Sejarah Awal Penetapan Tahun Baru dalam Islam – Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Baari (7/268) menyebutkan secara detail runutan sejarah lahirnya tahun Hijriyah, yang kemudian disebut sebagai penanggalan tahuh Islam.
Setelah 2 tahun setengah menjabat sebagai khalifah meneruskan Abu Bakar, tepatnya pada tahun ke-17 Hijrah, sayyidina Umar bin Khattab mendapat kiriman surat dari salah satu gubernurnya yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Sahabat Abu Musa mengadu karena kebingungan, alasannya banyak surat Sayyidina Umar yang datang ke dirinya tapi tidak ada tanggalnya.
Banyak surat masuk yang ditersimpan di rak administrasi gubernur. Abu Musa saat itu bingung untuk menentukan mana surat baru dan surat lama, mana perintah terbaru dan man perintah sudah using. Karena itu ia menyarankan kepada Khalifah Umar untuk membuat sebuah penanggalan agar tidak terjadi lagi kebingungan di antara gubernur-gubernurnya.
Mendapat aduan dan tersebut, akhirnya Sayydina Umar memanggil semua staf dan orang pentingnya. Pertemuan ini untuk merumuskan dan memformulasikan sebuah penanggalan agar tidak lagi ada yang kebingungan. Selain itu, penanggalan juga akan sangat membantu kinerja para staf dan gubernur serta masyarakat luas (Ahmad Zarkasih, 2018: 6).
Setelah berdiskusi dan sepakat, bahwa mereka harus memiliki standarisasi penanggalan demi kemaslahatan. Beberapa ada yang berselisih dalam menentukan dasar kapan tahun pertama itu dimulai dalam penanggalan.
Ada yang mengusulkan tahun pertama dimulai di tahun Gajah, yakni masa kelahiran Nabi Saw. Ada juga yang mengusulkan di tahun wafatnya Nabi. Dan tidak sedikit yang mengusulkan di tahun Muhammad diangkat menjadi Rasul saat wahyu pertama turun. Ada pula opsi di tahun hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah.
Dari 4 usulan tersebut, akhirnya Sayyidina Umar memutuskan untuk memuali tahun di tahun hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah. Ini merupakan usulan dan rekomendasi dari sayyidina Utsman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Umar tidak memilih tahun kelahiran dan tahun diangkatnya Nabi menjadi Rasul karena memang ketika itu juga mereka masih berselisih tentang waktu kapan tepatnya Nabi lahir, dan kapan wahyu pertama turun. Sedangkan tahun wafatnya, Sayyidina Umar menolak menjadikannya permulaan tahun karena di tahun tersebut banyak kesedihan.
Akhirnya Khalifah Umar memilih tahun hijrahnya Nabi. Selain karena jelasnya waktu tersebut, hijrah juga dianggap menjadi pembeda antara yang haqq dan yang bathil ketika itu. Hijrah juga menjadi tonggak awal kejayaan umat Islam setelah sebelumnya hanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi.
Oleh sebab itu, kalender atau tahun yang dipakai umat Islam ini dinamakan kalender Hijriyah, karena yang menjadi acuan awalnya ialah Hijrahnya Nabi Muhammad saw.
Padahal sejatinya orang-orang Arab terdahulu menamakannya at-Taqwim al-Qamari (Kalender Bulan). Dinamakan Qamar (bulan) sebab hitungan harinya berdasarkan putaran bulan. Metode kalender ini sudah dilakukan oleh para bangsa Arab sejak ratusan dekade (Ahmad Zarkasih, 2018: 7-8).
Dengan demikian, mengenai dasar sejarah permulaan tahun baru Islam adalah berdasarkan waktu hijrahnya Rasulullah dari mekkah ke Madinah. Meski ada yang tidak setuju dengan dasar penetapan tersebut, yang jelas momentum hijrah sangat berarti bagi tonggak peradaban Islam.
Setelah bersepakat bahwa dasar awal tahun hijriyah terhitung sejak tahun Nabi Hijrah, perdebatan kembali memanas tentang bulan apakah yang menjadi awal bulan-bulan hijriyah ini.
Sebagian ada yang menawarkan bulan Rabiul Awwal sebagai bulan pertama tahun Hijriyah. Usulan ini karena bulan itu ialah bulan Hijrahnya Rasul. Akan tetapi, Sayyidina Umar justru memilih bulan Muharram untuk jadi bulan pertama pada susunan tahun Hijriyah.
