Penafsiran ulang atas kata ‘salaf’ akhir-akhir ini marak diakukan oleh kalangan ulama, khususnya mereka yang mendaku berpaham Sunni. Kata salaf, sebenarnya identik dengan sebutan khusus untuk kaum muslim yang hidup sezaman atau di zaman yang masih dekat dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Penggunaan kata salaf ini bisa ditemui dalam beberapa konteks. Dalam tradisi yang biasa dilakukan secara turun-temurun, misalnya, seorang penulis biasanya mengatakan: “bentuk karya dengan susunan seperti inilah yang sebagaimana ditulis oleh ulama salaf.”
Contoh yang lain misalnya, kebiasaan melaksanakan shalat Tarawih adalah kebiasaan para salaf al-shalih. Kebiasaan tersebut kita ketahui dari proses transmisi riwayat secara turun-temurun dari para sahabat ketika mengetahui Nabi sering beribadah di masjid setelah shalat Isya.
Selain itu, penyifatan sebuah perbuatan, karya, ide ataupun yang lain, jika dilekatkan kata ‘salaf’ setelahnya, maka akan memberikan kesan menjadi sebuah keutamaan. Karena dekat dengan Nabi, dekat dengan masa pewahyuan, dan dekat dengan hal-hal yang dianggap baik.
Banyak hal lain yang bisa kita simak dari hasil transmisi riwayat bahwa para sahabat, tabi’in, dan tabi’i tabi’in memiliki tindakan yang bernilai keutamaan.
Di mata seorang ulama Sunni sekaligus anggota dewan ulama senior al-Azhar, Syeikh Abdul Fadhil al-Qushy mengatakan, tradisi yang dimiliki salaf tersebut bukan hanya sekedar sesuatu yang ditiru dan diulang di kemudian hari.
Karena, bagi Syeikh Fadhil, para salaf ini sejatinya selain sependapat dalam beberapa hal juga berbeda pendapat dalam beberapa hal. Mereka saling mengkritik perkataan satu sama lain, saling mengomentari pendapat satu sama lain.
Selain itu, mereka juga mempunyai tradisi komentar, kritik bahkan perbedaan yang mencolok. Maka, apa yang kita terima dari tiga generasi pertama Islam harus melalui proses telaah ulang.
Apa yang mereka tinggalkan pada kita, tidak semuanya mengandung nilai positif. Terlebih yang menyangkut cara mereka mengambil keputusan, pertikaian antar sekte, cara khas dalam memimpin dan serangkaian kejadian lainnya.
Nabi dan Tradisi Baiat
Salah satu peninggalan salaf adalah tradisi “Baiat”. Baiat adalah tindakan yang diambil oleh para sahabat ketika mengangkat seorang pemimpin. Baiat terjadi secara turun-temurun sejak Nabi Muhammad Saw. wafat, untuk mengangkat pemimpin pengganti Nabi.
Baiat secara epistemologi—merujuk kitab Tuhfah al-Murid ala Jauhara al-Tauhid (1277 H), tidak ada definisi secara epistemologi dari Nabi tentang baiat. Tapi, praktik baiat telah dilakukan Nabi di masa itu.
Bait ke-78 dalam kitab tersebut berbunyi: fa ahlu badrin al-‘adzim al-sya’ni, fa ahlu uhudi fabai’atu al-Ridwâni, yang artinya: para sahabat yang mengikuti perang Badar dan perang Uhud memiliki kedudukan yang agung. Begitu juga para sahabat yang mengikuti Baiat Ridwan (juga memiliki kedudukan yang agung).
Baiat Ridwan inilah merupakan baiat yang dilakukan oleh para sahabat dengan Nabi ketika hendak melakukan Umrah. Di baiat inilah para sahabat berjanji untuk setia kepada Nabi dan ajarannya, setia dengan kesabaran yang akan menimpa Nabi dan sahabat ketika nanti dilanda peperangan.
Jika kita merujuk Tarikh al-Thabari dan al-Kamil fi al-Tarikh—sebagai kitab referensi di bidang sejarah yang bisa dibilang otoritatif, maka kita tidak akan menemukan pengertian baiat secara epistemologis.
Ringkasnya, umat mengadopsi tradisi baiat ini secara begitu saja dari Nabi Saw. dan para sahabat. Bahkan, teks sejarah yang mencantumkan kejadian-kejadian baiat, tidak menyebutkan bahwa tradisi tersebut harus dilestarikan oleh umat Islam. Dari sini, pelaksanaan baiat masih terbuka reinterpretasinya dari dahulu sampai sekarang.
