Telaah Citra Perempuan dalam Budaya Jawa
Gender masih menjadi isu yang penting dalam kehidupan sosial masyaraka. Di mana masih terjadi ketimpangan dan ketidakadilan gender yang terjadi di beberapa tatanan masyarakat mulai dari tingkat organisasi sosial terkecil hingga organisasi sosial terbesar yaitu negara. Hal tersebut memicu adanya gagasan kesetaraan gender di semua aspek kehidupan baik dalam ranah domestik maupun ranah publik.
Keluarga sendiri sebagai organisasi terkecil dalam bermasyarakat memiliki fungsi dan peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai kesetaraan dalam setiap aktivitas dan pola hubungan antar anggota keluarga. Di dalam keluarga terdapat ayah, ibu, dan anak dapat dijadikan sebagai awal adanya perbedaan. Di mana setiap pola aktivitas dan hubungan memiliki karakter yang berbeda satu sama lainnya.
Perbedaan di dalam keluarga akan terjadi proses negoisasi yang tidak akan pernah selesai. Tetapi tetap menemukan harmoninya dengan pembagian peran dan fungsi yang seimbang dalam suatu keluarga. Oleh karena itu, perbedaan di dalam keluarga dapat memperkuat fungsi keluarga sebagai sarana pertama bagi setiap anak untuk mengenal dirinya, lingkungannya, saling mengasihi, membentuk karakter dan melakukan proses pendidikan pertama untuk membentuk manusia yang berkualitas.
Patriarki dalam masyarakat masih berkembang di seluruh dunia, tak terkecuali masyarakat Jawa. Perempuan dalam kebudayaan Jawa masih dianggap sebagai the second class yang sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaanya dianggap tidak begitu diperhitungkan.
Implikasinya akan berdampak tidak keseimbangannya pembagian peran perempuan dan laki-laki. Di mana perempuan ditempatkan di sektor domestik dan laki-laki berada di sektor publik. Hal demikianlah yang telah disahkan oleh beberapa pranata sosial tak terkecuali dalam pranata sosial budaya Jawa.
Citra peran dan status sebagai perempuan, telah diciptakan oleh budaya. Perempuan di dalam budaya keluarga Jawa dianggap memiliki sifat keibuan, lembut, penurut dan mau ditata. Seperti perempuan yang didalam bahasa Jawa banyak disebut wanita.
Secara etimologi, wanita berasal dari bahasa Jawa, yaitu wani ditoto (berani ditata). Artinya, perempuan dalam budaya Jawa tidak memiliki kemerdekaan atas dirinya sendiri dan bergantung kepada laki-laki sebagai yang menata. Hal tersebut sangat mencerminkan patriarki dalam budaya Jawa.
Perempuan ditempatkan sebagai subordinat laki laki. Peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara kekuasaan memiliki peran dalam pembagian tugas anggota keluarga yang lainnya termasuk istrinya.
Selain itu banyak pandangan bahwa anak laki-laki lebih tinggi derajat sosialnya dibandingkan anak perempuan. Sehingga memunculkan anggapan bahwa laki-laki lebih mempunyai tanggung jawab terbesar dalam keluarganya.
Perempuan dianggap sebagai orang yang wani ditoto. Perempuan Jawa juga dianggap hanya mampu melakukan pekerjaan masak, macak dan manak atau hanya mampu berada di kasur, dapur dan sumur. Kedua istilah tersebut menjadikan perempuan dalam budaya Jawa hanya mampu melakukan pekerjaan di dalam ranah domestik. Sedangkan dalam ranah publik atau mencari nafkah hanya laki-laki yang melakukannya.
Perempuan dalam budaya Jawa ketika telah berkeluarga juga harus memegang 4 nilai seperti yang dijelaskan oleh Sriyadi yaitu setya, bekti, mituhu,dan mitayani. Pertama, setya, diartikan sebagai perempuan harus setia kepada suaminya bagaimanapun kondisinya.
Kedua, bekti, diartikan sebagai perempuan harus berbakti dalam berumah tangga. Ketiga, mituhu, perempuan diminta untuk memperhatikan dan meyakini didikan suaminya, serta menuruti perintah suami. Keempat, mitayani, diartikan sebagai perempuan jawa harus dapat dipercaya.
Niai-nilai tersebut dianggap wajar atau sudah mendarah daging dalam masyarakat Jawa. Tetapi perlu dikritisi apakah laki-laki pun harus demikian?
Hegemoni nilai-nilai Jawa inilah yang membuat perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Perempuan dituntut untuk setia, berbakti, menurut dan dapat dipercaya, sedangkan laki-laki tidak dituntut sedemikian rupa.
Carey dan Houben (2017) dalam bukunya Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Menceritakan sebagai berikut, “Ketika raja miyos (pergi) keraton untuk bertemu orang banyak, memimpin audiensi atau pergelaran bupati keraton di Pagelaran, atau ke alun-alun utara sewaktu grebegan- dia selalu diapit pasukan pribadi yang semuanya perempuan. Bergelar abdi dalem priyayi manggung atau prajurit keparak estri.”
Dari pernyataan tersebut perempuan pada abad 18 di keraton Jawa Tengah Selatan (sekarang Keraton Yogyakarta) pada masanya mengambil peran laki-laki dalam bertugas melindungi raja.
Pasukan perempuan yang disebut Korps Srikandi tersebut terdiri 150 perempuan muda. Bersenjata lengkap dan terlatih memainkan senjata, juga terampil berkuda. Pasukan srikandi selain diajarkan perang juga diajarkan untuk menari, menyanyi dan bermain alat musik.
Peran perempuan di abad 18 tersebut membuktikan bahwa di Jawa bahkan di pusat Kerajaan Jawa sendiri yang adat serta budayanya sangat terjaga terbukti tidak hanya berperan dalam ranah domestik saja. Perempuan pada masa itu terbukti kehebatannya mampu memainkan peran laki-laki bahkan dalam berperang dan menjaga kekuasaan kerajaan di Jawa. Kehebatan pasukan ini tidak diragukan lagi dan para musuh dari kerajaan pun mengakui kehebatan pasukan estri ini.
Melihat dari citra perempuan Jawa zaman dahulu, sudah seharusnya kita hari ini bersyukur. Meskipun belum terbebas sepenuhnya dari belenggu patriarki. Untuk mewujudkan kesetaraan gender khususnya pada masyarakat Jawa perlu adanya tindakan yang didasari komitmen kuat untuk mengangkat perempuan dari keterbelakangan struktural mulai dari diri sendiri, masyarakat hingga negara.
Sudah saatnya kini perempuan khususnya perempuan Jawa untuk keluar dari zona yang menganggap perempuan hanya sebagai konco wingking dan Raden Ayu sebagai perempuan elok namun kepalanya kosong. Bersyukur karena telah diberi kebebasan. Karena bagaimanapun, “tangan dengan gendongan kain jarik mengguncangkan dunia (The hand that rocks the cradle moves the world).”