Dalam Fath al-Mubīn Syarh al-Arba’īn, Ibn Hajar al-Haitami menuturkan bahwa firman Allah ada tiga; (1) al-Qur’an yang menjadi mukjizat terbesar Nabi Muhammad, (2) kitab samawi lainnya sebelum terjadi perubahan, dan (3) hadis qudsi. Ketiganya memiliki kriteria yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Dari sisi scripture saat ini, yang pertama tidak mengalami perubahan sedikitpun. Inilah salah satu bentuk kemukjizatannya sebagaimana yang telah ditegaskan 14 abad silam. Allah berfirman yang artinya kurang lebih “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pasti akan menjaganya” (Q.S. al-Hijr [15]: 9).
Sementara yang kedua telah mengalami perubahan redaksi yang berdampak pada perbedaan makna dengan yang aslinya (Q.S. al-Nisā` [4]: 46, Q.S. al-Mā`idah [6]: 13, dan Q.S. al-Mā`idah [6]: 41). Adapun yang ketiga, bisa terjadi perubahan strukturnya namun tidak kehilangan maksud utama yang diinginkan Allah. Sehingga tidak ada penyimpangan dan pertentangan dengan agama (baca: nas yang lebih kuat).
Kemudian dari tiga bentuk firman ini, yang masih relevan dan layak untuk diadopsi sebagai pedoman hidup adalah yang yang pertama dan terakhir. Meskipun sama-sama firman-Nya, ayat-ayat al-Qur’an hanya disandarkan kepada-Nya semata.
Sementara hadis qudsi, terkadang disandarkan kepada Allah selaku sumber informasi. Dan terkadang dinisbatkan kepada Nabi sebagai orang yang menginformasikan hal tersebut dari Allah.
Secara bahasa, hadis adalah lawannya qadīm (sesuatu yang lebih dahulu), yakni sesuatu yang baru. Adapun menurut istilah hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, penatapannya terhadap sesuatu yang disaksikannya, maupun deskripsi fisik dan akhlaknya (Muhammad Shiddīq al-Minsyāwī, Qāmūs Mushthalāh al-Hadīts al-Nabawī, 53).
Jenis dan macam hadis sangat banyak sekali. Dari sisi penyandarannya, Ibn Shalāh membagi hadis menjadi tiga macam; hadis marfū’, hadis mauqūf, dan hadis maqthū’. Hadis marfū’ adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad.
Sedangkan hadis mauqūf tidak lain adalah hadis yang disandarkan kepada para sahabat. Adapaun hadis yang disandarkan kepada para tabi’in dinamakan dengan hadis maqthū’ (‘Ulūm al-Hadīts li Ibn Shalāh, 45-47).
Saat memperhatikan hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad atau hadis marfū’, kita akan mendapati bahwa hadis dengan jenis ini terbagi lagi ke dalam dua kategori. Yakni hadis nabawi dan hadis qudsi.
Pengistilahan hadis nabawi ini muncul karena keberadaan hadis yang di dalamnya terdapat penyandaran kepada Allah. Meskipun dalam perjalanannya, terkadang kata nabawi ini berlaku untuk seluruh hadis-hadis Nabi.
Adapun hadis Qudsi, disebut demikian karena hadis tersebut disandarkan kepada Allah Yang Mahasuci dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya (‘Alī bin Balbān al-Maqdisī, al-Maqāshid al-Saniyyah fī al-Ahādīts al-Ilāhiyyah, 27).
Hadis yang kualitasnya bervariasi ini juga disebut dengan hadis ilahi dan hadis rabbani, dua istilah yang digunakan Allah saat memperkenalkan diri kepada manusia. Yang pertama sebagai sosok yang wajib disembah. Sementara yang kedua sebagai pencipta dan pemelihara alam raya.
Jadi makna daripada istilah hadis ilahi atau hadis rabbani ini adalah hadis yang disandarkan kepada Tuhan yang wajib disembah atau Tuhan pencipta dan pemelihara alam raya. Penamaan jenis hadis dengan tiga sebutan ini kembali pada Allah sebagai Dzat yang wajib disembah dan pemelihara alam raya yang suci dari segala kekurangan.
