Pendidikan seks di masyarakat Indonesia masih tergolong sesuatu yang tabu. Hal itu menimbulkan persepsi yang kurang baik oleh sebagian orang terhadap hal-hal yang berbau seks. Tidak jarang, muncullah semacam salah kaprah tentang istilah “seks” dan “seksualitas”.
Salah kaprah tersebut bukanlah sesuatu hal yang sederhana. Tanpa disadari, fenomena demikian itu berdampak pada persepsi, sikap, dan perilaku di tengah-tengah masyarakat. Meski tergolong isu sensitif, namun seks sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu, siapa pun perlu untuk memahami istilah seks dan seksualitas secara baik dan benar.
Berdasarkan kajian dalam buku Fiqh Seksualitas, istilah seks (sex) adalah sebuah konsep tentang pembedaan jenis kelamin manusia berdasarkan faktor-faktor biologis, hormonal, dan patologis. Karena dominannya pengaruh paradigma patriarkhis dan hetero-normativitas dalam masyarakat, secara biologis manusia hanya dibedakan secara kaku ke dalam dua jenis kelamin (seks), yaitu laki-laki (male) dan perempuan (female).
Demikian pula konsep jenis kelamin yang bersifat sosial, manusia juga hanya dibedakan dalam dua jenis kelamin sosial (gender), yakni laki-laki (man) dan perempuan (woman).
Mekanisme budaya, politik, ekonomi, dan bahkan agama telah memaksa masyarakat untuk menerima hanya dua kategori tersebut. Sulit membayangkan kemungkinan adanya alternatif lain dari kategorisasi yang sudah diterima dan dibakukan sejak beribu tahun lalu. Akibatnya, kemungkinan hidup di luar dua kategori tersebut sangatlah kecil, kecuali mungkin dijalani melalui pengucilan sosial dan konflik fisik yang parah.
Secara biologis, manusia dianugerahi Tuhan sejumlah organ biologis. Di antaranya adalah dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar, satu mulut untuk makan dan berbicara, dua tangan untuk bekerja dan beraktivitas, dua kaki untuk berjalan, dan seterusnya.
Kondisi organ-organ biologis tersebut berbeda antara satu manusia dengan manusia yang lain. Setiap manusia memiliki keunikan dan kekhususan, sehingga tidak ada dua manusia yang sama persis, meski keduanya adalah saudara kembar.
Organ seks laki-laki, antara lain, berupa penis dan testis. Sebaliknya, manusia berjenis kelamin perempuan mempunyai vagina, clitoris, dan rahim. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati atau pemberian Tuhan. Tak seorang pun dapat membuat persis dan mengubahnya.
Boleh jadi, dewasa ini akibat kemajuan teknologi, seseorang dimungkinkan mengubah jenis kelaminnya (trans-seksual), tetapi perubahan tersebut sejauh ini tidak mampu menyamai fungsi dan sistem organ-organ biologis manusia yang asli.
Penciptaan manusia dengan organ seks (jenis kelamin) yang berbeda sesungguhnya dimaksudkan supaya manusia dapat saling melengkapi, saling menghormati, dan saling mengasihi satu sama lain sehingga tercipta kehidupan damai dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dalam konteks agama, khususnya Islam, semua bentuk perbedaan dalam diri manusia, seperti warna kulit, ras, bahasa, jenis kelamin biologis dan sosial (gender), orientasi seksual, dan bahkan agama dimaksudkan agar manusia saling mengenal satu sama lain (li ta’ârafû). Kemudian membangun kerjasama dan saling berinteraksi membangun masyarakat beradab yang penuh kedamaian dan keharmonisan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr) (Husein Muhammad, dkk, 2011: 9-10).
Seksualitas adalah sebuah proses sosial-budaya yang mengarahkan hasrat atau berahi manusia. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, agama, dan spiritualitas. Seksualitas merupakan hal positif, berhubungan dengan jati diri seseorang dan juga kejujuran seseorang terhadap dirinya. Sayangnya, masyarakat umumnya masih melihat seksualitas sebagai negatif, bahkan tabu dibicarakan.
Ada perbedaan penting antara seks dan seksualitas. Seks sebagaimana dipaparkan sebelumnya adalah sesuatu yang bersifat biologis dan karenanya seks dianggap sebagai sesuatu yang stabil. Seks biasanya merujuk pada alat kelamin dan tindakan penggunaan alat kelamin itu secara seksual.
Akan tetapi, perbedaan antara keduanya sangat jelas, seks merupakan hal yang given atau terberi. Sebaliknya, seksualitas merupakan konstruksi sosial-budaya. Seksualitas adalah konsep yang lebih abstrak, mencakup aspek yang tak terhingga dari keberadaan manusia, termasuk di dalamnya aspek fisik, psikis, emosional, politik, dan hal-hal yang terkait dengan berbagai kebiasaan manusia. Seksualitas, sebagaimana dikonstruksikan secara sosial, adalah pernyataan dan penyangkalan secara rumit dari perasaan dan hasrat. Tidak heran jika seksualitas mempunyai konotasi, baik positif maupun negatif, serta mengakar dalam konteks masyarakat tertentu.
Kesimpulannya, seksualitas merupakan terma yang sangat luas. Seksualitas mempunyai banyak dimensi, seperti dimensi relasi, rekreasi, prokreasi, emosional, fisik, sensual, dan spritual. Hal-hal tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Seksualitas menjelaskan sebuah bentuk komunikasi yang sangat intim, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, terlepas dari apapun jenis kelamin atau gendernya. Seksualitas merupakan bentuk interaksi yang menyenangkan, erotis, romantis, penuh gairah, dan kreatif.
Leena Abraham (2000: 1) menjelaskan bahwa konsep seksualitas mencakup tidak hanya identitas seksual, orientasi seksual, norma seksual, praktik seksual, dan kebiasaan seksual, namun juga perasaan, hasrat, fantasi, dan pengalaman manusia yang berhubungan dengan kesadaran seksual, rangsangan, dan tindakan seksual termasuk di dalamnya hubungan heteroseksual serta hubungan homoseksual.
Dengan demikian, seksualitas bukanlah bawaan atau kodrat, melainkan produk dari negosiasi, pergumulan, dan perjuangan manusia. Seksualitas merupakan ruang kebudayaan manusia untuk mengekspresikan dirinya terhadap orang lain dalam arti yang sangat kompleks, menyangkut identitas diri (self identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual behavior), dan orientasi seksual (sexual orientation) (Husein Muhammad, dkk, 2011: 11-13).