Mbah Moen. Tubuhnya tak lagi muda, bahkan tampak ringkih. Namun, kejernihan berpikir dan ketegasannya tampak begitu nyata. Tubuhnya boleh dibungkus dengan usia 90 tahun, tapi semangat kebangsaannya tak bisa diringkus oleh balutan ideologi lain, kecuali Pancasila. Kursi roda boleh menopangnya untuk berjalan, tapi lagu kebangsaan akan membangkitkannya kembali; tegap berdiri.
Kebetulan atau tidak, kelahirannya yang bersamaan dengan sumpah pemuda, 28 Oktober 1928, menjadikan Mbah Moen sebagai kiai yang tangguh dan perkasa. Beliau rela berjam-jam duduk bersama masyarakat baik saat di ndalem-nya maupun di mimbar-mimbar pengajian. Membersamai umat tampaknya memberi energi yang melimpah untuknya.
Tak hanya fisik, Mbah Moen juga tangguh dan perkasa secara logika, argumentasi dan wawasan. Keahliannya di bidang fikih dan ushul fikih yang diramu dengan hafalan sejarah yang sangat kuat menjadikan fatwa dan dawuhnya susah dipatahkan sembarang orang. Karenanya, kefasihan Mbah Moen cukup santer terdengar di forum-forum akademik, seperti Bahsul Masail. Tak ada yang meragukan itu.
Tak hanya hadir secara fisik melalui pengajian-pengajian, Mbah Moen pun menyapa umat melalui karya. Tersebutlah misalnya, Al-‘Ulama’ al-Mujaddidun: Majalu Tajdidihim wa Ijtihadihim, sebuah kitab ringkas setebal 57 halaman namun sangat padat isi. Tak banyak kiai di Nusantara yang dengan penuh sabar menulis sebuah karya dalam Bahasa Arab.
Bagi kalangan milennial perkotaan, nama Mbah Moen mungkin saja tak sepopler ustaz-ustaz yang kerap menghiasai kaca televisi dan youtube. Namun, tak ada di antara mereka yang meragukan kealimannya. Ustadz Adi Hidayat pun menjulukinya sebagai manusia Alqutan. Ustaz Abdus Shomad pun sowan dan berguru kepada beliau.
Sembari mengutip hadist Nabi, Prof. Dr. Quraish Shihab pun bersedih karena kepulangannya bersama dengan ilmu yang masih bersemayam di dadanya. Bahkan, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj menjuluki Mbah Moen sebagai pasak bumi di Indonesia, bukan hanya karena kealimannya, tetapi juga karena akhlakul karimah, kesantunan dan spiritualitasnya.
Bagi tokoh politik, ia adalah titik simpul. Karena itulah, beliau tak bisa dibonsai oleh satu partai politik ataupun oleh satu politisi. Kekuatan, kharisma, dan pengaruhnya melampaui kerangkeng-kerangkeng partai politik.
Segala atribut dan kelebihan di atas tentu saja tidak diraih dengan singkat. Ibarat pusaka, bahan dasar Mbah Moen dari besi terpilih. Betapa tidak, beliau lahir dari perpaduan Kiai Zubair—murid kesayangan Syekh Said al-Yamani dan Syeikh Hasan al-Yamani al-Makky—dan Nyai Mahmudah, purti Kiai Ahmad bin Syu’aib, ulama kharismatik yang teguh pendirian.
Bahan dasar pilihan tersebut kemudian ditempa oleh para empu kesohor. Mbah Moen tercatat pernah berguru kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly. Di Nusantara, Mbah Moen ditempa oleh para guru handal seperti Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf, KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi (Lirboyo).
Kini, selasa, 6 Agustus 2019, Mbah Moen meninggalkan kita bersama. Persis seperti yang harapan dan doa beliau; wafat di tempat paling mulia di muka bumi ini, Mekkah, dan di waktu yang utama, hari Selasa, sama seperti ayah dan kakeknya.
Melanjutkan Perjuangan
Kepulangan Mbah Moen tentu saja melahirkan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia, terutama bagi santri dan warga NU. Bagi santri, Mbah Moen adalah teladan nyata yang dapat diikuti kesehariannya secara langsung. Beliau melendankan ihwal keluhuran ilmu pengetahuan yang dimiliki, beliau pula menyontohkan bahwa akhlakul karimah bersifat universal, kepada siapapun; tua-muda, kaya-miskin.
Dawuhnya menjadi mau’idhah hasanah, kehidupannya menjadi uswah hasanah.
Karena itulah, wajar jika Indonesia merasa kehilangan. Ilmu dan keluruhan budinya turut bersama jasadnya. Gerak langkah yang meneduhkan dan mendamaikan umat pun sudah terbawa Bersama jasad. Akan tetapi, jejak langkahnya masih tetap terasa melalui semangat, gagasan, dan perjuangannya. Tugas kita adalah melanjutkan jalan setapak yang telah dibabat oleh Mbah Moen.
Jalan setapak itu bernama keislaman dan keindonesiaan. Seluruh gagasan dan sepak terjang Mbah Moen dilandasi oleh tradisi keilmuan pesantren yang sangat kokoh. Ushul fikih dan fikih yang ditekuninya menjadikan beliau memiliki pendirian yang kuat pada satu sisi, tetapi juga penuh fleksibilitas, pada sisi yang lain. Penguasaan ilmu-ilmu keislaman menjadi fondasi sikap dan pendiriannya.
Kendatipun pernah malang melintang dalam dunia politik, Mbah Moen tak menempatkan urusan duniawi ke dalam hatinya. Seperti yang dituturkan oleh Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, Mbah Moen bukan sosok yang mudah ditakar dengan amplop. Standar moral ini perlu terus dilanjutkan.
Hal lainnya, Mbah Moen memiliki sikap yang kokoh terhadap gagasan kebangsaan. Baginya, tak ada kontradiksi antara Islam dan Pancasila. Menjadi muslim Indonesia adalah fardu ‘ain untuk membela negaranya, begitu dawuh yang kerap beliau sampaikan. Karenanya, beliau tak menoleransi kelompok-kelompok yang merongrong kedaulatan negara.
Mbah Moen, izinkan kami sowan kepada njenengan dengan cara meneladani gerak langkah dan melanjutkan pemikiran njenengan. Jika kami salah melangkah, berkenanlah hadir dalam mimpi-mimpi kami.