IQRA.ID, Jakarta – Dalam rangka merespons lingkungan baru atas hadirnya teknologi yang telah meningkatkan dan memperkaya pengalaman indrawi terhadap dunia, Galeri Salihara menggelar Pameran Seni Rupa bertajuk Mediacape: Material, Senses and Beyond. Pameran ini berlangsung selama sebulan mulai 11 September hingga 2021.
Enam seniman media baru dari Indonesia, Korea Selatan, dan Inggris, pameran ini akan menyoroti multiindrawi dan interaktivitas melalui berbagai pendekatan peraga atau scape, seperti peraga raba (tactile scape), peraga rasa (scape of flavor), peraga maya (digitalscape), peraga suara (soundscape), peraga bau (scape of scent) dan peraga ingatan (memory scape).
Kurator Seni Rupa Komunitas Salihara Asikin Hasan menyebut popularitas seni media baru dalam dekade terakhir telah memperluas kemungkinan seni dari medium visual satu-dimensi menjadi karya multi-sensori dan interaktif.
“Dalam beberapa tahun terakhir, media dan teknologi telah memberikan jalan bagi kolaborasi interdisiplin bebas batas,” sebut Hasan.
Ia mengungkapkan bahwa pandemi Covid-19 telah menggeser pandangan kita terhadap dunia dan secara signifikan berimbas pada dunia seni. Dengan pertimbangan kebersihan dan keselamatan publik yang kini menjadi prioritas menuju era New Normal, pendekatan terhadap produksi, presentasi dan pameran seni perlu dievaluasi kembali.
“Meski batasan-batasan bertambah, tidak ada waktu yang lebih baik dari sekarang untuk membuat seni yang dapat diakses secara luas dan bersifat inklusif,” jelasnya.
Pameran seni rupa Mediascape: Materials, Senses and Beyond (Mediascape: Material, Indra dan seterusnya) adalah pameran yang berusaha menangkap dan merespons lingkungan baru dari pengalaman indrawi di masa kini, yaitu ruang realitas campuran di mana teknologi meningkatkan dan menambah pengalaman indrawi kita di dunia.
Secara lebih lanjut, peraga raba (tactile scape) terdapat pada karya Boo Ji Hyun, perupa asal Korea Selatan. Boo Ji Hyun yang ahli dalam seni cahaya interaktif, yang menggabungkan prinsip seni, sains, dan manusia mengajak khalayak mengalami periode meditatif dan ruang yang tercipta dari emisi cahaya dan kabut melalui karya-karyanya.
Selanjutnya karya Elia Nurvista akan menyajikan peraga rasa (scape of flavor), di mana buah-buahan asli tidak hanya dihidangkan sebagai katalis untuk pengalaman multiindrawi, tetapi juga menghubungkan kita pada dunia virtual.
Elia Nurvista memang memiliki ketertarikan pada beragam medium seni melalui pendekatan interdisipliner yang berfokus pada diskursus makanan/kuliner. Ia pun berencana menciptakan karya berbasis kemampuan indrawi/multi-sensori.
Tromarama mengundang kita untuk menyelami peraga maya (digitalscape) yang diciptakan melalui suasana kontemplatif yang ditambahkan dengan data real-time dan suara yang diciptakan kecerdasan buatan (AI generated).
Tromarama adalah sebuah kolektif berbasis di Jakarta dan Bandung dengan pengalaman internasional. Mereka mengangkat isu hiper-realitas dari dunia digital dan keterhubungan antara material dan kehidupan virtual.
Sementara seniman Korea Selatan, Park Seung Soon mengeksplorasi peraga suara (soundscape). Karyanya membuat kita lebih sadar terhadap daerah di sekeliling kita yang sudah merupakan kombinasi dari yang nyata dan yang maya.
Park Seung Soon memang seorang komposer musik elektronik yang kerap menciptakan proyek media inovatif, dengan menggabungkan sejumlah tampilan dan instalasi menggunakan air, cahaya, suara, dan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat pengalaman musikal bagi musisi dan publik. Ia juga seorang peneliti seni yang berfokus pada konvergensi seni media.
Eldwin Pradipta mengajak kita merasuki alam pikiran komputer yang distimulasi oleh peraga bau (scape of scent), di mana mesin akan terpicu oleh aroma dari gas yang mudah terbakar. Eldwin Pradipta adalah seniman multimedia yang memiliki spesialisasi video proyeksi dan instalasi digital.
Ia tertarik dengan eksplorasi batasan-batasan antara praktik artistik tinggi dan seni lowbrow, serta terbuka untuk komisi pengembangan konten kreatif yang berhubungan dengan pengalaman media realitas berimbuh (augmented reality).
Terakhir, sebagai peraga ingatan (memory scape), karya Notes on Blindness yang berupa video virtual 360° mempersembahkan sekelumit pengalaman personal dari hilangnya penglihatan yang dialami oleh John Hull dan menuntun khalayak untuk melakukan refleksi terhadap pentingnya peran indra-indra selain mata.
John Hull adalah seorang profesor yang mengumpulkan diari audio tentang pengalamannya setelah kehilangan penglihatannya pada 1983. Diari ini telah diterbitkan menjadi buku pada 1990. Setelah wafat pada 2015, diari ini diadaptasi menjadi film dokumenter pendek pada 2016, kemudian menjadi instalasi realitas virtual (VR) berjudul Notes on Blindness.
Kurator tamu di kegiatan ini, Jeong Ok Jeon, yang kini berbasis di Jakarta dan aktif terlibat di medan seni rupa kontemporer Asia Tenggara menambahkan pandangannya terhadap karya-karya yang dipamerkan.
“Meski tiap karya dalam pameran ini memiliki elemen sensori yang dominan dan unik antara satu sama lain, untuk memahami keseluruhan konteks setiap karya dengan lebih mendalam, sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa secara alami, beragam indra manusia saling menstimulasi dan mempengaruhi. Melalui pengaman multisensori yang diperkaya oleh seni media baru, pameran ini berharap akan ada kesadaran baru terhadap fungsi-fungsi indrawi yang menghubungkan kita dengan peraga media (mediascape),” jelas Jeong Ok Jeon.
Hal ini secara khusus amat relevan dengan realitas sekarang di tengah wabah COVID-19, sebuah pandemi yang telah menggeser sudut pandang kita terhadap dunia, dan mempengaruhi medan seni rupa secara signifikan.
Pameran Mediascape diselenggarakan oleh Salihara dan ARCOLABS serta didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Korean Cultural Center Indonesia, British Council Indonesia dan didukung oleh Korean Institute for Advanced Study.
Untuk mengikuti pameran seni rupa ini atau mendapatkan informasi lebih jauh, silakan klik https://salihara.org. (MZN)