Pengaruh madrasah dalam menumbuhkan ghirah nasionalisme pesantren di Asia Tenggara telah meyakinkan Ali Maksum muda untuk membuka wawasan terhadap perkembangan zaman. Spirit ketertinggalan terhadap kemajuan peradaban Islam tidak hanya diambil manfaatnya untuk kepentingan pesantren sendiri, melainkan menyokong soal kontribusi pesantren terhadap bangsa dan negara.
Demikian juga dengan pengamalan Pancasila bagi umat Islam, mereka mengamalkan Pancasila berarti juga mengamalkan Syari’at Islam. Mereka yang telah melaksanakan ajaran Islam adalah kaum Pancasilais; sebaliknya mereka yang mengaku muslim, taetapi tidak mau menjalankan ajaran Islam adalah tidak Pancasilais.
Berbekal kitab kuning, pesantren salaf mencoba mengenalkan segi spiritualitas serta ketahanan mental yang tangguh terhadap para santrinya. Setiap harinya, mereka ditempa dan dibina dalam pengajian-pengajian yang berpusat di surau pesantren dan rumah kiai.
Satu pengajian kitab kuning, yang bisa memakan waktu hampir paruh hari itu menjadi semacam tamrin defensifitas bagi para santri. Uji kesabaran, ketahanan fisik, konsentrasi dan ketelatenan menulis dalam ruang yang seadanya. Penempaan inilah, yang penulis sebut sebagai defensifitas salafi.
Sementara di pesantren telah tertanam begitu kokoh prinsip character building dengan penempaan secara fisikal, psikologis, sosiologis bahkan ekonomis dalam jangka waktu berhari-hari, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Kemendikbud malah mengeluarkan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah.
Kebijakan yang kemudian masyhur dengan FDS (Full Day School atau Five Days School), menengarai beberapa kecaman dan penolakan. Kebijakan anyar yang dilontarkan oleh Kemendikbud tersebut, menitik-beratkan pada prinsip penggodokan dan pembibitan karakter yang bertumpuk di sekolah secara totalitas. Siswa menjalani semacam karantina berat, delapan jam pelajaran yang harus mereka tempuh.
Sementara pemerintah baru memikirkan hal tersebut, kalangan pesantren sudah sejak tiga abad yang lalu menerapkan dan mempraktikkannya secara kultural pun struktural. Tiga abad yang lalu, pesantren telah menjadi produk budaya yang unggul dalam mencetak dan mengkader anak bangsa dalam menghadapi kemajuan.
Meski belum demikian terang arah dan beberapa kajian kitab yang dipakai alias kurikulum, tetapi pesantren telah mencetak tokoh-tokoh nasional. Misal P. Diponegoro santri dari KH. Hasan Besari Ponorogo, Tumenggung Tirtorejo Bupati Pertama Gresik santri dari KH. Qomaruddin, Ki Hajar Dewantoro santri dari KH. Sulaiman Zainuddin, R.A. Kartini santri dari KH. Sholeh Darat, Jendral Sudirman santri dari KH. Subchi Parakan dan masih banyak lagi tokoh-tokoh nasional yang lain.
Sejak dari zaman penjajahan, pesantren sering berfungsi sebagai kubu pertahanan bangsa dalam memperjuangkan lahirnya kemerdekaan. Pesantren benar-benar mencetak kader-kader bangsa yang patriotis, rela mati demi memperjuangkan bangsa Indonesia. Serdadu barisan Hizbullah dan Sabilillah. Hampir sama gerakan sosial keagamaannya dengan yang ada di Asia Tenggara yang penulis sebutkan di awal.
Sedang zaman awal kemerdekaan, pesantren menurut KH Ali Maksum segera beradaptasi dengan menciptakan kader-kader yang sanggup memimpin bangsa, serta tidak kalah mutu dengan kader-kader produksi perguruan tinggi, sampai kini pun banyak kader akademisi yang kalah bobot dengan kader ciptaan akademisu (akademi surau). Sebab institusi tersebut telah memelihara kemurnian pesantren seperti pada fungsinya semula. Baik fungsi religi (din), fungsi sosial (ijtima’i) dan fungsi edukasi (tarbawi).
Polarisasi itu menemukan titik benang merahnya, bahwa spirit nasionalisme mempunyai hubungan simbiotik dengan dunia pendidikan. Dengan kata lain , spirit nasionalisme membuncah, menyangga beberapa faktor pendukung berdirinya sebuah lembaga pendidikan yang membentuk karakter patriotism dan menjaga stabilitas dalam berbangsa dan bernegara. Meskipun, pendidikan toleransi tidak hanya bersumber dari agama. Ia bisa berasal dari banyak lapis kebudayaan di Indonesia.
Paparan khazanah kebudayaan yang tergelar di pesantren sedemikian kaya. Faktor ini terutama berasal dari instrumen budaya yang terdapat di dalam lingkungan pesantren, yang oleh Gus Dur disebut sebagai wilayah subkultur.
Selain itu, faktor yang sulit diabaikan dari tekstur keberagaman di pesantren adalah dominasi kedaerahan yang melentur sebab unsur lokalitas yang mengkulminasi melalui intenitas pergumulan santri ketika bertukar wacana atau berkelakar.
Seperti cerita Kiai Ali Maksum yang mencoba melarang santrinya untuk menebang pohon gereja yang dianggap santrinya sebagai ‘pohon kristen’. Argumentasi Kiai Ali menyatakan jika tidak ada kaitannya antara pohon gereja dengan agama Kristen, meskipun pohon itu identic dengan kaum Kristen dalam perayaan Natal.
Fenomena itu memuat faedah melenturkan ketegangan kompetitif yang sering terjadi dalam kultur santri baik di lingkungan pesantren ataupun luar pesantren. Sejenak mereka mengamini, bahwa yang diajarkan di pesantren tidak hanya berkutat pada persoalan normatif belaka, melainkan peroalan yang bergerak untuk memperkaya rohani sehingga mempertemukan resonansi yang sepadan terhadap satu frekuensi jaringan, yaitu persaudaraan dan kekerabatan antar sesama manusia.
Fenomena pergumulan ini saya sebut sebagai naturalisasi kebahasaan. Kepekaan berbahasa kaum pesantren menegasi tradisi lingua franca yang perlu dimaknai ulang. Santri yang belajar kitab kuning dan memaknainya secara gandul dengan menggunakan tulisan pegon menjadi tolak ukur awal naturalisasi kebahasaan di pesantren.
Penjabaran makna di berbagai daerah dengan menggunakan bahasa daerah di mana pesantren itu berada merupakan simbolisasi toleransi yang penting guna menopang keberagaman dan karakter toleran masyarakat pesantren, hal ini sekaligus menjadi tolak ukur tingkat kedua yaitu dialog.
Parade toleransi yang diarak berangkai melalui serangkaian ritus dialogis itu menjadi semacam ruang seminari kebahasaan kaum pesantren. Materi-materi lokalitas seperti cerita rakyat, istilah daerah dan nama orang, melunak dan lalu diracik sedemikan rupa hingga tercium aroma kehangatan yang berguna untuk melengkapi sedapnya bumbu kehidupan pergaulan di pesantren.