Sumbangsih Ndalem dalam Tradisi Pesantren di Jawa- Di masyarakat Jawa, kata ‘dalem’ atau ‘ndalem’ lebih populer dengan arti ‘rumah’ dan ‘saya’. Yang pertama terkadang ditambahi dengan akhiran ‘e’ menjadi ‘daleme’, seperti pertanyaan ‘daleme pundi?’ (rumahnya di mana?). Sementara yang kedua biasa digunakan ketika menjawab panggilan, misalnya, ketika nama saya dipanggil maka saya jawab ‘dalem’.
Namun, kata ini menjadi berubah maknanya ketika digunakan di lingkungan-lingkungan tertentu atau digabungkan dengan kata tertentu. Di lingkungan Keraton Jawa misalnya, kata ini biasa disandingkan dengan kata ‘abdi’ menjadi ‘abdi ndalem’.
Artinya, orang yang mengabdikan dirinya kepada keraton dan raja dengan segala aturan yang ada. Dalam frase ini, arti ‘ndalem’ adalah keraton atau raja.
Sama halnya dengan di keraton, kata ‘dalem’ juga mengalami perubahan makna ketika digunakan di dunia pesantren, di Jawa khususnya. Memang benar makna dasarnya tidak berubah seluruhnya. Dalam pengertian, ‘dalem’ masih diartikan ‘rumah’ atau ‘saya’. Namun, bagi masyarakat santri Jawa, ‘dalem’ bukan hanya bermakna itu, bukan juga keraton atau raja.
Achmad Zainal Arifin (2013: 143) dalam disertasinya di Australia mengartikan ‘ndalem’ sebagai ‘orang dalam’ (insider). Dari arti ini, ia menjelaskan ada dua kelompok sosial di pesantren yang bisa disebut dengan ‘ndalem’.
Pertama adalah anggota keluarga kiai, seperti istri dan anak kiai. Kedua adalah santri yang mengabdikan dirinya untuk membantu urusan rumah tangga kiai, biasanya sering disebut dengan ‘santri ndalem’.
Masing-masing kelompok ini memiliki peran besar terhadap kelanjutan dan perkembangan pesantren. Setidaknya ada dua kontribusi penting yang telah disumbangkan oleh kedua kelompok ini.
Pertama adalah sebagai mediator antara karisma kiai dan putranya. Peran ini cenderung lebih merujuk pada ndalem dalam arti keluarga kiai. Mereka menjadi penghubung dan perantara penting antara karisma yang dimiliki oleh kiai dan putranya.
Posisi ini sangat sentral bagi kelanjutan pesantren, karena dalam banyak kasus ketika pemimpin pesantren yang karismatik meninggal dunia, tidak jarang pesantrennya kemudian ditutup karena putranya tidak bisa mewarisi karisma ayahnya yang diakui oleh masyarakat (Arifin, 2013: 143).
Kalaupun tidak semua pesantren mengalami kondisi semacam ini, setidaknya hal ini sudah dibuktikan secara jelas oleh Arifin (2013: 143-146) ketika meneliti Pondok Pesantren al-Munawwir Kompleks L di Yogyakarta. Berdasarkan penelitiannya, setelah Kiai Ahmad Munawwir selaku pengasuh pesantren meninggal dunia pada 2001, Bu Nyai Shofiyah selaku istri Kiai Ahmad bekerja keras untuk menyiapkan putranya yang masih muda, Gus Munawwar, agar bisa menjadi kiai karismatik seperti ayahnya.
Bu Nyai Shofiyah bukan hanya membujuk para alumni agar memberi dukungan penuh kepada Gus Munawwar. Lebih dari itu, dengan modal kemampuan komunikasinya, Bu Nyai juga aktif sekali menceritakan kelebihan-kelebihan Gus Munawwar. Seperti kemiripannya dengan Kiai Ahmad dalam hal menghafal Alquran dan prestasi-prestasi yang pernah dicapai Gus Munawwar pada waktu sekolah.
