Ketika Nabi Muhammad Saw. mulai menyebarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki sistem sosial di bawah kepemimpinan suku Quraisy. Saat itu Nabi melihat bahwa umat dapat Islam bersatu karena mereka memiliki akidah, hukum Islam dan moralitas. Jika mereka memiliki perbedaan, mereka dapat diselesaikan melalui wahyu, dan tidak ada perselisihan di antara mereka.
Awal mula perselisihan dalam sejarah Islam dipicu oleh Abdullah bin Saba (Yahudi) pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan dan berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Awal mula tanda-tanda sekte dimulai dengan khalifah Usman bin Affan (khalifah ketiga setelah wafatnya Nabi Muhammad).
Saat itu, karena adanya kepentingan kelompok yang menyebabkan perselisihan terus-menerus hingga terbunuhnya Khalifah Usman bin ‘Affan. Kemudian digantikan oleh Ali Bin Abi Thalib. Sejak saat itu, perpecahan dalam masyarakat Muslim terus berlanjut (Harun Nasution, 1986: 6).
Sumber lain menjelaskan bahwa pada masa Nabi Muhammad, hingga masa pemerintahan Usman bin Affan (644-656 M), tidak ada masalah teologis di kalangan umat Islam. Masalah baru muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M).
Masalah tersebut ditandai dengan munculnya Khawarij, kelompok para pendukung Ali yang tidak setuju atas sikap Ali menerima tahkim (arbitrase) untuk menyelesaikan konflik di Perang Shiffin dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syam.
Masalah politik adalah penyebab utama dari masalah teologis dalam Islam. Khawarij percaya bahwa tahkim adalah cara untuk memecahkan masalah, tidak berdasarkan Al-Qur’an, tetapi ditentukan oleh orang itu sendiri.
Mereka yang tidak menentukan hukum oleh Al-Qur’an adalah bid’ah. Oleh karena itu, orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen mereka sebenarnya sangat sederhana. Ali, Muawiyah dan pendukungnya semuanya kafir karena mereka adalah “murtakib al Kabirah” atau orang-orang yang bersalah.
Teologi Islam (ilmu kalam) sebenarnya merupakan disiplin ilmu mandiri yang tidak ada pada zaman Nabi atau para sahabatnya. Namun, hanya ketika banyak orang berbicara tentang medan tak kasat mata (metafisika). Munculnya permasalahan teologis ini disebabkan oleh banyak faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal yang berasal dari umat Islam itu sendiri (Nasution, 1986: 6).
Dalam perkembangan selanjutnya, Khawarij tidak hanya menganggap orang yang tidak menghukum apapun dengan Al-Quran sebagai kafir, tetapi juga setiap Muslim yang melakukan kejahatan berat bagi mereka adalah kafir.
Pandangan ini ditentang keras oleh umat Islam lainnya, sehingga muncul sekte baru bernama Murji’ah. Menurut pandangan mazhab ini, seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah seorang yang sesat, ia tetap seorang yang beriman. Besarnya dosa yang dia lakukan tergantung pada Allah, apakah diampuni atau tidak.
Setelah itu, lahir lagi sekte baru, yaitu Mu’tazilah, yang meyakini bahwa umat Islam yang berduka atas dosa-dosanya bukanlah mukmin atau kafir, melainkan menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).
Pada abad kedua Masehi, filsafat dan pemikiran rasional Yunani memasuki dunia Islam, yang berdampak signifikan terhadap perkembangan pemikiran teologis Muslim (Rozak dan Rosihon, 2006: 14).
Mu’tazilah menempatkan rasionalitas pada posisi yang tinggi, sehingga banyak produk pemikiran mereka yang tidak sesuai dengan pandangan kaum tradisionalis, sehingga mengembangkan pemikiran mereka secara rasional.
Ketika Al-Ma’mun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah, menetapkan Mu’tazilah sebagai sekolah resmi dan memaksakan pemahaman Mu’tazilah pada umat Islam. Sebagai pendukung dan pendukung mazhab Al-Ma’mun Mu’tazilah Khalifah, perlu diajarkan kelompok ahli hadis karena mereka bertekad untuk membela Al-Qur’an tidak “diciptakan” (makhluq), justru semakin merajalela, terutama di Bagdad.
Berbagai gejolak sosial di Bagdad antara para ahli hadis dan kaum Syiah tak pelak mengganggu keamanan ibu kota. Sebagai seorang khalifah yang mencari dukungan Syiah, tidak mengherankan jika ia menunjukkan sikap bermusuhan terhadap para ahli hadis (Hanafi, 2003: 1).
Sebagai topik yang kontroversial, Al-Qur’an mungkin lebih merupakan alasan yang dibuat untuk melawan para ahli hadis. Di sisi lain, para ahli hadis yang awalnya banyak kesulitan dengan mihnah kini menjadi sorotan, meski bukan berarti mereka menggantikan lawan-lawan berpengaruh mereka sebelumnya.
Reaksi keras kaum tradisionalis terhadap Mu’tazilah akhirnya diwujudkan dalam bentuk aliran teologi Ahlussunnah waljamaah, yang tokoh utamanya adalah Abu al Hasan Ali al Asy’ari dan Abu Mansur al Maaturidi.
Selain beberapa sekte tersebut di atas, Islam juga memiliki seminari lain, seperti Syiah, Qadariyah, dan Jabariyah. Sekte Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah adalah aliran yang berkembang di masa lalu.
Saat ini, sebagian besar umat Islam menganut aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menekankan pemahaman moderat tentang Murji’ah dalam masalah iman.
Namun, pemikiran rasional Eropa yang bersumber dari Islam pada abad ke-12 kembali memasuki dunia Islam abad ke-19 dan ke-20, menghidupkan kembali pemikiran rasional mazhab Mu’tazilah masa lalu. Pada saat yang sama, kaum Syi’ah masih bersikeras pada Mu’tazilah yang rasional dan filosofis sejak awal.
Sumber:
Nasition, Harun, (1986) Teologi Islam: Aliran-Aliran/ Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press.
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, (2006), Ilmu Kalan, Bandung: Pustaka Setia.
A. Hanafi, (2003), Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Pustaka Alhusna Baru.