Dewasa ini terorisme menjadi sebuah isu yang sangat sering dibahas berbagai pihak. Meskipun terorisme itu sendiri muncul sudah sejak lama, bukan hanya di zaman modern saja. Teror atau ancaman ini acapkali dilemparkan kepada pihak yang berbeda baik dalam pandangan politik, pendapat, paham maupun aliran dalam suatu agama.
Terorisme muncul sebab beberapa kemungkinan, salah satu yang paling dominan adalah akibat doktrin atas pemahaman agama secara tekstual. Umumnya agama tidak bisa dipahami dengan bersumber tekstual hanya pada Al-Kitab saja, melainkan harus melalui beberapa pendapat dari para ‘Ahlinya Ahli’ yang kemudian bisa kita dapatkan melalui guru kompeten yang sanad keilmuannya jelas dan bersambung.
Di Indonesia kelompok yang gencar mengkampanyekan supaya umat kembali kepada hal-hal yang sifatnya tekstual ialah mereka dari kelompok Islam Garis Keras “Salafy”. Iming-iming “Hijrah” beserta “Kembali ke Alquran dan Sunnah” menjadi investasi mereka dalam berbisnis agama. Bagi mereka, agama adalah sarana terbesar untuk melakukan investasi. Bisnis baju, celana, kaoskaki, jilbab bahkan politik seringkali mereka bumbui dengan imbuhan “Syar’i” supaya menarik banyak peminat.
Seusai iming-iming “Hijrah” berhasil dikampanyekan, barulah mereka memulai doktrin-doktrin radikal dengan strategis. Misal melalui ajakan ikut kajian-kajian islami ala mereka, seseorang akan dipaksa perlahan namun terus-menerus supaya tidak keluar dari kajian tersebut. Lama kelamaan jika korban betah, maka ia akan dengan perlahan diarahkan kepada proses bai’at yang entah bagaimana caranya.
Umumnya yang ikut serta sekte “Salafy” adalah mereka yang belajar agama dengan berguru pada orang yang salah. Beberapa dari mereka yang memutuskan keluar dari sekte itu kemudian merasa menyesal dan terang-terangan mengatakan bahwa ajaran “Salafy” keras dan keliru.
Proses radikalisasi kini menjalar melalui beberapa kalangan seperti rohis sekolah negeri, beberapa pesantren, beberapa majelis ta’lim, beberapa instansi pemerintahan, bahkan kini menjalar hingga aparatur negara TNI-Polri. Ini menjadi sebuah ‘penyakit’ serius yang harus segera diatasi agar tidak menular dan makin menjadi-jadi. Apalagi aparat TNI-Polri menjadi ‘tameng’ nasional, tentu saja harus bersih dari virus-virus radikalisme bahkan terorisme. Namun justru mereka adalah target empuk doktrin kaum ‘Jihadis’ karena di Indonesia hanya TNI-Polri yang berhak memiliki senjata dan menggunakannya untuk hukum dan pertahanan nasional.
Radikalisme sangat berpotensi menggiring target ke tingkatan tertinggi yakni terorisme. Meskipun radikalisme bukan berarti ‘auto’ teroris, namun semua teroris pastinya berpaham radikal.
Di negeri yang penuh keberagaman seperti Indonesia, radikalisme dan terorisme berkembang biak bersama-sama. Seiring bertambahnya kaum radikalisme, bertambah pula kaum yang dibaiat menjadi sosok “Jihadis”. Dan sayangnya belum ada teknologi yang mampu mengidentifikasi dimana, kapan dan oleh siapa seseorang dibaiat tanpa harus bertanya kepada orang tersebut. Kalaupun ada, barangkali langsung jadi serbuan untuk segera dimusnahkan.
Baik radikalisme maupun terorisme umumnya memiliki sifat intoleran terhadap segala perbedaan. Mereka selalu meneriakan yang beda sebagai “bukan golongan saya!”.
Keduanya menjadi musuh terbesar bangsa yang beragam seperti Indonesia. Mereka mengubur toleransi, memusnahkan welas asih dalam keberagaman dan juga mematikan sifat empati sebagai seorang manusia.
Memang benar seruan yang gencar dikampanyekan oleh warga Nahdliyyin bahwa “tidak ada celah untuk paham radikalisme dan terorisme berkembang di Indonesia. Bersihkan, hancurkan, musnahkan!”, namun kenyataannya tak semudah itu, ferguzo! Mereka kaum yang tidak bodoh. Strategi yang mereka gunakan sangat licik dan picik. Membenturkan segala sesuatu dengan dalih agama Islam dihina, direndahkan, dinistakan atau playing victim lain yang sering mereka gelorakan.
Kita lihat semisal kejadian di Garut pada moment Hari Santri Nasional tahun lalu. Ingat betapa keji fitnah mereka (utamanya kaum eks-HTI) kepada NU, Ansor beserta Banser? Sampai-sampai dengan penuh kerelaan, sosok Gus Yaqut mengalihkan puncak Kirab Satu Negeri (KSN) GP Ansor sebab tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kejadian tersebut menjadi pelajaran besar bagi kita bahwasanya membasmi virus radikalisme bahkan terorisme tidaklah semudah membalikkan telapak tangan atau juga tak semudah penulis menulis artikel ini. Butuh strategi sempurna, dan Indonesia belum mampu melakukannya. Selama ini kita baru bisa menangkap dan memenjarakan. Padahal ketika satu orang teroris ditangkap, bisa jadi di luar sana puluhan orang berbaiat menjadi seorang “Jihadis”.
Namun di balik itu semua, saya salut kepada banyak pihak yang gencar melakukan kampanye de-radikalisasi, kontra-radikalisme, kontra-terorisme dan juga kampanye agama yang ramah tamah serta penuh toleransi. Semoga kampanye tersebut mampu sedikit demi sedikit mengurangi populasi kaum radikal dan teroris di negeri ini. Jika tanpa ada pihak-pihak tersebut, barangkali negeri ini hanya tinggal nama, bahkan sejarahnya pun hilang dan dilupakan karena dianggap tak ada dalilnya.