Dunia dakwah Islam bukan hanya milik kaum laki-laki. Kaum perempuan juga mempunyai peran besar dalam menyebarkan dakwah Islam. Bahkan hal itu sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad saw.
Di Indonesia, kaum perempuan juga mempunyai peran penting dalam dunia dakwah. Salah satu sosok perempuan Indonesia yang mempunyai peran penting dalam bidang ini adalah Suryani Thahir.
Suryani Thahir adalah satu di antara sekian banyak tokoh perempuan yang mempunyai kiprah pengabdian terhadap agama dan masyarakat. Ulama perempuan yang lahir 1 Januari 1940 M di Kebon Baru, Tebet, Jakarta ini merupakan anak tertua dari lima belas bersaudara dari pasangan Thahir Rahili dan Salbiyah Ramli.
Sejak kecil ia sudah dididik dengan ilmu agama oleh orang tuanya. Bahkan, seluruh waktunya dihabiskan untuk belajar.
Sebelum menjadi ulama perempuan terkemuka, Suryani Thahir memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat di Bukit Pasirduri, Kebon Baru, Jakarta Selatan tahun 1942 M. Paginya ia belajar di Sekolah Rakyat, sedangkan sorenya belajar di Madrasah Awwaliyah as-Syafi’iyah, Balimatraman, Jakarta Selatan.
Ia dibimbing langsung oleh KH. Abdullah Syafi’i yang merupakan ulama terkemuka di kalangan masyarakat betawi waktu itu. Selama belajar di tempat tersebut, Suryani Thair menempuhnya dengan jalan kaki sejauh 3 km.
Sebagaimana dikemukakan oleh Ida Rasyidah dalam buku Ulama Perempuan Indonesia, sebelum Suryani Thahir tamat diniyah, ia pindah ke sekolah milik ayahnya. Yaitu Yayasan Diniyah Sa’dutthaariqain yang kemudian berubah nama menjadi Yayasan Diniyah Attahiriah.
Suryani Thahir dididik dengan ketat namun juga diberi beragam pilihan oleh orang tuanya. Seperti adanya kesempatan menikmati permainan yang lebih populer dengan mainan anak laki-laki seperti sepakbola, kelereng dan layang-layang. Bahkan, ia dibiarkan untuk memilih permainan tanpa membatasi terhadap jenis gender tertentu.
Dengan penuh kesabaran, kedua orang tuanya mengajarinya membaca Al-Qur’an. Di usia 5 tahun ia sudah mampu membaca Al-Qur’an dengan baik. Ia juga dikenalkan dengan dasar-dasar ilmu tauhid.
Setelah 3 tahun belajar di Diniyah Putri Padangpanjang, Sumatera Barat, Suryani dan sembilan saudaranya dikirim ke Timur Tengah untuk belajar Islam. Kedua orang tuanya sangat mendorong para putra-putrinya untuk mendapatkan pendidikan tinggi, baik itu anak perempuan maupun anak laki-laki.
Suryani Thahir dikirim ke Mesir. Namun, sebelum berangkat ke Mesir, ia dinikahkan dengan Syatiri Ahmad yang merupakan seorang sarjana lulusan IAIN Sunan Kalijaga. Kebetulan ia juga mendapatkan beasiswa dari al Azhar, Mesir.
Saat di Mesir, Suryani Thahir masuk di Kuliyyatu li al-Banat jurusan Dirasah Islamiyah (1959-1967). Suaminya kuliah di Fakultas Adab jurusan Sastra Arab (1959-1965). Kemudian lanjut al-Ma’had al-Aly li Dirasat al-Islamiyah wa Arabiyah.
Delapan tahun di Mesir, Suryani Thahir menjadi seorang mahasiswi, istri, sekaligus ibu. Karena saat kuliah di Mesir, kedua buah hatinya juga lahir. Ia harus membagi waktu untuk kuliah dan keluarga.
Berkat ketekunan dan dukungan sang suami, semuanya dapat dilalui. Apalagi keduanya mempunyai cita-cita yang sama; sama-sama berminat dalam bidang pengabdian masyarakat. Suryani di bidang dakwah, sang suami di bidang pendidikan.
Sepulangnya dari Mesir, akhir 1967, Jakarta masih sepi dari aktivitas dakwah, khususnya majelis taklim kaum ibu. Majelis taklim yang ada di daerahnya kebanyakan khusus untuk laki-laki. Majelis taklim untuk kaum perempuan saat itu hanya ada tiga yaitu di Kampung Melayu, Mampang dan di Tebet.