Dalam menguraikan konsep baiat di masa sahabat, tulisan ini menggunakan studi teks komparatif dari kitab-kitab klasik. Sedangkan dalam menguraikan tradisi baiat di masa kini, tulisan ini merujuk jurnal-jurnal terkini yang diterbitkan oleh beberapa lembaga asing.
Adapun tradisi baiat yang dipraktikkan kembali di era sekarang, penulis mengambil contoh dari pelaksanaan baiat oleh kelompok ISIS.
Praktik Tradisi Baiat Pada Masa Sahabat
Setelah prosesi baiat Ridwan, tradisi baiat masih dipraktikkan oleh para sahabat. Peristiwa yang masih menggunakan sistem baiat setelah baiat Ridwan yaitu, pengangkatan khalifah pengganti Nabi Saw.
Dalam Tarikh al-Thabari (310 H), disebutkan bahwa pada hari Nabi wafat, sahabat dari kalangan Anshar sudah berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk membaiat Sa’d bin Abi Ubadah.
Akan tetapi, Abu Bakar kemudian menyusul ke Saqifah dan membatalkan proses pembaiatan Sa’d dengan alasan bahwa Abu Bakar hanya rela membaiat salah satu di antara dua sahabat, yaitu Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah.
Pernyataan tersebut lalu disangkal oleh Umar bin Khattab, dengan alasan bahwa ada sahabat yang memiliki keutamaan yang lebih disebabkan kebersamaannya dengan Nabi SAW, yaitu Ali bin Abi Thalib.
Di Tarikh al-Thabari ini, berbaga riwayat menceritakan bahwa Abu Bakar sendiri pada awalnya menolak untuk dijadikan khalifah. Bahkan, Abu Bakar menunjuk para sahabat lain seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Sa’d bin Abi Ubadah.
Hanya saja, karena desakan Umar kepada Abu Bakar, akhirnya Abu Bakar bersedia dibaiat menjadi khalifah. Adapun peristiwa pembaiatan pada awalnya terjadi di Saqifah Bani Saidah, kemudian Abu Bakar dibaiat lagi di tempat lain di luar Saqifah Bani Saidah pada hari Selasa. Begitu keterangan yang ada di kitab Muruj al-Dzahab.
Masih dalam Tarikh al-Thabari, ada riwayat yang mengatakan bahwa ketika Nabi Saw. wafat, Abu Bakar sedang ada urusan di luar Makkah dan Madinah. Sehingga tiga hari kemudian ia baru sampai di Madinah.
Dari riwayat ini, bisa diambil pemahaman bahwa ketika Nabi wafat, Abu Bakar tidak langsung ditunjuk oleh para sahabat, dikarenakan dirinya berada di luar Madinah. Dalam Tarikh al-Thabari ini terjadi pertentangan riwayat, apakah Abu Bakar dibaiat pada hari Senin bersamaan dengan hari saat Nabi wafat atau tiga hari setelahnya.
Dari kitab Tarikh al-Thabari ini, belum ditemukan riwayat yang memaparkan bagaimana proses baiat itu harus terjadi beserta teknisinya. Bahkan, untuk pembaiatan Abu Bakar sendiri terjadi dua kali; yang pertama di Saqifah Bani Saidah dan yang kedua di tempat lain (yang tidak disebutkan detailnya).
Di kitab lain, Muruj al-Dzahab karangan Abi Hasan al-Mas’udi (346 H), disebutkan bahwa pada saat peristiwa pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah, di forum tersebut ada Sa’d bin Abi Ubadah, namun ia tidak di baiat. Setelah peristiwa ini, Sa’d pergi ke Syam kemudian wafat di sana pada tahun ke 15 H.
Sedangkan di kitab al-Kamil fi al-Tarikh (630 H), disebutkan sebuah riwayat bahwa Amr bin Haris bertanya kepada Said bin Zaid: “Kapan Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah? Yaitu pada hari wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Lalu al-Zuhri berkata: “Tersisa Ali dari Bani Hasyim dan Zubair sampai enam bulan berlalu mereka belum membaiat Abu Bakar sampai Fatimah Ra. wafat, baru mereka membaiat Abu Bakar.
Riwayat ini terbilang aneh, bagaimana mungkin Sayyidina Ali dan Bani Hasyim tidak ikut membaiat Abu Bakar sedangkan sebelum dibaiat, Abu Bakar justru mencalonkan Sayyidina Ali sebagai khalifah.
