Belakangan ini, kata ‘fundamentalisme’ kerap kali digunakan untuk menyasar praktik-praktik Muslim yang cenderung kaku, keras, agresif, dan tekstual dalam memahami Islam. ‘Fundamentalisme Islam’, begitu mayoritas masyarakat menyebutnya, adalah sebuah gerakan yang berupaya mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan apa yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan sahabatnya.
Namun demikian, kata ‘fundamentalisme’ sendiri sebenarnya tidak memiliki relevansi sejarah di dalam tradisi Islam. Sebaliknya, kata ini justru dimunculkan pertama kali dari kalangan orang-orang Protestan konservatif awal abad ke-20 sebagai respon terhadap menguatnya liberalisme dan modernisme Barat pada waktu itu.
Apa yang membuat ‘fundamentalisme’ erat dengan Islam tidak lain adalah karena kata itu sendiri bersifat multivokal, sehingga, ia dapat dilepaskan dari konteks aslinya. Argumen ini turut diperkuat oleh Malise Ruthven dalam ‘Fundamentalism: The Search For Meaning’ (Oxford, 2005).
Ruthven menyebut bahwa sangat sulit melepaskan kata ‘fundamentalisme’ dari fenomena pergumulan antara Protestan konservatif dan liberal-modernis Amerika, namun demikian, kata itu bermakna universal dalam artian mengembalikan hal-hal dasar dan prinsipil. Alhasil, ia dapat merembesei berbagai fenomena di luar sejarahnya kemunculannya. Dengan kata lain, selama fenomena kebangkitan agama terus bermunculan dengan respon apapun, maka hal-hal tersebut dapat dikategorisasikan sebagai ‘fundamentalisme’.
Akan tetapi, penyematan kata ‘fundamentalisme’ dalam Islam itu tetap saja sulit untuk diterima. Sebab, ‘fundamentalisme Islam’ itu bermakna abu-abu dan gagal menemukan relevansinya di dalam gerakan Islam, mulai dari yang paling militan sampai yang paling halus dan menolak politik sekalipun.
Jika fundamentalisme Islam diartikan sebagai gerakan Islam yang menghendaki kembalinya seluruh ajaran Islam sebagaimana pernah ada di era keemasannya, maka itu adalah ‘salafisme’, bukan ‘fundamentalisme’. Sebaliknya, jika yang disasar adalah kelompok Islam yang agresif, mengamini kekerasan dan aksi-aksi teror sebagaimana jamak diyakini saat ini, maka itu bukan ‘fundamentalisme’, melainkan ‘esktrimisme’.
Asal-usul kata ‘fundamentalisme’ tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang bermula pada suatu siang, Agustus 1909, di sebuah gereja Evangelis-Protestant yang terletak di timur California, Los Angeles, ketika seorang pastor bernama A.C Dixon menyeru umat Protestan tentang pentingnya posisi Alkitab di dalam kehidupan mereka. Salah satu orang yang hadir dan mendengar khutbah Dixon adalah Lyman Stewart, seorang Protestan taat yang juga sukses dalam bisnis minyaknya.
Mendengar kata-kata Dixon, Stewart merasa terpanggil dalam misi tersebut. Alhasil, bersama Milton yang merupakan saudara dan rekan bisnisnya, pada tahun 1910, keduanya menginisiasi sebuah program gratis 5 tahun untuk mensponsori seluruh kegiatan penceramah, missionaris, profesor teologi, mahasiswa, Sekolah Mingguan, hingga para penerbit jurnal-jurnal keagamaan di seluruh dunia.
Hasilnya adalah traktat 12 jilid berjudul “The Fundamentals: A Testimony of Truth”, dipublikasikan pertama kali pada tahun 1915. Karya ini dieditori oleh A.C Dixon secara langsung. Tahun 1917, lewat The Bible Institute of Los Angeles, The Fundamentals kembali diterbitkan, namun kali ini isinya lebih dipadatkan dan hanya berkisar empat jilid
Karya dengan tebal lebih dari 1000 halaman itu berisi tulisan-tulisan para konservatif ternama dari seluruh dunia yang ditujukan untuk menghentikan erosi keimanan (faith erotion) yang ditengarai muncul lewat pengaruh liberalisme dan modernisme Barat pada saat itu.
Sehingga, fokus utama The Fundamentals di antaranya: (1) doktrin ketidakbersalahan Alkitab (Biblical Innerancy); (2) penciptaan langsung alam semesta, manusia dari ketiadaan oleh Tuhan (ex-nihilo by God) sebagai respon tandingan atas Teori Evolusi Darwinian; (3) orisinilitas mukjizat; (4) keperawanan Maria atas kelahiran Yesus; serta (5) peristiwa penyaliban Yesus dan kedatangannya kembali (The Second Coming) untuk mengadili umat manusia.
