Salah satu ulama Nusantara yang memiliki banyak karya di bidang tasawuf adalah Kiai Muslih Abdurrahman Mranggen Demak (w. 1981). Beliau merupakan seorang mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang juga salah satu pendiri Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN). Di antara karya Kiai Muslih di bidang tasawuf adalah Umdatu As-Salik fi Khairi Al-Masalik.
Kitab ini dianggit Kiai Muslih pada tahun 1376 H/1956 M dan merupakan penjelas (syarah) dari kitab Fath Al-Arifin karya Syaikh Muhammad Ismail bin Abd- Al-Rahim Al-Bali dari Bali. Fath Al-Arifin sendiri, sebagaimana disinggung Martin van Bruinessen (Pesantren, Kitab Kuning dan Tarekat, 2012: 264) merupakan kitab setebal sebelas halaman berisi ajaran Syaikh Khatib Sambas yang menguraikan tentang baiat, dzikir, dan muraqabah, dan istilah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Kiai Muslih mengawali Umdatu As-Salik dengan menjelaskan bahwa muasal sanad dalam tarekat Qadiriyah adalah Ali bin Abi Thalib, sedangkan muasal sanad Naqsyabandiyah adalah Abu Bakar Shidiq, dan keduanya mendapatkan sanad dari Rasulullah saw.
Kiai Muslih kemudian menjelaskan bahwa inti zikir Qadiriyah adalah laa ilaha illa Allah (nafi wa al-itsbat) sedangkan inti zikir Naqsyabandiyah adalah Allah, Allah (zikir ismu ad-dzat). Dua zikir di atas berlandaskan pada hadits musalsal dari Ali bin Abi Thalib.
Kiai Muslih kemudian menjelaskan tata cara talqin dan baiat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan menjabarkan bahwa manusia terdiri dari sepuluh lathifah. Lima lathifah disebut alam al-amr, yakni lathifah al-qalb, lathifah ar-ruh, lathifah as-sir, lathifah al-khafi, dan latifah al-akhfa. Lima lathifah lain disebut alam al-khalq, yakni lathifah an-nafs dan al-anashir yang ada empat, yaitu air, angin, api, dan tanah.
Lathifah-lathifah tersebut adalah titik-titik halus dalam tubuh manusia di mana saat berzikir, pengamal tarekat memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas pada titik tersebut.
Lathifah al-qalb (hati) terletak selebar dua jari di bawah putting susu kanan; ruh (jiwa), selebar dua jari di bawah puting susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas puting susu kiri; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada.
Kiai Muslih juga menjelaskan secara detail tata cara mengamalkan tarekat Qadiriyah dan tata cara mengamalkan tarekat Naqsyabandiyah. Dalam penjelasan ini, teknik dan bacaan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dikupas dengan jelas. Teknik berzikir yang dijelaskan Kiai Muslih dalam kitab ini tidak lain berasal dari ajaran Rasulullah pada Ali bin Abi Thalib.
Berikutnya, Kiai Muslih menjelaskan tiga hal yang bisa menyampaikan (wushul) seorang hamba pada Tuhannya, yakni (1) Zikir dalam hati yang semata-mata hanya mengingat Allah, (2) Senantiasa merasa diawasi oleh Allah (muraqabah), dan (3) Senantiasa istikamah di jalan Allah dan berkhidmah pada syaikh dan rabithah bersamanya.
Dalam pembahasan “muraqabah” (meditasi) Kiai Muslih menjelaskan muraqabah yang jumlahnya 20, yakni:
(1) muraqabah al-ahadiyyah
(2) muraqabah al-ma’iyyah
(3) muraqabah aqrabiyyah
(4) muraqabah al-mahabbaf fi ad-da’irati al-‘ula
(5) muraqabah al-mahabbaf fi ad-da’irati al-tsaniyah
(6) muraqabah fi al-qau
(7) muraqabah wilyah al-‘ulya
(8) muraqabah kamalat an-nubuwwah
(9) muraqabah kamalat ar-risalah
(10) muraqabah ulil azmi
(11) muraqabah mahabbah fi dairati al-khullah
(12) muraqabah fi dairati al-mahabbah as-shirfah
(13) muraqabah mahabbah ad-dzatiyah al-mumtazijah bi mahabbah
(14) muraqabah al-mahbibiyyah as-shirfah
(15) muraqabah al-hubb as-shirf
(16) muraqabah laa ta’yiin
(17) muraqabah haqiqat al-ka’bah
(18) muraqabah haqiqat Al-Qur’an
(19) haqiqat as-shalat
(20) muraqabah dairati al-ma’budiyyat as-shirfah.
Muraqabah merupakan salah satu cara yang ditempuh seorang hamba agar wushul pada Tuhannya. Muraqabah Ahadiyah, misalnya, adalah mengingat Allah dengan iktikad kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah selalu mengawasi kita, serta mengingat sifat yang wajib bagi Allah beserta sifat yang mustahil.
Dengan melakukan muraqabah ini, seseorang berharap mendapat karunia Allah dari arah enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan, kiri). Muraqabah Ahadiyah berlandaskan pada Surat Al-Ikhlas ayat 1.
Kiai Muslih menegaskan bahwa seseorang tidak bisa menapaki satu muraqabah ke muraqabah selanjutnya kecuali dengan perantara seorang mursyid atau syaikh. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tarekat, peran seorang mursyid atau syaikh sangat penting.
Dalam Umdatu As-Salik Kiai Muslih menyebutkan sanad tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di mana beliau memiliki dua jalur yang berkumpul dalam Syaikh Abdul Karim Banten, yakni jalur Kiai Abdul Latif-Kiai Asnawi Caringin-Syaikh Abdul Karim dan jalur Kiai Abdurrahman Menur-Kiai Ibrahim Brumbung-Syaikh Abdul Karim. Syaikh Abdul Karim tidak lain adalah khalifah utama Syaikh Khotib Sambas, pendiri tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Sebagai pemungkas, Kiai Muslih menyertakan wirid yang dibaca tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Di akhir kitab, terdapat catatan (taqridz) dari Kiai Usman Abdurrahman (kakanda Kiai Muslih), Kiai Abdurrahman bin Husain Kendal, dan Kiai Nawawi Berjan Purworejo.