendapat kehormatan mahatinggi dari Romo Mangun. Para tukang las setara dengan pemusik kelas dunia. Romo Mangun menjungkirkan istilah-istilah yang berkelas untuk mementaskan bengkel dari kejelataan nasib. Kita simak. “Pasti, seandainya ada seorang komponis Orkes Filharmoni di Berlin sampai datang kemari, oh siapa bilang mustahil, inspirasi karya-karya besar sering justru lahir di tempat-tempat yang semula dianggap hina, yah…pasti beliau akan tergetar senar-senar filharmoni bengkel si Rahmat itu, lalu ke-then-thèng-thèng-jiyos-jooos-thèk-thu-blug, terciptalah suatu simfoni super modern, elegi bertema elan vital compassionate.” Instrumen buatan Muenchen dan Yokohama pun harus kalah dengan pukul besi, sembur api, dan raungan knalpot, produk asli bumi Ngayogyakarta Hadiningrat.
Persembahan Puitis
Di Burung-Burung Manyar (2001), barangkali kita sempat meluputkan pekerjaan oleh para mbok-mbokan desa yang ceriwis, usil, tapi baik hati. Kita mendapati kedekatan Atik dengan para emban atau pembantu. Mereka nyaris tidak memiliki pengaruh secara intelektualitas, tapi secara personal membentuk rasa humanisme diri, selera humor kerakyatan, dan rekonsiliasi atas duka hidup. Para emban mengabdi pada tuan dengan keterpenuhan seolah itu pertanggungjawaban kecil mereka pada rahmat hidup dari Tuhan.
Merekalah rengengan yang menghidupkan Jawa dengan tembang, epos, doa, dan ujaran lugu. Beberapa biografi orang kulit putih di masa kolonial sekalipun, menempatkan para emban dalam wilayah paling dekat dengan batin, bahkan lebih dekat dengan ayah atau ibu kandung. Pekerjaan ini sering dianggap hina, rendah, dan sering berada di pinggiran. Raga para emban memang tidak pernah berpakaian parlente, tapi kehadiran raga dinantikan mengisi kesunyian para anggota keluarga juragan. Namun, ini adalah pekerjaan yang lumrah mengabarkan tentang penerimaan, ketabahan, dan tahan godaan di hadapan tahta politik kekuasaan.
Dalam penciptaan pengajaran dasar bagi anak-anak, penghormatan pada pekerjaan raga juga berarti penghormatan pada pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia kalangan bawah. A. Supratiknya menyarikan tulisan dan percakapan dengan Romo Mangun, bahwa anak “harus belajar untuk yakin bahwa semua pekerjaan tangan, terutama yang dikerjakan oleh rakyat kalangan bawah, sungguh-sungguh berguna, berharga, dan pantas dikagumi, bahkan sangat indah dan mengharukan” (Basis, Maret-April 1999). Pengajaran menebus tuduhan pekerjaan tangan yang sering dikatakan rendahan dan kasar. Pengabdian raga pada pekerjaan bersajaha, berarti pemartabatan sekaligus pembiasaan pada hal-hal biasa, mengakrabi kejelataan.
Sungguh puitis jika akhirnya Romo Mangun menulis di halaman buku Wastu Citra (2013), “Buku ini ditulis untuk menghormati para tukang dan karyawan-karyawati lapangan, yang dalam cara-cara mereka tertentu telah menjadi mahaguru arsitektur yang ulung bagiku”. Para tukanglah yang hadir mewujudkan rencana menjadi kenyataan. Rencana tetap akan tinggal di atas kertas tanpa tukang yang menubuh dengan batu, bata, pasir, tanah, kayu. Dalam pekerjaan, ada etos dan keterampilan yang tidak bisa begitu saja diwarisi atau dipaksa berhenti-berganti dengan cepat oleh tuntutan karir. Bekerja membutuhkan ritme yang membuat raga menikmati sekaligus mengucapkan kidung syukur suka cita.
Indonesia pernah sumringah, bergairah, dan berpeluh oleh rona pekerjaan yang memartabatkan raga dan memerdekakan jiwa. Bukan terutama bekerja untuk mendapatkan uang, tapi menggerakkan diri untuk keberesan hal-hal kecil di keseharian. Pekerjaan itu sering menjadi lakon figuran tanpa pengultusan pada nama dan riwayat. Pekerjaan-pekerjaan kecil juga sulit menjadi direkomendasikan sebagai profesi mentereng atau pencapaian unggulan dalam soal gaji, jabatan, atau pergedungan di era bursa kerja.