Dalam bermuamalah sehari-hari, Islam menyuruh umatnya –minimal– untuk senantiasa menjaga keseimbangan. Hal ini tercermin di antaranya dalam QS. al-Nahl [16]: 126 yang mempersilakan umat Islam untuk membalas keburukan yang diperolehnya dari pihak lain dengan ‘kadar yang sama’.
Namun demikian, masih kata ayat itu, akan lebih baik jika mereka bersabar atas keburukan yang mereka terima. Hal ini karena memastikan ‘kadar yang sama’ merupakan pekerjaan yang sangat sulit diraih jika enggan menyebutnya mustahil.
Habib Muhammad Quraish Shihab memaknai take and give sesuai ketentuan atas dasar kewajiban dan hak sebagai sikap adil. Jikalau bersedia memberi lebih banyak dari yang menjadi tanggung jawabnya serta mengambil lebih sedikit dari yang menjadi haknya, inilah ihsān. Salah satu sikap yang Allah terapkan dalam kehidupan dunia ini.
Allah menginginkan hamba-Nya untuk meniru sikap ini dalam kehidupan mereka (QS. al-Qashash [28]: 77). Dan jika berhasil, mereka tidak hanya berhak atas surga yang dirindukan setiap insan melainkan juga bonusnya. Yakni melihat Dzat Allah yang keindahan-Nya mengalahkan keindahan apapun termasuk surga itu sendiri.
Ihsān merupakan bentuk masdar dari fi’il masdli ahsana. Terkait kata kerja yang berasal dari kata hasan (bagus) ini, selain ihsān kita juga mengenal muhsin yang menjadi bentuk isim fa’il-nya. Bagi mereka ada surga beserta bonusnya. Allah berfirman:
Artinya: “Bagi orang-orang yang berbuat baik (ada pahala) yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah)” (QS. Yunus [10]: 26)
Dari sisi kuantitas, balasan yang akan diperoleh tidak setara dengan kebaikan yang mereka persembahkan. Jumlahnya jauh lebih banyak yakni mulai kelipatan 10 (QS. al-An’ām [6]: 160), 700 (QS. al-Baqarah [2]: 261), dan bahkan sampai tidak terhingga (QS. al-Zumar [39]: 10).
Dari sisi kualitas, balasan tersebut juga jauh melebihi apa yang ada dalam bayangan mereka selama ini. Bahkan juga dari apa yang Allah gambarkan melalui firman-firman-Nya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Sahabat Abu Hurairah, Nabi menggambarkan surga sebagai sesuatu yang tidak pernah dilihat mata, didengar oleh telinga, dan terbayangkan dalam benak manusia (Musnad Ahmad/15: 407).
Ada kisah menarik berkenaan dengan kewajiban seorang Muslim. Suatu ketika Nabi sedang duduk bersama para sahabat. Datanglah seorang lelaki dari pedalaman mengonfirmasi berita yang disampaikan utusan Nabi. Ia menanyakan satu persatu rukun Islam yang didengarnya. Nabi pun mengiyakan semua konfirmasiannya.
Setelah itu, lelaki tadi berpaling dan bilang “Demi Dzat yang mengutusmu, aku tidak akan menambahi dan menguranginya”. Kemudian Nabi besabda “Jika ia benar dengan ucapannya, ia akan masuk surga” (Jam’ al-Ushūl fi Ahādīts al-Rasūl, 1/219).
Dari sini sangat jelas sekali bahwa kewajiban seorang muslim terhadap Allah adalah melaksanakan rukun Islam saja. Adapun kewajibannya kepada sesama hamba adalah berbuat baik kepada mereka. Jikalau dengan menjalankan yang wajib saja sudah berhak mendapatkan surga, lantas bagaimana jika lebih?
Ibnu ‘Āsyūr dalam Tahrīr wa Tanwīr-nya memaknai kata ashanū dalam ayat di atas sebagai orang-orang yang Allah tunjukkan dan bimbing menuju jalan yang lurus yakni berupa kemampuan beramal saleh (11/146).
Sementara itu, Syekh Wahbah Zuhaili, dalam Tafsir al-Munir (6/161), memahaminya sebagai berbuat kebaikan dengan didasari keimanan kepada Allah. Berbeda lagi dengan Imam Mutawalli al-Sya’rāwī yang memahaminya dengan orang yang bersungguh-sungguh dalam memenuhi aneka kebaikan (10/5873).
Dari ketiga pendapat mufassir ini, bisa diambil kesimpulan bahwa muhsinīn (pelaku daripada ahsanū) adalah mereka yang melakukan aneka kebaikan secara msksimal dengan didasari keimanan kepada Allah.
Bagi mereka al-husnā. Mayoritas ulama memahaminya dengan surga. Bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam kebaikan ada pahala surga. Ibnu ‘Athiyyah, menukil pendapat sekelompok ulama, juga memahaminya sebagai kebaikan.
Kata ini berbentuk isim tafdlīl (degree sentence) untuk wanita dari kata hasan. Ia mengandung meningkatkan atau mubālaghah yakni kelipatan sepuluh. Kemudian Ibn Jarīr al-Thabari, sebagaimana ia tulis, memahaminya dengan ketercakupan segala sesuatu yang bisa dikatakan sebagai kebaikan (al-Muharrar al-Wajīz, 3/115).
Adapun terkait bonus yang dalam ayat ini dibahasakan dengan kata ziyādah, Ibnu ‘Āsyūr (11/146) memahaminya sebagai keridaan Allah. Hal ini didasarkan pada firman-Nya dalam QS. al-Taubah [9]: 72 yang menyebutkan surga dan yang lebih dahsyat darinya yakni keridaan Allah.
Ia juga memahaminya sebagai melihat Allah sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Pendapat kedua ini didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Turmudzi dari Sahabat Shuhaib.
Dalam hadis yang menafsirkan ayat ini disebutkan ketika penghuni surga telah masuk surga, ada suara yang berkata “Kalian memiliki janji pertemuan dengan Allah yang dengannya Ia ingin membalas kebaikan kalian”.
Para penghuni surga pun kaget dan berkata “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami, menyelamatkan kami dari neraka dan memasukkan kami ke dalam surga?” Nabi bersabda “Maka dibukalah hijab yang ada” dan berkomentar “Demi Allah, tidak ada pemberian yang lebih mereka sukai daripada melihat Allah”.
Sementara itu, Syekh Wahbah Zuhaili (6/161) selain menukil hadis sahih tersebut juga memahaminya sebagai kelebihan atau pelipatgandaan pahala kebaikan menjadi 10 kali lipat.
Penjelasan para ulama tafsir mengenai ayat ini semakin menegaskan bahwa “berbisnis” dengan Allah adalah sesuatu yang sangat menjanjikan. Pasalnya, hanya dengan mengerjakan kewajiban pokok kita sebagai kolega-Nya akan mendapatkan balasan berupa surga yang luasnya tidak kalah dengan luasnya bumi dan langit (QS. Āli ‘Imrān [3]: 133).
Dan bagi mitra yang bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajibannya Allah telah siapkan bonus berupa melihat wajah indah-Nya. Sebuah kenikmatan yang tidak akan pernah tertandingi. Semoga kita senantiasa dikaruniai kekuatan dan bimbingan untuk memberikan yang terbaik dalam pengabdian yang sementara ini. Sehingga berhak atas imbalan pokok beserta bonusnya yang Ia janjikan. wallāhu a’lam.