Ibnu al-Atsir dalam catatan kaki al-Kamil fi al-Tarikh menyebutkan bahwa tradisi khilafah ini tidak disabdakan secara langsung oleh Nabi SAW. Tradisi khilafah inilah yang dalam praktiknya secara turun temurun erat kaitannya dengan tradisi baiat.
Setelah pembaiatan Abu Bakar, peristiwa baiat yang penting dalam sejarah adalah pengangkatan Hasan bin Ali menjadi khalifah menggantikan Ali bin Abi Thalib.
Ketika Sayyidina Ali wafat, para sahabat berkumpul untuk membaiat Hasan. Adapun orang pertama yang membaiat dirinya adalah Qais bin Said. Kemudian Hasan mensyaratkan jamaah yang hadir di peristiwa pembaiatan itu untuk menyetujui persyaratan berupa taat dan menerima apa saja yang diperintahkan oleh dirinya selaku khalifah. Mereka pun menyetujuinya.
Singkat cerita, setelah prosesi pembaiatan ini, Muawiyah bin Abu Sufyan meracuni Hasan bersama istrinya yang sedang berada di Madinah. Kemudian Sa’d Abi Waqqash membaiat Muawiyah. Pembaiatan ini disepakati oleh mayoritas jamaah. Maka dari itu, tahun pembaiatan Muawiyah menjadi khalifah dinamakan tahun Jama’ah.
Menurut Ibnu Khaldun, Muawiyah masuk dalam kategori hadis Nabi Saw. yang berbunyi, “kekhalifahan setelahku berlangsung tiga puluh tahun”.
Akan tetapi, para sejarawan mengakhirkan Muawiyah untuk masuk kategori tiga puluh tahun tersebut, tidak hanya karena urutan kepemimpinan, tapi karena Muawiyah adalah satu-satunya pemimpin yang berdiri atas dasar fanatisme kesukuan. Menurut Ibnu Khaldun juga, Muawiyah berbeda klan dengan para khalifah empat terdahulu.
Dari berbagai riwayat tentang pembaiatan Abu Bakar, Hasan bin Ali, dan Muawiyah bin Abu Sufyan, tidak ditemukan metode khusus dalam pembaiatan pemimpin dengan pengikutnya secara khusus dari Rasulullah Saw.
Dari beberapa riwayat di atas, terbukti bahwa praktik baiat tidak lebih hanyalah tradisi bangsa Arab waktu itu untuk mengangkat seorang pemimpin. Adapun keabsahan tradisi baiat, tidak tertera di dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi secara jelas.
Setelah kekhalifahan Muawiyah runtuh, sistem kepemimpinan bangsa Arab berganti menjadi sistem dinasti; dinasti Abbasiyah, Fathimiyah, dan beberapa dinasti kecil lainnya yang tersebar di semenanjung Timur Tengah.
Kelompok ISIS dan Praktik Baiat
Sudah sekian lama praktik baiat tidak dipraktikkan dengan dasar tergantikan oleh sistem yang dimiliki oleh setiap negara. Kini tiba-tiba muncul lagi praktik baiat oleh sekelompok yang bernama ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Praktik baiat ini berfungsi untuk mengikrarkan jiwa kesetiaan mereka pada sang pemimpin (ISIS). Pada mulanya, ketika penulis menyepakati bahwa baiat adalah sebuah tradisi, sebenarnya tidak ada hubungan yang rigid antara baiat dan ISIS.
Dalam hal ini, ISIS adalah kelompok muslim dengan ideologi khas yang baru muncul, sedangkan baiat adalah tradisi klasik sejak masa Nabi Saw. yang sudah lama ditinggalkan oleh kaum muslim.
Karena antara baiat dan ISIS pada mulanya tidak ada hubungan dan kaitannya sama sekali, maka, ada kepentingan apa ISIS mengadopsi tradisi baiat?
Tradisi baiat yang diadopsi oleh ISIS salah satunya karena kepentingan ideologis. Dalam kata lain, ideologi khas mereka menjadi materi yang tidak tergugat ketika janji kesetiaan ini sudah terucap oleh para simpatisan.
Adapun kepentingan lain yang mereka tuju yaitu mendapatkan dana finansial lebih untuk kepentingan propaganda. Faktor terakhir, tradisi baiat juga berfungsi untuk memperkuat hubungan antara jaringan ISIS pusat dan kelompok-kelompok militan ISIS yang tersebar di berbagai daerah. Para simpatisan juga tidak akan mudah kabur setelah janji kesetiaan ini terucap.