Selain karena rekomendasi Sayyidina Utsman, Khalifah Umar memilih Muharram dengan alasan bahwa hijrah walaupun terjadi di bulan Rabiul Awwal, namun muqadimah (permulaan) Hijrah terjadi sejak di bulan Muharram.
Umar juga mengatakan bahwa wacana hijrah itu muncul setelah beberapa sahabat berbaiat kepada Nabi. Baiat itu terjadi di penghujung bulan Dzulhijjah. Melalui semangat baiat itulah yang mengantarkan kaum muslim untuk berhijrah.
Secara hitungan dan urutan, bulan yang muncul setelah Dzulhijjah ialah bulan Muharram. Oleh karena itu, Sayyidina Umar memilih Muharram sebagai bulan pertama di tahun Hijriyah.
Yang perlu diketahui bahwa memang nama-nama bulan pada kalender Hijriyah itu bukanlah wahyu yang turun kepada umat Islam. Justru nama-nama itu telah ada sebelumnya dan digunakan berabad-abad lamanya oleh bangsa Arab.
Jadi, orang-orang sebelum Nabi Muhammad lahir sudah mengenal nama Rabiul Awwal dan juga Rabiul Tsani (akhirah), Rajab, serta Dzulhijjah. Pada initinya, nama-nama bulan ini telah ada serta digunakan oleh orang Jahiliyah, sehingga bukan hanya khusus orang Islam saja.
Bangsa Arab kuno terbiasa menggunakan rotasi Bulan sebagai media untuk menentukan waktu. Karena itu penanggalan mereka disebut dengan al-Taqwim al-Qamari (kalender Bulan). Walaupun ada beberapa suku, khususnya di selatan Jazirah Arab (Yaman) yang menggunakan matahari sebagai media menentukan hari.
Adapun nama-nama bulan, mereka memberi nama sesuai dengan keadaan alam atau keadaan sosiologi dan budaya pada bulan-bulan pada masa itu. Hanya saja, bangsa Arab juga punya kelas yang berbeda (suku). Hal ini membuat mereka berbeda pula dalam kebiasaan dan adat dari setiap masing-masing suku. Oleh karenanya, kendati menggunakan perhitungan yang sama, yaitu memakai bulan, tapi mereka berbeda-beda dalam memberikan nama bulannya.
Barulah ketika tahun 412 Masehi terjadi konvensi para petinggi-petinggi dari lintas suku dan kabilah bangsa Arab di Mekkah di masa Kilab bin Marrah (kakek Nabi Muhammad ke-6). Konvensi ini diadakan untuk menentukan dan menyatukan nama-nama bulan agar terjadi kesamaan, serta memudahkan mereka dalam perdagangan (Ahmad Zarkasih, 2018: 8-9).
Para penulis sejarah sepakat bahwa permulaan Muharram sebagai awal tahun hijriyah, diambil dari hijrah Nabi dengan mengundurkan waktunya sekitar dua bulan. Sehingga 1 Muharram tahun pertama Hijriyah berpepatan atau jatuh pada hari Jum’at 16 Tammuz 933 Seleucis (16 Juli 622).
Jika ada pertanyaan, mengapa tahun baru Hijriyah tidak ditetapkan pada masa Abu Bakar? Hal ini terjadi karena pada masa kekhalifahan Abu Bakar, umat Islam sedang sibuk-sibuknya melakukan konsolidasi internal. Hal ini disebabkan situasi setelah Nabi wafat banyak umat islam yang tidak mau lagi bersatu.
Tidak sedikit yang membangkang perintah Nabi, termasuk kelompok inkar (menolak bayar) zakat. Bahkan, banyak yang memproklamirkan menjadi seorang nabi (palsu). Dengan kondisi demikian, Khalifah Abu Bakar sibuk memerangi umat Islam yang membangkang tersebut dan merongrong isi kandungan Qur’an serta mendegradasikan sunah Nabi.
Dengan kata lain, tugas utama Abu Bakar adalah menyatukan kembali umat islam yang telah terpecah belah yang semula terbentuk ketika Nabi masih hidup. Setelah konsolidasi terbentuk, pada masa Umar bisa dikatakan, kondisi sosial-ekonomi dan politik umat cukup stabil. Kemudian baru dipikirkan hal-hal yang menyangkut sosio-historis, salah satunya program penetapan tahun Hijriyah bagi komunitas umat Islam tersebut (Sholikhin, 2012: 32-33).
Demikain sejarah tentang sejarah tahun baru Islam yang ditetapkap pada masa kekhalifan Umar bin Khattab, sehingga sekarang menjadi rujukan umat Islam sedunia. Wallahu a’lam. (M. Zidni Nafi’)