Dalam sejarah Islamisasi Nusantara, mustahil untuk tidak menyebut nama Syekh Jumadil Kubro sebagai aktor kunci di dalamnya. Ia adalah seorang wali yang dianggap beberapa sejarawan menjadi penyebar Islam di bumi Nusantara sebelum era wali songo.
Menurut Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo (2018), Syekh Jumadil Kubro adalah tokoh yang memiliki banyak versi. Dalam Kronika Banten misalnya, ia disebut sebagai nenek moyang Sunan Gunung Jati melalui jalur Ali Nurul Alam (anak Syekh Jumadil Kubro). Sedangkan berdasar Kronika Gresik, Syekh Jumadil Kubro dikatakan memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik.
Versi Kronika Gresik senada dengan Babad Tanah Jawi, yang menuturkan bahwa Syekh Jumadil Kubro adalah sepupu Sunan Ampel yang hidup sebagai petapa di sebuah hutan Gresik. Kisah pertapaannya juga didapati di sekitar lereng Gunung Merapi di utara Yogyakarta. Oleh masyarakat sekitar diyakini ia merupakan wali tertua asal Majapahit yang hidup di lereng Merapi, sekaligus dipercaya sebagai penasihat ruhani Sultan Agung (lihat Agus Sunyoto, 2018: 79).
Itulah sebabnya mengapa di lereng Gunung Merapi—tepatnya di daerah Turgo—terdapat makam yang dipercayai sebagai makam Syekh Jumadil Kubro. Makam ini hingga kini masih kerap diziarahi masyarakat walau akses menuju lokasi cukup sulit dijangkau.
Berdasar penelitian Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2015), kata “Kubro/Kubra” dalam nama Jumadil Kubro adalah kata sifat dalam bentuk mu’annats (feminim), bentuk superlatif dari kabir, yang bermakna besar.
Bentuk kata mudzakkar (maskulin) yang sesuai adalah akbar. Bagi Martin sangat aneh menjumpai kata al-Kubra, sebagai bagian dari nama laki-laki. Menurutnya, nama Jumadil Kubro adalah penyingkatan nama Najumuddin al-Kubra menjadi Najumadinil Kubra, yang dihilangkan bunyi suku kata pertamanya menjadi Jumadil Kubro.
Dari sini menjadi jelas, bahwa Syekh Jumadil Kubro hanyalah sebatas sebutan atau nama panggilan yang biasa diucapkan orang Nusantara. Nama aslinya sendiri, seperti tercatat dalam banyak buku sejarah adalah Syekh Jamaluddin Husain al-Akbar.
Ahmad Baso dalam buku Islamisasi Nusantara (2019) menulis silsilah Syekh Jumadil Kubro bahwa ia meripakan keturunan Sayyid Ahmad Jalal Syah bin al-Amir Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Sayyid Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath, bin Alwi, bin Ali, bin Muhammad, bin Alwi, bin Abdullah bin Imam Ahmad al-Muhajir bin Isa an-Naqib ar-Rumi al-Akbar bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidli bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah bin Rasulullah SAW.
Syekh Jumadil Kubro berasal dari Benggala India. Ia datang ke Nusantara dengan membawa keluarga dan sanak kerabatnya kira-kira pada abad 13-14 M. Dari Benggala, beliau lalu ke Pasai, dan kemudian ke Jawa, ke ibukota Majapahit. Ketika di Majapahit, Syekh Jumadil Kubro dikabarkan diberikan tanah oleh penguasa Majapahit di sekitar Trowulan, ibukota Majapahit (kini Mojokerto).
Dari Majapahit, ia lalu ke Tosora, kemudian ke Wajo Sulawesi Selatan dan wafat di sana pada paruh pertama abad 14. Oleh masyarakat setempat Syekh Jumadil Kubro dikenal sebagai Imam Towajo atau pemimpin agama rakyat Wajo (lihat Ahmad Baso, 2019: 137).
Syekh Jumadil Kubro menurut catatan Ahmad Baso memiliki tiga putra, pertama, Syekh Ibrahim as-Samarqandi (dikenal sebagai Ibrahim Asmoro). Kedua, Ali Nurul Alam. Ketiga, Zainal Alim.
Syekh Ibrahim as-Samarqandi menikahi seorang puteri Kamboja lalu memiliki putra bernama Syekh Maulana Ishaq (ayah Muhammad Ainul Yakin/Sunan Giri) dan Syekh Rahmatullah (Sunan Ampel). Ali Nurul Alam memiliki putra bernama Syarif Abdullah. Syarif Abdullah ini kemudian berputra Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sedangkan Zainal Alim kelak memiliki anak bernama Maulana Malik Ibrahim.
Berdasar urutan ini, versi Babad Tanah Jawi yang menyebut bahwa Syekh Jumadil Kubro merupakan sepupu Sunan Ampel adalah keliru. Sunan Ampel bukan sepupu, melainkan cucu dari Syekh Jumadil Kubro.
Urutan nasab maupun keturunan yang dicatat Ahmad Baso tak berbeda jauh dengan urutan yang dibuat kalangan Alawiyyin. Menurut versi Alawiyyin, Syekh Jumadil Kubro masih keturunan Imam Ahmad al-Muhajir, yang terhubung ke atas hingga ke Nabi Muhammad SAW. Syekh Jumadil Kubro juga memiliki tiga anak yang nantinya akan melahirkan para ulama penyebar Islam di daerahnya masing-masing.
Walaupun banyak versi yang mengisahkan sosoknya, namun ada benang merah yang dapat ditarik dari riwayat Syekh Jumadil Kubro. Dirinya selain menjadi wali penyebar Islam awal di Nusantara juga merupakan leluhur dari para wali songo yang nantinya menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Tanpa kehadirannya, proyek Islamisasi Nusantara yang dilakukan wali songo sulit berjalan lancar.
Sesuai dengan kisah hidupnya yang memiliki banyak versi, makam Syekh Jumadil Kubro pun ternyata tidak cuma satu. Ada banyak tempat yang diyakini sebagai tempat peristirahatannya. Makam ini tersebar dari Semarang, Jogja, Mojokerto, dan Wajo. Mana yang benar? Tidak ada yang tahu. Tapi banyak kalangan meyakini bahwa makam asli Syekh Jumadil Kubro berada di Wajo. Wallahua’lam. (mzn)