Judul Buku : Orang-Orang Oetimu
Penulis : Felix K. Nesi
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : 1, Juli 2019
Tebal : 220 halaman
ISBN : 978-979-1260-89-3
Novel Orang-Orang Oetimu ini, baru saja diganjar pemenang 1 sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2018, sebuah ajang bergengsi di Tanah Air. Di Novel ini, Felix K. Nesi merajut cerita-cerita dengan latar etnografis dengan baik, sehingga dewan juri merasa sah memberikan penghargaan dan endrosmen.
Felix, sebenarnya bukan orang baru di dunia sastra Indonesia. Buku pertamanya adalah Usaha Membunuh Sepi (2016), sebuah kumpulan cerpen yang menakjubkan. Ia juga terpilih sebagai “Emerging Writer” di Makassar Internasional Writer Festival (MIWF), 2015.
Di novel ini, Felix menganggit cerita keseharian orang-orang Oetimu, sebuah wilayah kecil di pelosok, ujung selatan kecamatan Makmur Sentosa, Nusa Tenggara Timur. Bernarasi sejarah 1990-an, di masa-masa pandulum praktik kekuasaan Orda Baru yang represif, otoriter, dan hegemonik.
Tidak hanya praktik politik kekuasaan, tetapi gereja-gereja dan gerilyawan Fretilin turut serta memberi pengaruh pelik. Felix semacam ingin menarik pembaca ke peristiwa-alam dan pikiran orang Timor.
Bukan hanya unik, tetapi Felix berani membentangkan kisah-kisah lama yang jarang orang-orang ketahui. Felix melacak kisah dan fakta di masa lampau: penculikan, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, kesedihan, kehilangan, kebahagiaan, dan kemesuman. Tetapi, di tangan Felix, cerita pelik itu tak dibuat cengeng. Ia mendaratkan peristiwa menggugah, cair, dan mengasikkan: kevitalan keluarga-sosial bahagia, persahabatan, dan cinta asamara yang terlunta-lunta.
Kisah panjang Felix digerakkan sebagai sebuah motif perwira dan gereja yang menguasai pandulum praktik kekuasan politik orang Oetimu. Tentara Martin Kabiti, Polisi Sarsan Ipi, dan Romo Yosef memangkas wacana dan pergulatan hidup orang Oetimu. Bukan hanya di kehidupan sosial, tetapi hal privat, misalnya seks dikangkangi oleh institusi negara dan gereja. Dengan ganas dan selalu dibohongi, penduduk adat Oetimu tak melawan dan tak berdaya.
Orang-orang Oetimu dipaksa patuh dan membenarkan segala kebijakan penguasa. Mereka dilatih menjadi prajurit partisan untuk bertempur melawan pemberontak demi mempertahankan daulat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila ada tak mau alih-alih pengkhianatan, penguasa akan mencap dengan deretan tuduhun terlibat PKI, memusuhi negara, dan melanggar konstitusi.
Penguasa melalui perwira, berhak menangkap, menculik, dan membunuh. Felix, memunculkan itu dalam novelnya untuk menguak sejarah Orde Baru. Seribu muslihat dan perkara harus diberitahukan ke pembaca.
Kita mungkin lebih dulu mengetahui taktik tuduhan-tuduhan itu dalam buku Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksploitasi Politik dan Kejahatan (2000), garapan James T. Siegel. James melihat, ketika ada pengganggu kekuasaan, biasa dianggap komunis atau pelaku tindak kriminal. Penguasa berhak menangkap, bahkan membunuh berdalih stabilitas keamanan.
Dalam buku yang agak serius, Anak Tentara Melawan Orba (2015), tuduhan itu terbukti menghancurkan hak asasi manusia, penembakan misterius 1982, operasi militer sepanjang Irian Barat/Irian Jaya/Papua untuk menumpas Organisasi Papua Merdeka. Mereka yang melawan ada digenggaman militer.
Adapun di bagian lain, Felix menyisipkan bentangan kisah untuk dijelajahi. Novel ini bukan hanya kaya data, tetapi Felix tekun mengolah cerita, dari inter-teks ke dunia nyata. Hingga bangunan kisah terpahat dalam ingatan pembaca dari masa ke masa.
Dalam pengambaran kondisi sosial misalnya, Felix menyentil politisasi makanan. Komplotan orang kaya bekerjasama dengan pemerintah menggoda kaum adat untuk menjual hasil panennya. Mereka memberi imbuhan dan gombalan bahasa menjadi manusia “berbudaya dan beradab” agar penduduk menjual jagung dan singkong dengan bertukar beras. Memang kita tahu itu produksi bahasa dan manipulasi kata taktik Orde Baru.
Felix memunculkan itu untuk disingkap pembaca. Mereka memberikan peringatan. “Bapak-bapak dan ibu-ibu, seluruh penduduk yang pandai dan sehat. Musim panen telah tiba. Kita semua akan memanen jagung dan singkong. Namun taukah Anda, apa itu jagung dan apa itu singkong? Jagung dan singkong adalah makanan nenek moyang kita.
Nenek moyang kita bodoh dan punya gizi yang buruk, sebab mereka hanya makan jagung dan singkong. Sudah ada penelitian dari Barat, dua makanan itu memiliki zat yang bikin otak jadi lemah. Ia tidak punya gizi apa-apa.”
Ia bahkan penyebut jagung dan singkong makanan yang salah. Bukan hanya ketinggalan, tetapi tak berkeadaban. Mereka mengajak, “… maka dari itu, Bapak dan Ibu sekalian, jangan kita mewarisi kebiasaan yang salah dan keliru itu. Mari kita mulai makan nasi. Kita harus makan nasi, agar kita dan anak-anak kita menjadi manusia yang lebih berbudaya, lebih beradab, dan senantiasa beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai sila pertama Pancasila”.
Ajakan itu pamungkas. Orang-orang dari jauh mulai menukar jagung dan singkong dengan beras. Lima liter bisa ditukar dengan satu liter beras. Tiga junjung singkong bisa ditukar dengan dua bungkus mie instan yang lezat. Ada yang menukar kayu cendana dengan sandal jepit. Orang Oetimu ingin merasai kehidupan modern seperti orang Jawa. Tapi dengan cara diperas.
Felix menceritakan peristiwa itu sebagai laporan, ketidakadilan, sangkalan, bimbang, politisasi, dan pembodohan.
Berbeda Laila S. Chudori, dalam novel Laut Bercerita (2017). Laila, melibatkan jagung sebagai motif protes. Tokoh Biru Laut dan teman-temannya menggerakkan kaum tani dan buruh untuk menanam jagung. Dengan aksi menanam jagung mereka menggelorakan perlawanan dan meminta keadilan atas kebijakan politik penguasa. Bagi Laila, (makanan) jagung adalah bentuk kritik, kecerdasan, dan semangat melawan kekejian penguasa. Jagung bukan makanan membodohkan.
Di bagian akhir Felix memberi kisah sempalan, Atino membalas dendam ke Perwira akibat pembunuhan keluarganya adalah bagian yang tidak menjadi bagian pokok cerita orang-orang Oetimu meski sama-sama kuat. Tetapi, Felix mencoba memberi penjelas di bagian lubang sebelumnya sehingga novel ini terasa lebih lengkap.
Novel ini, di bangun peristiwa sedemikian kuyup antara politik, seks, agama, dan semua penghancuran yang dikangkangi penguasa untuk diperlihatkan dan menjadi ajakan keinsafan untuk tidak terjadi di masa kini.