Selain Bu Nyai, anggota keluarga lain yang ikut memperkuat karisma Gus Munawwar adalah sepupunya sendiri, Gus Hafid. Meski memiliki pesantren sendiri di Klaten, Gus Hafid diminta ayahnya untuk membantu Gus Munawwar mengurus pesantrennya.
Dengan posisinya yang sangat strategis sebagai pengajar di Kompleks L, Gus Hafid sering mengajari dan memberi contoh para santri bagaimana caranya bersikap dan berperilaku dengan penuh hormat kepada Gus Munawwar sebagai kiai muda.
Semua ini tentu sangat berpengaruh terhadap figur Gus Munawwar. Peran ndalem sedikit banyak telah membantu dirinya agar bisa diterima dan semakin diakui oleh masyarakat sebagai kiai karismatik, meski secara bersamaan Gus Munawwar juga meningkatkan kualitas pribadinya dengan cara riyadah dan menghafal al-Quran.
Kedua, peran ndalem adalah sebagai orang yang ikut memperluas jangkauan karisma kiai. Mengenai peran ini, ‘santri ndalem’ bisa disebut sebagai salah satu aktor utamanya. Sepintas, kontribusi ‘santri ndalem’ terhadap pesantren mungkin hanya berkaitan dengan urusan rumah tangga kiai yang sudah banyak dibantu olehnya. Padahal ini hanyalah salah satu kontribusinya. Kontribusi terbesarnya, menurut saya, adalah memperluas jangkauan karisma kiai.
Semua masyarakat atau santri pada umumnya mungkin bisa membuktikan langsung bagaimana karisma kiainya. Namun yang mesti dicatat, kedekatan ‘santri ndalem’ dengan kiainya membuat ia lebih banyak tahu keseharian kiainya dibandingkan yang lain.
Di sinilah modal utama santri ndalem berkontribusi terhadap pesantrennya. Baik sesudah atau sebelum keluar dari pesantren, santri ndalem biasanya suka bercerita tentang keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh kiainya, yang mana tidak semua santri tahu.
Barangkali, salah satu yang biasa diceritakan adalah tentang kesederhanaan dan rendah hati kiai. Cerita semacam ini sekarang sudah banyak beredar di internet dan tidak jarang cerita tersebut bersumber langsung dari santri ndalem.
Seperti cerita dari santri ndalem Kang Nuri yang diunggah oleh situs Al Munawwir Komplek Q. Dalam situs tersebut diceritakan, Kang Nuri pernah dituntun oleh kiainya, Kiai Ahmad Warson Munawwir, pada waktu mau masuk masjid dan pulang ke rumahnya.
Peristiwa semacam ini tidak mungkin terjadi kalau tidak didasari oleh sikap rendah hati kiai, di samping juga rasa sayangnya pada santrinya. Sebab jika dilihat dari sisi ilmu, umur, status sosial, harusnya Kang Nuri yang menuntun Kiai Ahmad Warson, bukan sebaliknya.
Jika merujuk pada penjelasan Arifin (2013: 137-138, 156-157) bahwa tawadhu’ (rendah hati) adalah salah satu elemen penting yang membentuk karisma kiai, maka cerita demikian merupakan salah satunya.
Cerita yang sudah diunggah di internet ini tentu saja sudah memperluas jangkauan karisma kiai, karena publik yang awalnya tidak semua tahu sosok Kiai Ahmad Warson pada akhirnya menjadi tahu. Dan yang lebih penting, cerita semacam ini tidak mungkin tersebar kalau santri ndalem tidak cerita.
Selain cerita perilaku kiai yang rendah hati, santri ndalem terkadang juga menceritakan barakah yang telah ia dapat dari kiainya. Biasanya, ini terjadi ketika santri ndalem sudah keluar dari pesantren dan hidupnya bahagia, mapan secara ekonomi atau bahkan menjadi kiai besar di kampungnya.
Menurut saya, ini adalah kontribusi santri ndalem terhadap pesantrennya. Meski tanpa ia bercerita kiainya tetap karismatik, namun setidaknya ia sudah ikut memperkenalkan sosok kiainya yang karismatik ke daerah-daerah yang belum kenal kiainya. Wassalam.