Sultanah Safiatuddin Tajul Alam Syah, Sultanah Pertama Aceh Darussalam- 15 Februari 1641 M, masyarakat Aceh diliputi duka serta kecemasan dan kekhawatiran. Sultan Iskandar Istani Alauddin al-Mohayat Syah yang mereka cintai telah meninggal. Namun, siapakah yang akan menjadi penggantinya?
Sultan Iskandar Istani bukan keturunan Aceh asli. Dia merupakan keturunan Sultan Pahang yang diangkat mantu oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, kemudian diangkat menjadi Sultan Aceh. Sebab Sultan Iskandar Muda tak punya putra mahkota, maka diangkatlah Iskandar Istani yang merupakan suami dari Putri Safiatuddin–anak Sultan Iskandar Muda.
Saat Sultan Iskandar Istani mangkat, dia pun tak punya putra mahkota. Lalu, siapakah yang akan melanjutkan kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam–kesultanan Islam di Nusantara yang amat megah kala itu.
Ada anak laki-laki Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang masih hidup waktu itu. Dia adalah Panglima Polim, julukannya Imam Hitam, sebab kulitnya hitam seperti kulit ibunya yang berasal dari Sudan. Namun, sebab dirinya hanyalah anak selir, bukan anak dari ratu, maka dia tak menjadi putra mahkota. Buya Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama menjelaskan kalau Sultan Iskandar Muda berwasiat padanya, “Engkau lebih baik menjadi orang yang mengangkat raja, daripada naik tahta kerajaan.”
Siapakah yang punya kebesaran untuk menjadi sultan Aceh saat itu?
Segala kebesaran itu ada pada Safiatuddin–Putri Gahara (Putri Ratu) Sultan Iskandar Muda. Dia punya 2 kebesaran, yaitu sebagai anak dari Ratu Sultan Iskandar Muda dan istri dari Sultan Iskandar Istani.
Dalam masa kepemimpinan Sultan Iskandar Istani, Safiatuddin punya jasa besar dalam mempertahankan martabat Sultan dalam bayang-bayang Panglima Polim. Safiatuddin membantu suaminya–Sultan Iskandar Istani–dengan memanfaatkan posisinya yang lebih tinggi dari Panglima Polim. Panglima Polim hanya anak selir, sementara Safiatuddin adalah anak dari ratu.
Buya Hamka menjelaskan, “Banyak sekali pertolongannya kepada suaminya (Ratu Safiatuddin kepada Sultan Iskandar Istani) untuk mempertahankan martabat baginda jika ada desakan politik dari Panglima Polim. Dipergunakannya benar-benar kedudukannya yang tinggi sebagai Putri Gahara, yang lebih tinggi derajatnya daripada Panglima Polim sebagai putri selir, untuk membela kedudukan suaminya.”
Saat Sultan Iskandar Istani mangkat, maka Ratu Safiatuddin adalah satu-satunya orang yang punya kebesaran untuk memimpin Aceh. Hanya saja, dia perempuan.
Masyarakat Aceh yang sangat kuat memegang agama Islam, banyak yang tak setuju kalau Aceh dipimpin oleh perempuan. Sebenarnya, penolakan kepemimpinan perempuan dalam negara bukanlah semata-mata dari kebudayaan peradaban Islam. Namun, hal ini sudah umum dalam setiap peradaban, di mana laki-lakilah yang menjadi raja, bukan perempuan.
Maka waktu itu religious discourse dalam masyarakat Aceh adalah soal “bolehkah perempuan jadi sultan”?
Buya Hamka menjelaskan, “Timbulnya pembicaraan para ulama tentang boleh atau tidaknya perempuan menjadi raja, menjadi bukti penting pula atas bagaimana telah tingginya perbincangan hukum fiqih dan hukum kenegaraan di Aceh, di samping memperkatakan tasawuf.”
Diskursus kepemimpinan perempuan dalam negara, sudah ada dalam masyarakat Aceh jauh sebelum zaman kita sekarang.
Banyak ulama yang tak setuju kalau Safiatuddin menjadi Sultan Aceh. Siti Sa’adah dalam Ratu-ratu Aceh Abad ke-17 M: Analisis Faktor Pendukung dan Penghambat Kekuasaan menjelaskan, “…para pembesar kerajaan dan ulama di bawah pimpinan qadi Malikul Adil Nuruddin al-Raniri, mengadakan musyawarah untuk membicarakan siapa yang berhak dinobatkan menjadi sultan Aceh. Setelah pertukaran pikiran yang cukup alot ditetapkanlah bahwa permaisuri Iskandar Tsani, Safiatuddin, yang sekaligus putri Iskandar Muda patut diangkat menjadi sultanah Aceh.”