Sebuah studi kasus yang dilakukan oleh mahasiswa Ph.D Cand. dari Universitas New South Wales Australia, Malik Riduan, mencatat bahwa setiap anggota ISIS yang sudah mengucapkan baiat, mereka sah menjadi bagian anggota dari kelompok.
Selain itu, mereka juga sah menjadi para pejuang Muslim. Namun sayangnya, kesetiaan pada kelompok mendorong mereka untuk melakukan apapun yang diperintahkan oleh pimpinan. Salah satu bentuk kesetiaan mereka terhadap pimpinan adalah, tidak mendebat atasan untuk melakukan aksi teror kepada masyarakat luas.
ISIS punya beberapa afiliasi kecil yang tersebar di berbagai daerah, seperti Al-Qaeda (1988), Taliban (awal tahun 1990), Abu Sayyaf Group (1991), dan Jemaah Islamiyah (1993).
Organisasi induk ISIS butuh komitmen dari organisasi-organisasi kecil di bawah mereka untuk melancarkan propaganda dan ideologinya. Dengan adanya baiat yang diucapkan tiap partisipan, maka ada dua hal sekaligus yang terjamin untuk eksistensi ISIS di era mendatang; ideologi dan finansial.
Di bidang ideologi bisa diamati dari konten isi dakwah dan strategi penyebaran yang masif di kelompok mereka. Sebuah riset studi terorisme dari Universitas Salford (2015) menyebutkan bahwa media sosial merupakan senjata bagi ISIS.
Salah satu teknik penyebarannya adalah dengan menyebarkan materi keislaman yang mereka usung, lalu mengajak para simpatisan media sosial—siapapun itu—untuk menyebarkan ulang konten mereka sebanyak-banyaknya.
Upaya semacam ini tentu bertolak belakang dengan afiliasi keislaman militan lain, yang tidak menyebarkan materi keagamaan secara simpel ke siapapun. Pada akhirnya, organisasi-organisasi militan yang lain pun berupaya membendung tersebarnya ideologi ISIS dengan ikut menyebarkan materi dakwah masing-masing secara luas.
Prof. Noorhaidi Hasan dalam acara bedah buku Salafism and the State secara daring pada September 2021 mengatakan, bahwa perwajahan kelompok ISIS di media sosial yang sekarang semakin menunjukkan wajah yang sebenarnya. Mereka tidak takut lagi anggapan-anggapan yang tidak elok kepada kelompok mereka.
Hal ini cukup masuk akal, mengingat simpatisan ISIS yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang banyak, jadi mereka cukup siaga untuk membendung sekedar anggapan tidak benar atau yang lainnya.
Dari segi finansial, para simpatisan ini menyasar warga asing yang bisa dimanfaatkan finansialnya seperti yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf Group pernah menculik dua warga negara Jerman. Selain beraksi dalam bidang penculikan, kelompok simpatisan ISIS ini juga beraksi di bidang perampokan, jual beli ilegal, dsb.
Pertanyaan selanjutnya, apa hubungan praktik baiat dengan serangkaian agenda politik ISIS?
ISIS butuh komitmen dari setiap simpatisan yang bergabung dengannya. Dengan pelaksanaan prosesi baiat, maka setiap simpatisan terikat penuh dengan pimpinan, sedangkan pihak pimpinan berkuasa penuh atas untuk mengendalikan dan memerintah bawahannya.
Penutup
Propaganda masif yang dilakukan ISIS dengan mengatasnamakan agama dan menggunakan media masa sebagai senjata. Hal ini membuat para agamawan dan akademisi—khususnya—untuk melakukan studi diskursus dan lapangan terhadap kelompok jaringan transnasional ini dengan mendalam.
Praktik baiat yang diterapkan mereka tidak dilakukan secara eksklusif, tapi mereka juga mengajak siapapun itu untuk ikut melaksanakan baiat. Dengan masifnya pergerakan para simpatisan ISIS, selain akademisi dan agamawan—menurut Joseph Franco dan Philip Hotman (2014)—negara juga mendapat ancaman dengan hadirnya konsep kepemimpinan yang diterapkan oleh ISIS.
Meskipun afiliasi militan ISIS masih terbilang baru, tapi kualitas dan kuantitas simpatisan ini patut diperhitungkan. Di sisi lain, dengan hadirnya kelompok ISIS membuktikan bahwa pembaharuan wacana keagamaan lebih dari bahan pembicaraan yang diskursif, tapi juga praktis.