RUU PKS dan Ketidakpastian Hukum- Dewasa ini berbagai polemik terjadi di Indonesia, salah satunya wacana dikeluarkannya pembahasan RUU-PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disampaikan langsung oleh Marwan Dasopang (30/06), selaku wakil ketua DPR RI Komisi VIII yang membawahi isu agama dan sosial. Padahal RUU ini telah diagendakan menjadi rumusan prolegnas tahun 2021.
Mengutip dari Tempo (07/02/19), RUU PKS diinisiasi oleh DPR dan diusulkan pada 2017 lalu. Namun, pembahasan RUU mandek sekalipun pelbagai kelompok masyarakat telah mendesak agar RUU ini segera disahkan. RUU ini sudah dibahas sejak tahun 2016, tetapi jalan panjangnya penuh dengan lika-liku serta belum menemukan terminal terakhirnya.
Pasca viral wacana dibatalkannya RUU tersebut, kemudian muncul perdebatan wacana di Twitter. Berbagai perang tagar pun bermunculan saling bersahutan, baik yang menolak dan mendukung terhadap RUU PKS. RUU ini sebenarnya menjadi harapan bagi perlindungan hukum terhadap korban pelecehan seksual yang selama ini masih banyak yang terabaikan. Pengesahannya pun sejak lama sudah ditunggu-tunggu oleh para aktivis perempuan dan khususnya para korban.
Wacana dibatalkannya RUU PKS ini, semakin menambah pilu bagi para korban yang tersubordinasi dan termajinalkan. Korban semakin tidak menemukan rasa aman dan perlindungan hukum dari Negara. Padahal Negara sejatinya menjadi benteng yang melindungi setiap warganya. Karena ketika RUU ini dibatalkan, maka nasib korban kian tak menemuka jalan.
Sejak 2014, Komnas Perempuan menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Angka kekerasan seksual pun meningkat setiap tahun. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, pada 2017 ada 348.446 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan ditangani. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.
Pasca viralnya RUU tersebut, Nur Imroatus selaku aktivis Feminis melaporkan terkait maraknya kasus kekerasan seksual sejak 1-30 Juni 2020 yang berasal dari 4.281 media online, 1.551 berita dengan jumlah 240 jumlah kasus yang terjadi di Indonesia. Hal ini menunjukkan mirisnya nasib korban dan penanganan penyelesaian yang masih abai. Mengupayakan untuk mengembalikan RUU untuk dibahas, menjadi suatu keniscayaan dan harapan sekaligus.
Di ranah DPR sendiri, kelompok yang paling tegas menolak Draft RUU PKS adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Mereka berdalih, masukan mereka terhadap draft RUU tersebut tidak banyak direspon, pun juga ditambah dengan dukungan beberapa masyarakat yang menolak RUU tersebut.
Melihat realitas ini, tentunya banyak pihak yang kecewa di tengah ketidakpastian proses legalitas RUU PKS, terutama kalangan yang fokus terhadap isu-isu pemberdayaan perempuan. Kalangan feminis juga telah memasifkan hastag #SahkanRUUPKS sebagai upaya “demonstrasi virtual” kepada seluruh masyarakat terkait bagaimana nasib korban di masa yang akan datang. Saat ini, perlunya kita memahami secara utuh draft RUU PKS yang sejatinya memiliki visi untuk menyelematkan nasib bangsa dari cengkraman predator seksual.
Karena pelecehan seksual bukan hanya terjadi kepada perempuan, laki-laki pun juga punya potensi yang sama. Tetapi berdasarkan penelitian dari Komnas Perempuan, kasus pelecehan rata-rata lebih dominan perempuan dengan persentase sekitar 90%. Pelecehan seksual merupakan penyakit sosial yang harus disikapi dengan kritis dan manusiawi tanpa ada permainan kepentingan yang saling menguat.
Teranyar, berita yang dilansir dari KOMPAS (05/07/20), telah terjadi pelecehan seksual berinisial Nf (14) asal Lampung. Tragisnya, saat dititipkan oleh orangtuanya di “Rumah Aman” milik pemerintah “Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak” (P2TP2A) Lampung Timur di bawah naungan KEMENPPPA, Nf justru menjadi korban pemerkosaan sekaligus. Bukannya dilindungi, Nf malah dilecehkan oleh oknum “Rumah Aman” bahkan dijualnya kepada orang lain.
Selain itu, saat ini kasus kekerasan seksual semakin meningkat dan minimnya efek jera terhadap para predator seksual. Mereka seperti dibiarkan berkeliaran seperti macan yang suatu waktu bisa menerkam siapa saja mangsa yang ada di depannya. Hukum di Indonesia belum sepenuhnya berpihak kepada korban dan seringkali oknum pemerintah menyalahkan korban dengan dalih perempuan banyak keluar malam, pakaiannya yang serba terbuka dan stigma lainnya.
Dengan demikian, di tengah ketidakpastian hukum terhadap korban kekerasan seksual, idealnya menjadi sinyal berbahaya bagi masa depan sosial dan agama. Sebagai negara hukum, seharusnya pemerintah tegas dalam keberpihakannya terhadap sisi kemanusiaan korban.
Bukankah hukum itu ada untuk kemanusiaan?, bukan justru sebaliknya. Karena sejatinya kemanusiaan itu melampaui hukum-hukum yang dikonstruksi oleh manusia.