Menurut Mulla ‘Ali al-Qārī, hadis qudsi adalah ucapan yang diriwayatkan oleh perawi pertama (sahabat) dari Nabi selaku sumber terpercaya dari Allah yang terkadang melalui perantaraan Jibril, bisikan halus, ilham, atau dalam tidur, dimana redaksinya dipersilahkan kepada Nabi sepenuhnya, dengan ungkapan apapun.
Berbeda dengan Mullā ‘Alī, al-Kirmānī dan al-Thayyibī menilai bahwa hadis qudsi itu tanpa perantara malaikat, sebagai pembeda dengan al-Qur’an. Sementara itu al-Halabī dalam Hāsyiyah Talwih-nya mendefinisikan hadis ini sebagai sesuatu yang diwahyukan Allah kepada Nabi pada malam mi’rāj dan disebut dengan asrār al-wahy atau rahasia-rahasia wahyu.
Sebagai sesuatu yang juga bersumber dari Allah, hadis qudsi memiliki perbedaan dengan al-Qur’an. Ada 10 perbedaan yang disajikan oleh Syaikh Mushthafa bin al-‘Adwi dalam kitab al-Shahīh al-Musnad min al-Ahādīts al-Qudsiyyah.
Pertama, hadis qudsi tidak melalui perantara Malaikat Jibril selaku pembawa wahyu. Kedua, kualitasnya bervariasi sebagaimana hadis pada umumnya. Ketiga, sangat mungkin terdapat kekeliruan dalam hadis qudsi yang muncul dari perawi hadis. Inilah salah satu penyebab mengapa muncul perbedaan kedua tadi.
Keempat, tidak diperbolehkan dibaca dalam salat setelah membaca surat al-Fatihah. Kelima, tidak terbagi-bagi ke dalam surat, juz, rub’ sebagaimana al-Qur’an.
Keenam, membacanya tidak bernilai ibadah khusus sebagaimana informasi Nabi. Ketujuh, tidak menjadi mukjizat Nabi yang abadi. Kedelapan, tidak ada larangan menyentuhnya bagi mereka yang memiliki hadas besar (menurut salah satu pendapat).
Kesembilan, tidak membuat seseorang keluar dari Islam saat mengingakari keberadaannya lantaran kualitasnya yang tidakbisa dipertanggungjawabkan. Kesepuluh, diperbolehkan meriwayatkannya dengan memperhatikan maknanya saja.
Dari sepuluh perbedaan ini masih ada tiga perbedaan lagi yang bisa kita tambahkan ke dalamnya. Yaitu hanya maknanya saja yang berasal dari Allah, tidak adanya jaminan terhadap keotentikannya, dan mayoritas berisi motivasi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagaimana keilmuan Islam yang lain, perhatian ulama terhadap hadis qudsi ini sangat kuat. Di antara mereka ada yang mengompilasikan hadis-hadis qudsi dari kitab hadis yang mu’tabar. Ada yang mengumpulkannya dari banyak kitab hadis dengan menyertakan catatan ulama terhadap kualitas hadis yang ditulisnya.
Ada lagi yang sambil memberikan komentar atau syarah terhadap hadis yang dinukilnya. Dan ada pula yang menyajikan hadis-hadis qudsi tersebut berdasarkan tema-tema tertentu.
Sayyid ‘Abd al-Mājid al-Gouri dalam karyanya al-Wajiz fī Ta’rīfi Kutub al-Hadīts menyebutkan 16 kitab hadis yang secara khusus menyajikan hadis-hadis qudsi. Di antaranya adalah kitab al-Mawā’īzh fī al-Ahādīts al-Qudsiyyah karya al-Gazāli, al-Arba’ūn al-Ilāhiyyah karya Abul Hasan al-Maqdisi, Misykāt al-Anwār fīmā Ruwiya ‘an Allāh min al-Akhbār karya Ibn Arabi yang berisi 101 hadis, al-Ahādīts al-Qudsiyyah karya Imam Nawawi, dan lain-lain.