Tahun 1920, kata ‘ist’ sebagai imbuhan dari kata ‘fundamental’ menjadi ‘fundamentalis’ ditambahkan oleh Curtis Lee Laws, seorang pastor yang juga menjadi salah satu editor karya tersebut. “Fundamentalis,” kata Laws, “adalah orang-orang yang siap untuk bertarung di bawah panji-panji The Fundamentals.”
Salah satu kritik penting di dalam traktat ini adalah Higher Criticism of Bible. Terminologi ini pertama kali dimunculkan kelompok intelektual Jerman abad 19 yang ingin menantang pemahaman tekstual terhadap Alkitab dengan menekankan pada aspek kritik sejarah. Melalui Higher Criticism, kalangan intelektual Jerman ingin menguji orisinilitas Alkitab dengan tidak melibatkan spiritualitasnya; melainkan mendekatinya melalui variabel-variabel lain seperti pengarang, kebudayaa dan dokumen-dokumen yang muncul sezamannya.
Bagi para fundamentalis, hal yang demikian dapat mereduksi sakralitas Alkitab sebagai kitab suci. Alhasil di kalangan fundamentalis, Higher Criticism disebut-sebut sebagai produk sekuler, bahkan di titik yang paling ekstrem, mereka mengutuk praktik-praktik tersebut
Akan tetapi, kehadiran The Fundamentals juga tidak bisa dipisahkan dari kontestasi bisnis yang terjadi saat itu. Dengan menggunakan motif teologis, proyek The Fundamentals di sisi lain sebenarnya menjadi alasan utama bagi Stewart bersaudara untuk memenangkan pasar dan menghindari monopoli minyak yang dilakukan oleh lawan tangguhnya, John D. Rockefeller yang juga seorang pebisnis minyak ternama di Amerika sekaligus pendiri Chicago Divinity Schols.
Alhasil, melalui The Fundamentals, Stewart bersaudara menuduh Rockefeller sebagai dalang utama penyebar virus liberalisme yang, bagi para fundamentalis, merupakan musuh utama bagi orang-orang Protestan. Artinya, kemurnian The Fundamentals hanya muncul ketika awal-awal perumusannya, namun setelah itu justru dijadikan sebagai alat untuk melindungi kekuasaan dengan motif politik dan ekonomi tertentu.
Kata fundamentalisme dalam Islam
Sejauh yang bisa dilacak, penggunaan kata ‘fundamentalisme’ pertama kali muncul di dalam dunia Islam pada 1937 oleh Sir Reader Bullard, seorang Diplomat Inggris yang bertugas di Jeddah, Arab Saudi, melalui surat yang ditulisnya kepada Raja Abdul Aziz Ibn Saud. Di dalam surat tersebut, Bullard menyebut Ibn Saud sebagai fundamentalis karena melarang perempuan untuk bercampur dengan laki-laki sebab hal tersebut dilarang dalam Islam.
Sebaliknya bagi Bullard, pelarangan tersebut dapat menyebabkan kemunduran bagi Islam, khususnya Arab Saudi. Artinya, penyematan kata ‘fundamentalisme’ dalam Islam itu lahir sebagai bentuk kritik atas Islam yang dinilai cenderung kaku dalam merespon perubahan zaman.
Dalam pandangan lain, kata ‘fundamentalisme dalam Islam justru pertama kali dikenalkan oleh H.A.R Gibb dalam salah satu magna opusnya yang berjudul Muhammedanism (Oxford, 1962). Di dalam karya itu, Gibb menemukan relevansi ‘fundamentalisme’ di dalam Islam melalui hubungan antara Jamaludin al-Afghani, seorang pendiri pan-Islamisme, dan Ibn Saud yang keduanya sama-sama memperlihatkan sikap defensif terhadap modernitas.
Namun saya kira, Gibb sendiri terlalu cepat menggeneralisir model gerakan kedua tokoh tersebut ke dalam satu kategori yang sama namun faktanya, justru dapat berbeda dalam motif dan tindakan. Sebab dalam mengembalikan Islam pada orisinilitasnya, Afghani sendiri melihat perlunya reformasi di dalam Islam melalui politik; sedang Ibn Saud justru menolaknya, dan murni ingin mengembalikan Islam sebagaimana tampaknya di abad ke 7 ketika nabi Muhammad masih hidup.
Pendek kata, ‘fundamentalisme’ itu tidak memiliki relevansi apa-apa di dalam Islam, selain merupakan terminologi yang diciptakan oleh orientalis untuk membuat distingsi tertentu terhadap gerakan-gerakan Islam.
