Menjadi dilematis bicara mengenai politik dan perempuan di Pakistan. Dilematis untuk sejarah kelam yang mengekang perempuan, tidak membolehkan perempuan keluar rumah, tidak boleh ke sekolah bahkan tidak terlibat dalam ranah publik.
Kenyataan ini kemudian menjadi suatu pertanyaan besar apakah Islam yang ada di Pakistan tidak memuliakan perempuan? Tentunya jika berbicara Islam seharusnya perempuan dimuliakan.
Situasi ini kemudian memanggil nurani seorang perempuan hebat bernama Saba Mahmood. Beliau adaalah seorang profesor antropologi di Universitas California, Berkeley. Ia fokus pada kajian interseksi Islam dan teori feminis. Lahir dan besar sebagai muslim di Pakistan di tengah iklim politik nasionalisme poskolonial pasa masa 1970an-1980an mulai surut.
Tahun-tahun tersebut adalah masa kediktatoran Zia ul-Haq menggunakan Islam sebagai dasar untuk menjalankan kekuasaan yang brutal. Termasuk menjalankan rangkaian yang diskriminatif terhadap perempuan.
Pada tahun 1981 Saba Mahmood pindah ke Amerika Serikat untuk belajar arsitektur dan perencanaan kota di Universitas Washington, Seattle. Kemudian pada tahun 1998 beliau memperoleh gelar antropologinya di Universitas Stanford.
Termotivasi oleh situasi dan kondisi di Pakistan, Saba Mahmood meyakini adanya perjuangan dalam politik feminis yang sekuler. Revolusi Iran 1979 memberikan harapan. Islam memiliki peran dalam perubahan revolusioner tidak hanya untuk kaum yang tertindas, tapi juga untuk kelas menengah.
Saba Mahmood mendeklarasikan dirinya sebagai kiri progresif. Secara intelektual ia berjuang menyoroti kegagalan feminisme Barat Sekuler dalam memahami kehidupan perempuan yang religius. Di mana perempuan hanya dianggap objek kemudian diberdayakan bahkan direformasi. Dalam riset sosioantropologisnya, ia menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi agen di dalam keagamaan yang patriarkis.
Ia juga mengritisi dengan pendekatan liberal-sekuler dengan contoh insiden WTC 11 September 2011 dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut diambil sebagai contoh negara yang membatasi ancaman fundamentalisme Islam melalui seruan untuk memisahkan urusan agama dan politik.
Hal ini dimaksudkan agar agama bisa dipraktikkan tanpa intervensi dari negara. Menurut Saba Mahmood meskipun Amerika Serikat dan Perancis telah menegaskan sebagai negara sekuler, dua negara ini tetap terlibat dalam kebijakan dan keputusan.
Yakni mengenai bagaimana agama dipraktikkan dan diekpesikan di ruang publik, termasuk melarang dan medefinisikan pakaian seperti cadar atau niqab. Sesuatu yang secara normatif sebenarnya dianggap urusan personal di dalam liberalisme.
Saba Mahmood dalam artikelnya Secularism, Hermeneutics, and Empire:The Politics of Islamic Reformation (2006). Ia menilai negara Barat yang seolah mencoba mengembalikan peran agama (Islam) ke tempat yang semestinya justru di sisi lain memberi ruang bagi menyeruaknya agenda sayap kanan.
Melalui kebijakan yang mendriskriminasikan Islam di Amerika Serikat dan negaraa-negara Eropa ini, Saba Mahmood memproblematisir klaim mormatif bahwa etika politik sekuler netral dari klaim tradisi keagamaan apapun.
Bahkan ia melihat persekutuan antara Muslim Liberal dan moderat dengan pemerintah Amerika Serikat sebagai bentuk kesamaan pendekatan atas hermeneutika skriptural. Yakni sama-sama mengupayakan perombakan Islam serupa dengan Reformasi Protestan dan mengedepankan Islam sejalan dengan kaum liberal-sekuler Barat.
Kemudian Saba Mahmood juga mengkritik politik “kiri sekuler” yang ia anggap memilki visi tunggal dan memosisikan agama hanya di ranah privat. Dalam karyanya yang berjudul “Politics of Piety” (2004) ia menngekplorasi tantangan konseptual dari keterlibatan perempuan dalam gerakan Islamis terhadap teori feminis secara khusus dan pemikiran liberal secara umum.
Dalam studi kasusnya yang ia teliti gerakan perempuan di masjid-masjid sebagai bagian dari arus kebangkitan Islam yang sangat terkenal di tahun 1990-an dan menjadi sasaran penyelidikan dan kontrol negara. Ia berpendapat bahwa bahwa bentuk kesalehan (piety) dalam gerakan ini adalah politik untuk mentransformasi kehidupan sehari-hari dan menentang konsepsi liberal yang normatif tentang politik.
Sebelumnya pada 2003 dalam jurnal Social Research beliau menuangkan keresahannya atas lekatnya aspek politik identitas dalam menganalisis gerakan Islam kontemporer. Terutama umat Muslim di Timur Tengah.
Aspek lainnya yang dominan lainnya adalah kontinuitas antara Islamisme dengan nasionalisme yang muncul ketika berbicara soal gender. Khususnya bagaimana tubuh perempuan menjadi simbol dari identitas kolektif keduanya. Tentang hal ini semuanya telah ia tulis dalam Ethical Formation and Politics of Individual Autonomy in Comtemporary Egypt.
Dalam artikelnya yang berjudul Feminism, Democracy and Empire (2008) ia mengkritik penggambaran media arus utama di Barat yang merayakan para penulis perempuan eks-Muslim yang meninggalkan negara dan agamanya untuk pindah ke Barat.
Lalu menulis otobiografi mereka dan menjadi populer karena dianggap telah membebaskan diri dari kekangan patriarkisme Islam. Ini seolah-olah menjadi hijrah ke Barat adalah satu-satunya jalan emansipasi perempuan Muslim.
Genre para perempuan eks-Muslim ini, ia berpandangan bahwa signifikan tak hanya oleh ketergantungannya pada sudut pandang Orientalis tentang Islam yang selama ini dipresentasikan dalam sejarah Barat. Tetapi juga mempromosikan agenda konservatif sayap kanan yang menyebar di Eropa dan Amerika, khususnya terkait Islam.
Dari ulasan panjang di atas, penulis menyimpulkan bahwa menurut Saba Mahmood “Politik Kesalehan” perempuan Muslim bisa menjadi agensi perlawanan dan kebebasan.
Ia tertarik dengan konsep atas diri, agensi moral dan disiplin yang mengikat praktik gerakan “nonliberal” perempuan dalam konteks Islam. Hal ini terkait dengan kebebasan dari relasi dominasi dalam perdebatan feminisme.