Siti Sa’adah juga menjelaskan, “…faktor terpenting yang melancarkan jalan mereka menuju puncak kekuasaan (para sultanah Aceh) adalah adanya situasi dan kondisi yang sangat khusus, yakni tidak adanya putra mahkota. Selain itu, kepemimpinan wanita dalam politik pemerintahan merupakan masalah khilafiyah yang hukumnya tidak tegas dinyatakan dalam Alquran dan Hadis….”
Buya Hamka juga menjelaskan dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama. Bahwa siasat Panglima Polim waktu itu juga amat berpengaruh dalam menjadikan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh. Dia juga yang ikut membujuk adiknya–Safiatuddin–agar mau menjadi sultanah. Panglima Polim yang tak bisa naik tahta, membantu menjadikan Safiatuddin sebagai sultanah.
“Adapun yang diminta oleh Panglima Polim hanya satu,” jelas Buya Hamka, “yaitu wasiat paduka ayahanda Mahkota Alam diakui oleh orang besar-besar. Yaitu bagi Kerajaan Aceh ada Polimnya.” Lalu untuk menjalankan siasatnya itu, Panglima Polim bahkan sampai menggerakkan pasukannya.
Lanjut Buya Hamka, “Pintar benar Panglima itu mengatur siasat. Sebab di samping saranan bertubi-tubi, meminta fatwa ulama, membujuk pula akan adiknya, tetapi tentara dari Daerah XX Mukim senantiasa bersiap menyerang Kutaraja bila siasatnya ini dibantah orang.”
Pada dasarnya Safiatuddin bisa naik tahta, sebab tak lepas dari bantuan banyak pihak yang mendukungnya. Yaitu Panglima Polim dan para ulama yang turut mengamini dirinya menjadi sultanah Aceh. Dari sini kita bisa melihat, kalau upaya mengangkat derajat perempuan tak hanya dari upaya perempuan semata, namun harus ada sinergi antara kaum perempuan dan laki-laki.
Safiatuddin menjadi sultanah pertama Aceh. Dia dinobatkan dengan gelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Sultanah Safiatuddin memerintah Aceh dalam waktu yang lama, yaitu 34 tahun dari tahun 1641-1675 M.
Buya Hamka menjelaskan, “Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam, yang disebutkan juga Maharaja Permaisuri. Atas titah baginda pula, tahun 1059 H, anggota Balai Majelis Mahkamah Rakyat (Aceh) itu, diperbaharu dan dilengkapi dengan anggota-anggota perempuan, 15 orang banyaknya.”
Naik tahtanya Sultanah Safiatuddin juga memberi peluang yang lebih besar bagi perempuan Aceh untuk turut andil dalam arah politik pemerintahan. Meski banyak halangan dan tantangan baik yang berasal dari dalam maupun luar Kesultanan Aceh, Sultanah Safiatuddin tetap sukses menjalankan amanah sebagai pemimpin Aceh.
Fitriah M. Suud dalam Perempuan Islam dalam Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam (1641-1699 M) menjelaskan, “Ratu Safiatuddin juga telah berhasil mengembangkan dan membangun jiwa dan raga bangsa Aceh menuju kepada kemakmuran dan ketenteraman.”
Sultanah Safiatuddin Tajul Alam Syah bekerja keras mempertahankan warisan-warisan para sultan pendahulunya. Bekerja keras mempertahankan kebesaran Aceh. Meski beberapa daerah kekuasaan Aceh tanggal, namun kedaulatan serta kemegahan Aceh Darussalam mampu dijaga. Serta, yang terpenting rakyat Aceh hidup dalam kemakmuran.
34 tahun Sultanah Pertama Aceh memimpin, itu bukan waktu yang cepat. Usianya sudah menua. 23 Oktober 1675 M, Sultanah Safiatuddin Tajul Alam Syah pun wafat. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, kalau pernikahan Sultan Iskandar Istani dan Sultanah Safiatuddin tidak melahirkan anak laki-laki. Maka Sultanah Safiatuddin pun mangkat tanpa penerus putra mahkota.