Syekh Ahmad Mutamakkin lahir pada tahun 1645 M, di Tuban, Jawa Timur. Setelah itu lalu pindah dalam rangka berdakwah syiar Islam di kawasan Kajen, Pati, Jawa Tengah.
Secara garis keturunan, Syekh Mutamakkin masih mempunyai darah bangsawan Jawa. Sedangkan berdasarkan catatan lokal historis, ia merupakan keturunan Raden Fattah, Sultan Kerajaan Demak, dari silsilah sang ayah.
Soal jalan spiritual, Syekh Mutamakkin mengikuti tarekat Naqshabandiyah. Sebelum itu ia berbaiat dengan seorang mursyid dari Yaman yang bernama Syaikh Al-Zain al-Mizjaji. Selain itu, ia juga mengikuti tarekat Syattariyah.
Ulama kini lebih dikenal Mbah Mutamakkin itu adalah seorang waliyullah yang menyebarkan agama Islam di Kajen Margoyoso Pati. Pada masa muda, ia termasuk orang yang gigih dalam mencari ilmu, terutama ilmu agama Islam.
Selain itu, Mbah Mutamakkin juga melatih jiwa dari serangan hawa nafsu. Dalam pelatihan jiwa itu ia melakukan berbagai cara, seperti mengurangi minum, makan dan tidur.
Metode pengendalian hawa nafsu yang paling tinggi bagi Mbah Mutamakkin adalah melakukan puasa 40 hari dan malam. Qodarullah, ia akhirnya mampu mengendalikan hawa nafsunya tersebut.
Hingga pada suatu ketika Mbah Mutamakkin melihat Desa Kajen di Kabupaten Pati sebagai daerah yang strategis dalam menyebarkan ilmu keagamaan. Lalu dengan kemantapan hati, beliau memutuskan bertempat tinggal dan berdakwah di Kajen.
Melalui dakwah santun yang diberikan dengan ketulusan hati, Desa yang berada di pesisir utara Pulau Jawa itu mendapatkan julukan “Desa Santri” sejak tahun 1900-an.
Kajen selalu menjadi sorotan masyarakat di berbagai penjuru dunia terutama soal kebudayaannya. Di antaranya yakni rebana, kerajinan kerudung dan sulaman, dan lain-lain.
Setelah sukses berdakwah serta menjadikan Kajen sebagai basis santri, Mbah Mutamakkin meninggalkan berbagai peninggalan yang menunjukkan bahwa Islam berkembang pesat.
Di antara peninggalan-peninggalan tersebut adalah Masjid Jami’ Al Muttakin, kolam atau parit, serambi, mimbar, empat saka guru, bangunan makam, bedug, menara, tempat wudhu.
Adanya peninggalan tersebut, memberikan semangat kepada masyarakat Kajen dalam mengembangkan nilai-nilai Islam. Hal tersebut bisa terlihat dari kegiatan masyarakatnya dalam melakukan aktivitas keseharianya.
Berbicara soal peninggalan Mbah Mutamakkin, mengingatkan terkait kolam atau parit yang berada di sebelah makam beliau. Setiap malam satu Suro (Muharram) tepat pada pukul 12 malam, terdapat kebiasaan mandi di kolam oleh santri Kajen.
Para santri putra berbondong-bondong menuju kolam tersebut untuk berendam untuk menyambut awal tahun baru hijriah. Kolam tersebut berbentuk persegi. Masyarakat Kajen mengenalnya dengan sebutan “blumbang sarean”.
Kebiasaan mandi pada malam satu Suro ini dipercaya bakal berkah atau dalam bahasa Jawa disebut ngalap barokah, Selain itu, ada juga meyakini berendam di kolom tersebut dapat menjadikan awet muda.
Tradisi ini juga mengisyaratkan bahwa pada malam 1 Suro seseorang harus mensucikan dirinya dari segala dosa, lalu memohon ampun pada Sang Maha Pengampun, yakni Allah Ta’ala. Lalu pada tahun-tahun kedepannya berharap untuk membenahi hidup baru dalam hal-hal yang positif.
Syekh Ahmad Mutamakkin wafat pada tahun 1740 M. Beliau dimakamkan juga di Kajen, Jawa Tengah.
Hingga sekarang, setiap hari makam Mbah Mutamakkin selalu ramai peziarah. Apalagi pada tanggal 10 Muharram, yang mana hari itu dijadikan sebagai waktu mengenang (Haul) Mbah Mutamakkin.
Islam yang diajarkan oleh Mbah Mutamakkin sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam yang ramah. Di mana ia menggunakan pendekatan kebudayaan. Misalnya, menggunakan wayang, mocopat, dan lain sebagainya.
Maka, dalam konteks zaman sekarang sudah seharusnya kita selalu menjaga keragaman bangsa Indonesia. Kenyataanya, perbedaan memang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Itulah yang harusnya dijaga dan dipertahankan.
Mengenenang perjuangan Mbah Mutamakkin menjadi arahan yang baik dalam mengenal Islam yang ramah. Dari sosok beliau kita bisa juga memetik banyak pelajaran. Salah satunya adalah semangat atau kegigihannya dalam mencari ilmu sepanjang hayat.
Jika manusia sudah tidak mau belajar, merasa dirinya pintar, maka sejatinya sejak itu ia menjadi orang yang bodoh. Di samping juga mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Dengan demikiran, sudah seharusnya juga kita meneladani perjuangan Mbah Mutamakkin yang mendalam ilmunya, agung akhlaknya, dan tulus dedikasi sosialnya.