Getir yang ia rasakan atas kekosongan wacana perempuan dalam narasi besar Islam membuat Neng Dara Affiah tergerak menulis disertasi tentang gerakan perempuan. Disertasinya yang berjudul Gerakan Perempuan Muslim Progresif di Indonesia sebagai Gerakan Sosial Baru: Studi Kasus Organisasi-Organisasi di Jawa tahun 1990-2010 menjabarkan gerakan perempuan dengan wacana konstruksionisme dan sedikit pola esensialisme.
Neng Dara adalah seorang sosiolog, peneliti, dan pendidik. Ia tercatat sebagai dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Ia juga pernah menjabat sebagai komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan periode 2007-2009 dan 2010-2014.
Hasil penelitianya menyatakan bahwa gerakan perempuan muslim progresif di era Orde Baru (1990-1998) dan Reformasi (1998-2010), yakni para aktor gerakan di tahun 1998-2010 hampir seluruhnya memiliki ikatan dengan aktor dan organisasi gerakan di tahun 1990-1998. Data ini menunjukkan bahwa wacana dan gerakan kritis yang dibangun sesungguhnya memiliki dampak.
Selanjutnya, ia menemukan bahwa ulama dan sarjana laki-laki memiliki peran sangat penting dan kontribusi signifikan dalam gerakan perempuan muslim di Era Orde Baru dan Reformasi. Neng Dara berharap, disertasinya mampu mengisi kekosongan tentang diskursus perempuan yang kontribusi dalam gerakan dan perubahan sosial.
Di luar disertasinya, ia yang telah menulis empat buku, yakni Muslimah Feminis: Penjelajahan Multi Identitas (2009), Seksualitas dan Demokrasi: Kasus Perdebatan UU Pornografi di Indonesia: Laporan Penelitian (2011), Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas (2017) dan Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (2017) juga memiliki beberapa pemikiran yang wajib disimak.
Islam dan Hak-Hak Perempuan
Neng Dara menyatakan bahwa narasi pusat Islam dan hak-hak perempuan adalah soal dominasi pria dalam narasi agama maupun narasi budaya. Dalam istilah feminisme disebut sebagai ideologi patriarki. Dalam istilah sosiologi kontemporer, Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai kekerasan simbolik. Dalam narasi agama, kekerasan simbolik bagi perempuan merancap kuat sekali.
Misalnya, ajaran tentang kepatuhan istri pada suami di mana suami dinarasikan seperti entitas paling suci kedua setelah Tuhan yang mesti dipatuhi. Padahal, laki-laki sama saja dengan perempuan yakni makhluk Tuhan yang tingkat kesalahannya juga besar tetapi ditempatkan konstruksi agama dan sosial sebagai tokoh yang sangat sempurna sehingga mesti ditakuti oleh pasangannya.
Hal ini tidak adil bagi keduanya, baik perempuan maupun laki-laki. Laki-laki ditempatkan begitu sempurna sedangkan perempuan ditempatkan begitu menghamba. Padahal, laki-laki juga punya kekurangan dalam dirinya sendiri as human being. Ia juga mungkin berhasrat ingin tampil apa adanya. Tapi, narasi agama menuntut laki-laki untuk menjadi tauladan dan karena itulah istrinya mesti patuh.
Kekerasan simbolik pada laki-laki dan perempuan berakibat pada kekerasan fisik dan psikis bagi perempuan. Kekerasan fisik misalnya, di dalam ajaran agama ada teks yang mengarahkan untuk memukul perempuan atau istri atas nama “mendidik”. Pukulan apa pun, ringan atau berat tetaplah pukulan. Pukulan tentu menyakitkan.
Kekerasan psikis lebih banyak terjadi. Misalkan tentang teks-teks poligami. Tidak ada laki-laki dan perempuan yang mau cintanya dibagi. Setiap manusia tentu menginginkan cinta dan kasih sayang yang utuh dari pasangannya.
Nilai-nilai tersebut mungkin masih relevan di zaman dulu, sesuai dengan dinamika masyarakat saat itu. Tapi, nilai-nilai masyarakat akan terus berubah dan sudah semestinya nilai-nilai dan spiritualisme agama harus mengalami perubahan. Agama mesti dipandang dengan cara pandang yang baru, kacamata yang baru, jika tak ingin ditinggalkan oleh masyarakat di mana perubahan pasti terjadi.
Nikah muda atas nama menghindari zina dan hidup di dalam kultur Islami dengan menikah muda dan hidup yang sudah dilegalkan secara akad Islam sedang menjadi tren. Jika ada yang menikah di bawah umur 18 tahun, pernikahan tersebut sebenarnya masuk ke dalam kategori pernikahan anak yang mana dilarang dalam hukum di Indonesia.
Tapi, lantaran ada semacam gairah merujuk pada ajaran Islam, praktik nikah muda pun banyak dilakukan oleh kalangan anak-anak muda. Dalam hasil penelitian Neng Dara, perkawinan muda berdampak pada rentannya perceraian di antara mereka. Sebab, secara psikologis dan biologis usia nikah muda adalah usia yang belum siap untuk menikah.
Perempuan yang menikah muda tidak siap menghadapi pernak-pernik rumah tangga yang tidak mudah. Rumah tangga punya tingkat kerumitan tersendiri. Beradaptasi dengan keluarga pasangan yang sangat berbeda, mengasuh anak, dan lain sebagainya.
Akhirnya, banyak anak muda yang kehilangan masa remaja. Padahal, masa remaja sangat penting sekali bagi perkembangan manusia sehingga saat dewasa dan berumah tangga secara mental telah siap. Salah satu persoalan di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya adalah pernikahan di usia dini bagi perempuan.
Hal ini berdampak pada kehilangan pendidikan, kehilangan masa remaja, mengalami tekanan psikologis sebab harus menghadapi keluarga pasangan dengan latar belakang berbeda dan mesti menghadapi kerumitan-kerumitan di dalam rumah tangga. Menurut Neng Dara, usia ideal menikah bagi perempuan adalah 20 tahun ke atas, sedangkan laki-laki 22 tahun ke atas. Di atas dua usia tersebut, akan lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Ia juga menyatakan bahwua alasan yang membuat sebagian kelompok anak muda melanggengkan nikah muda adalah pertama, kisah tentang Nabi Muhammad Saw. yang menikah dengan Siti Aisyah. Padahal di dalam sejarah, Aisyah r.a. bergaul dengan Rasulullah adalah ketika ia berusia di atas 18 tahun, bukan pada saat ia kanak-kanak.
Mungkin memang pertalian secara legal dilakukan semasa kanak-kanak sedangkan tinggal bersama usia 18 tahun dan Rasulullah usia 40 tahun ke atas. Pada masa Rasulullah, usia tersebut dianggap sudah dewasa. Alasan kedua yakni untuk menghindari zina. Zina bisa dihindari apabila bisa mengendalikan diri terutama pikiran dan hasrat agar tidak bergaul intim dengan lawan jenis.
Neng Dara turut mengigatkan bahwa apabila kita bergaul, tidak harus di dalam suasana di mana waktu berduaan tidak sering terjadi. Hak tersebut bisa dilakukan untuk menghindari zina, tidak mesti dengan menikah.