Santri itu multi talenta. Selain fokus bertafaqquh fiddin (belajar ilmu-ilmu agama), santri juga tidak jarang yang memperdalam seni dan budaya sebagai bagian dari komitmen menyebarkan Islam melalui instrumen seni dan budaya.
Sejak dahulu kala, kalangan santri sudah tidak asing dengan berbagai instrumen musik, seni suara, maupun film sebagal kanal dakwah Islam rahmatan lil alamin. Sebut saja Para Sineas andal di kalangan santri seperti Asrul Sani, Usmar Ismail, dan Djamaluddin Malik.
H Usmar Ismail, sang sutradara sekaligus produser. Dia adalah mahaguru perfilman Indonesia yang juga dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU). H Usmar Ismail dijuluki Bapak Perfilman Indonesia, sedangkan H Djamaludin Malik dikenal sebagai Tokoh Film Nasional. Usmar Ismail, Asrul Sani, dan Djamaluddin Malik merupakan tiga serangkai seniman yang kebetulan semuanya berasal dari Sumatera Barat dan menonjol di zamannya. Usmar dan Asrul aktif dan di Lesbumi NU, sedangkan Djamaluddin aktif sebagai salah satu Ketua PBNU sejak NU menjadi partai politik kala itu.
Pada 28 Maret 1962, Usmar Ismail, Asrul Sani dan Djamaludin Malik mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang beranggotakan artis, pelukis, aktor film, aktor panggung, sastrawan dan ulama yang memiliki latar belakang seni.
Saat itu NU merajai jagad perfilman tanah air. Tokoh-tokoh perfilman NU disegani baik oleh kawan maupun lawan. Tokoh-tokoh sineas nahdliyin seperti H Djamaludin Malik, H Asrul Sani dan H Djamaludin Malik membuat gebrakan perfilman nasional sehingga ratusan bahkan ribuan judul film tak lepas dari kreatifitas tangan-tangan beliau.
Namun puluhan tahun belakangan ini, perfilman dikuasai oleh kelompok-kelompok yang notabene anti NU. Sehingga tak jarang pesan yang disisipkan film-filmnya selalu mendiskreditkan NU. Mereka menggunakan film sebagai alat mendoktrinkan alirannya. Akibatnya sudah berapa banyak umat Islam bahwan warga NU yang tercekoki paham radikalnya. Melalui film mereka menyusun kekuatan kelompoknya yang ujung-ujungnya untuk menghancurkan NU.
Mereka, kelompok radikal yang anti NU, seakan menemukan momentum, menemukan alat yang jitu untuk mendoktrin ajarannya, mengumpulkan milyaran keuntungan yang grand designnya untuk mengobrak-abrik kekuatan warga Nahdliyin dan keutuhan republik ini. Tidak hanya produsen film layar lebar saja yang disetirnya tapi juga lewat pemuda, mahasiswa bahkan siswa SMK ditargetkan agar memproduksi film pendek dan film dokumenter. Contoh saja untuk kampanye cadar, celana cingkrang, jenggot bahkan khilafah dikemas lewat film-film pendek dan film dokumenter. Lihat saja film produksi anak SMK ini, mahasiswa itu, yang isinya mengemban doktrin ajaran radikalisme. Namun anehnya banyak kalangan muda bahkan anak-anak NU berduyun-duyun menontonnya.
Baca artikel selengkapnya di LTN NU Jabar