Lantunan ayat suci Alquran terdengar sangat syahdu, menenangkan jiwa saat saya memasuki gapura Masjid Agung Surakarta yang berada di sebelah Barat alun-alun Utara Keraton Kasunan Surakarta Hadiningrat. Tepatnya di Jalan Masjid Besar No 1 Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah.
Gapura masjid bergaya arsitektur Timur Tengah dengan tiga pintu ini, terlihat sangat megah dan anggun. Pada puncak pintu yang lebih besar daripada dua pintu lainnya terdapat jam dinding dan lambang Kasunan Surakarta Hadiningrat, yaitu Radya Laksana berupa relief berbentuk oval mirip dengan lapisan telur berwarna biru muda, mahkota, paku, bumi, bulan, bintang, matahari, kapas, padi, dan pita merah putih.
Sementara dua pintu lainnya berhiaskan kaligrafi Arab, semua daun pintu terbuat dari pagar besi bercat biru muda sebagai ciri khas dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sementara bagian sisi gapura berupa dinding tembok, yang tingginya sekitar tiga meter didominasi dengan warna kirim.
Selain melalui gapura ini, jamaah bisa memasuki kawasan masjid yang termasuk bangunan cagar budaya ini, melalui dua gerbang yang berada di sebelah Selatan dekat dengan Pasar Klewer dan sebelah Utara yang berdekatan dengan Kampung Batik Kauman.
Di halaman masjid, saya merasakan kesejukan dan keasrian dari berbagai pohon peneduh. Di tempat ini terdapat Bangsal Pradonggo, yang dibangun di sebelah elatan dan utara. Bangunan ini digunakan Kasunanan Surakarta Hadiningrat untuk meletakkan gamelan pada perayaan Sekaten. Selain itu adapula tugu jam istiwak atau matahari, yang digunakan untuk menentukan waktu salat Zuhur dan Asar.
Sepanjang jalan menuju masjid berhiaskan lampu taman bergaya Eropa klasik, tanpa meninggalkan sentuhan Kasunanan Surakarta Hadiningrat yaitu dengan tiangnya berwarna biru muda. Sebelum memasuki masjid, saya terkesan dengan kemegahan menara yang tingginya kurang lebih 30 meter.
Di masa lalu menara bergaya arsitektur khas India ini berfungsi untuk menyebarluaskan kumandang azan, sementara sekarang telah diganti dengan pengeras suara yang diletakkan di dekat puncak menara.
Dominasi warna biru muda kembali saya temukan pada kuncungan, baik pada atap, tiang penyangga, sampai dengan pagar besi. Kuncungan ini memisahkan halaman dan serambi masjid.
Di kawasan ini jemaah harus melepaskan alas kaki dan menitipkannya di tempat penitipan sandal dan sepatu, sebab sudah termasuk batas suci. Selain itu jemaah diingatkan untuk membaca doa masuk masjid dan berpakaian sopan yang tertera pada papan pengumuman.
Dari sini saya harus menaiki beberapa anak tangga, untuk sampai di serambi masjid yang pada bagian langit-langit dan tiang kayunya bercat biru muda berhiaskan warna emas. Lantai dari serambi terkesan klasik dan mewah melalui pemilihan motif bunga. Di serambi ini pun saya melihat adanya beduk dan kentongan yang biasanya dipukul sebelum azan berkumandang.
Berbeda dengan bagian luar yang bercirikan warna khas Kasunanan Surakarta Hadiningrat, pada bagian ruang utama masjid lebih banyak warna cokelat dan berbahan kayu. Dominasi kayu digunakan pada langit-langit, empat tiang utama atau saka guru, dan dua belas saka pananggap, jendela pun berbahan kayu, begitupun dengan pintu masuk masjid yang behiaskan ukiran.
Sementara lantainya dilapisi marmer, di ruangan ini terdapat mihrab berbentuk lengkungan yang berhiaskan kaca patri dan kaligrafi Arab. Di samping depan, saya melihat mimbar yang mewah berbahan kayu dilengkapi dengan beberapa anak tangga dan berornamen ukiran.
Ruangan ini, sangat kental dengan langgam arsitektur tradisional Jawa termasuk pada bagian atasnya yang beratap tajug bersusun tiga dengan bagian puncaknya memiliki mustaka sebagai ciri khas masjid tradisional Jawa. Khusus untuk jemaah perempuan, disediakan ruangan untuk beribadah yang berada di samping ruang utama yang disebut Pawestren.