Itu sebabnya Fazlur Rahman, di dalam Revival and Reform in Islam (Oneworld Publication, 1999), memilih mendefinisikan gerakan-gerakan islam semacam ini sebagai ‘Revivalisme Islam’, ketimbang ‘fundamentalisme Islam’.
Kata ‘revivalisme’ bagi Rahman sendiri dianggap lebih mampu mewakili gerakan Islam lantaran pertama, ia tumbuh bersama dengan terbentuknya Salafisme awal di bawah bayang-bayang ajaran Ibn Taimiyah dan dibesarkan dalam tradisi madzhab Hambali yang cenderung keras dan tekstual; sedang kedua, gerakan ini merupakan representasi sisa-sisa ketegangan antara Islam ortodoks dan sufisme di akhir abad pertengahan.
Artinya, lewat kata ‘revival’, kita dapat dengan jernih menggambarkan bahwa ternyata, gerakan-gerakan Islam itu didasari oleh motif, tindakan dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda dari fundamentalis di Eropa.
Beyond Islam: kata fundamentalisme di abad 21
Pada kenyataanya, di awal abad 21, kata fundamentalisme justru lebih dekat ke Islam. Hal tersebut dipicu setidaknya oleh dua peristiwa besar. Pertama adalah tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat (9/11 tragedy) ketika dua pesawat menabrak gedung WTC; sedangkan yang kedua, yakni peristiwa pengeboman yang terjadi di salah satu stasiun bawah tanah di Inggris pada tanggal 7 Juli 2005 (7/7 Underground Bombing).
Dua fenomena ini sontak mengubah citra Islam menjadi buruk. Sebagian besar dari mereka bahkan menyebut bahwa dua tragedi tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proyek besar yang sedang digaungkan oleh para fundamentalis Muslim.
Padahal, jika ditilik lebih dalam, sebenarnya aksi-aksi teror atas nama Islam itu kurang cocok disebut sebagai proyek para ‘fundamentalis’. Memang, di satu sisi, pengaruh imperialisme Barat terhadap dekadensi yang terjadi di dalam dunia Islam menjadi fakta yang tak terbantahkan. Namun demikian, di sisi yang lain, menggunakan terminologi ‘fundamentalisme Islam’ juga tidak bisa diterima. Sebab, sepanjang peradaban Islam, mulai dari yang paling halus sampai kaku sekalipun, terorisme bukanlah sebuah ajaran yang datang dari Islam.
Lebih dari itu, aksi-aksi teror atau perusakan atas nama Islam tidak pernah ditemukan dalam dua korpus besar Islam yakni al-Quran dan Hadist. Alih-alih menyebutnya sebagai ‘fundamentalisme’; fenomena ini lebih cocok disebut sebagai ‘ekstremisme atas nama Islam’.
Lebih dari itu, kata ‘fundamentalisme’ bahkan bisa melompat lebih jauh keluar dari konteks monteisme agama-agama Ibrahim. Hal tersebut disebabkan karena kata ‘fundamentalisme’ bersifat multivokal, sehingga dapat dengan sesuka hati dicabut dari konteks aslinya, lalu dipasangkan ke dalam fenomena kebangkitan agama-agama lain asal masih memiliki kesamaan dalam artian mempertahankan prinsip dasariahnya.
Kita bisa melihat contohnya terjadi dalam kasus penguasaan Kuil Emas di Amritsar, Punjab, India, oleh para Sikhis (orang-orang beragama Sikh); penghancuran Masjid Babri di Ayodhya, di bagian tenggara Delhi, sekelompok umat Hindu pada tahun 1992; penyiksaan Muslim oleh para Buddhis di Myanmar; hingga konflik Zionis Yahudi di Palestina yang tak kunjung selesai. Apa yang dapat ditangkap dari seluruh fenomen ini, tidak lain adalah fundamentalisme keagamaan.
Satu hal yang muncul dari peristiwa-peristiwa ini, setidaknya menyiratkan kepada kita bahwa kata ‘fundamentalisme’ itu multivokal. Ia tidak hanya bisa digunakan dalam Islam, namun juga dapat menggeneralisir seluruh gerakan-gerakan keagamaan yang memiliki intensi untuk melakukan aksi-aksi teror dan kekerasan.
Lebih dari itu, kata ‘fundamentalisme’ itu dapat menjadi semacam kategorisasi untuk membedakan siapa ‘yang menerima modernitas’ dan ‘siapa yang menolaknya’. Bagi umat beragama yang kukuh dengan orisinilitas agamanya, ‘fundamentalisme’ dapat menjadi sebuah upaya defensif untuk melindung keyakinan mereka dari gempuran modernitas. Sedang di sisi yang berseberangan, kata ini dapat diartikan sebagai momok bagi liberalis-modernis untuk menyebut bahwa umat beragama primitif dan terbelakang lantaran menolak pembaharuan zaman.