Melihat hal itu, dan atas dukungan kedua orang tuanya, Suryani Thahir kemudian membuka majelis taklim untuk kaum perempuan yang bertempat di Mushalla al-Taqwa, Perguruan Tahiriyah. Awalnya, majelis taklimnya hanya beranggotakan 12 orang.
Namun, selang beberapa bulan majelis taklim dan dakwah yang dilakukannya mendapat sambutan kalangan luas. Hingga akhirnya mendirikan Majelis Taklim Kaum Ibu Attahiriyah (MTKIA).
Dari sinilah, ia kemudian berkembang menjadi sosok ulama perempuan yang mempunyai peran besar di bidang dakwah. Bahkan dari pagi sampai sore harus mengisi pengajian dari satu tempat ke tempat yang lain.
Melihat begitu pesatnya perkembangan majelis taklim yang didirikannya, Suryani Thahir kemudian mulai mengembangkan pendidikan agama. Ia membuka kursus bahasa Arab dan Agama sebagai bagian untuk mendidik para da’i, khususnya dari kalangan perempuan. Ia mendapat dukungan dan bantuan dari sang suami.
Suryani Thahir menyampaikan materi pengajiannya dengan penuh humor, lantang, dan lugas tanpa mengabaikan substansi keagamaan. Ia juga melakukan hal yang berbeda dengan yang biasanya dilakukan oleh para pengkaji kitab kuning.
Dari yang biasanya murid hanya “ngaji nguping” dan satu arah menjadi memberi kesempatan kepada anggota majelis taklim untuk membaca kitab yang menjadi bahan pengajian. Bahkan ia memberikan kesempatan untuk dialog interaktif. Modifikasi metode dakwah itulah yang membuatnya semakin terkenal.
Langkah Suryani Tahir dalam bidang dakhwah terus mengalir dengan ide-ide cemerlangnya. Metode majelis taklim yang asalnya monoton diubah dengan sentuhan akademis. Dari yang hanya mengaji kitab kuning, kemudian unuk mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan juga diadakan seminar dengan mengundang para pakar yang kompeten di bidangnya.
Ia membuka biro perjalanan Haji dan Umroh, sampai akhirnya mendirikan Universitas Islam Attahiriyah (UNIAT) Jakarta.
Semua dilakukan Suryani berawal dari kondisi sosial kaum perempuan di awal Orde Baru yang tertinggal dari deru modernisasi pemerintah. Apa yang dilakukannya adalah perjuangan untuk mencerdaskan umat melalui suatu pendekatan yang dianggap lebih efektif.
Berkat majelis taklim yang dibimbingnya, banyak lahir para astidzah yang handal, dan mampu mengembangkan dakwah kepada kaum Ibu di kampung-kampung tempat mereka tinggal.
Suryani Thahir juga berhasil mengubah paradigma kultur daerahnya yang saat itu masih memandang kaum perempuan dengan posisi rendah. Ia berhasil mendobrak kultur masyarakat yang membatasi ruang gerak kaum perempuan di dunia pendidikan menjadi perempuan yang aktif, berilmu, dan berdaya.
Selain itu, berkat majelis taklim yang didirikannya, kaum perempuan memiliki nilai tawar (bargaining position) dalam pengumpulan dan dukungan suara. Perempuan mulai bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi pejabat, serta pengambil keputusan yang setara dengan kaum pria. Sehingga, perempuan juga bisa berkiprah dalam ranah politik.
Suryani Thahir meninggalkan banyak karya seperti: Masdar al-Akhlaq: Sumber Budi Pekerti dan 38 Kiat Menghapus Dosa. Susunan Ibadah di Saat Bangun Malam, Hembusan Segar: Kumpulan Firman Allah dalam Hadis Qudsi, Mutiara Baiduri Manikan di Balik Kisah Yusuf As, Fadhilah Qayam al-Layl.
Berbagai karya tersebut membahas dan mengkaji persoalan akhlak, sejarah, fikih, dan hadis. Ditulis dengan bahasa dan aksara Arab dan Latin.
Dari Suryani Thahir kita bisa belajar bahwa pendidikan tinggi bagi kaum perempuan sangatlah penting. Karena selain akan menjadi madrasah pertama untuk para putra-putrinya, perempuan tentu juga mempunyai peran lainnya seperti agen pemberdayaan masyarakat dan dakwah agama yang penuh kasih sayang.